Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menyoal Rendahnya Tax Ratio Sektor Konstruksi

Dalam 5 tahun terakhir, penerimaan pajak sektor konstruksi dan real estat tumbuh rata-rata 25%, lebih besar dari rata-rata pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) sektor tersebut 15%. Melihat capaian itu, harus diakui, kinerja Ditjen Pajak masih lumayan.

Bisnis.com, JAKARTA--Dalam 5 tahun terakhir, penerimaan pajak sektor konstruksi dan real estat tumbuh rata-rata 25%, lebih besar dari rata-rata pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) sektor tersebut 15%. Melihat capaian itu, harus diakui, kinerja Ditjen Pajak masih lumayan.

Namun, pada periode yang sama, rasio pajak (tax ratio) sektor konstruksi dan realestat justru sangat rendah, hanya 4,04%. Dalam 5 tahun itu, bisnis besar ini menghasilkan nilai PDB Rp4.422 triliun, tapi dengan setoran pajaknya yang hanya Rp181 triliun.

Rasio pajak sektor ini bahkan lebih rendah dari sektor lain yang juga teregulasi dengan baik (well regulated). Sektor industri pengolahan contohnya.

Dalam 5 tahun ini, rata-rata tax ratio industri pengolahan 15,7%. Padahal, pertumbuhan tahunannya 8%-13%, lebih lambat dari sektor konstruksi dan realestat yang 12%- 18%.

Dengan mengacu pada rasio pajak nasional 5 tahun terakhir saja yang 11,32%—bu kan pada tax ratio sektor industri pengolahan yang 15,7%, angka kehilangan pajaknya Rp322 triliun.

Melihat rendahnya rasio pajak sektor konstruksi dan real estat itu, Ditjen Pajak A. Fuad Rahmany kemudian menyalahkan sistem pajak final.

Menurutnya, seharusnya sektor tersebut dikenakan sistem pajak sesuai dengan ketentuan umum.

Namun, bukannya mendorong perubahan sistem pengenaan pajak itu, Fuad mengatakan pajak final tetap solusi terbaik untuk menggali penerimaan sektor konstruksi dan real estat.

Alasannya, pemungutan pajak di sektor itu rumit jika dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan umum.

Lagipula, beban pengawasan dan pemeriksaan aparat pajak akan bertambah. Padahal, infrastruktur dan jumlah fiskus belum ideal.

LIHAT SEJARAH

Sampai di sini, mungkin baik kita melihat ke belakang, ketika sistem pajak final marak sejak 1995 pada era Ditjen Pajak Fuad Bawazier, menyusul berlakunya UU Pajak Penghasilan 1994.

Pengenaan pajak final sektor konstruksi akhirnya diterapkan akhir Desember 1996, ketika pemerintah menerbitkan PP No. 73/1996. Besarannya 2% dari penerimaan bruto untuk kontraktor dan 4% untuk perencana, pengawas, dan konsultan.

Menariknya, PP itu dicabut pada 2001, menyusul ambruknya industri konstruksi dan properti. Bagi wajib pajak (WP), pajak final menguntungkan jika ekonomi bagus. Namun, saat ekonomi turun, WP rugi karena mereka tetap harus bayar pajak.

Melihat kondisi itu, pemerintah akhirnya menerbitkan PP No. 140/2000, dimana penghasilan yang diterima perusahaan jasa konstruksi, pengawas, perencana dan konsultan kembali ke tarif umum, kecuali yang beromzet di bawah Rp1 miliar.

Tarif untuk perusahaan skala kecil ini sama dengan PP 73/1996, yaitu 2% untuk jasa pelaksana konstruksi dan 4% untuk jasa perencana konstruksi dan jasa pengawas konstruksi. Namun, jasa konsultan hilang dari PP 140/2000.

Setelah 7 tahun bertahan, tarif PPh terhadap sektor jasa konstruksi muncul kembali pada 2008 pada masa Ditjen Pajak Darmin Nasution. Pemerintah menerbitkan PP No. 40/2009 tentang Perubahan PP No. 51/2008 tentang PPh atas penghasilan usaha jasa konstruksi.

Alasannya, Ditjen Pajak kesulitan menetapkan jumlah penagihan yang tepat. Hal ini terjadi pada sebagian besar perusahaan jasa konstruksi, yang mencapai 95.000 unit. Adapun, PPh jasa konstruksi ketika itu ditetapkan final 3% atas omzet pada 1 Agustus 2008.

Seiring dengan berjalannya waktu, pajak final sektor konstruksi dan realestat tetap berlaku hingga sekarang. Pemerintah seakan cocok dengan sistem pajak final tersebut. Malah, pemerintah berencana menambah jenis penghasilan lainnya untuk dikenakan sistem pajak final.

Rencana itu jelas merupakan kemunduran  dari transformasi perpajakan di Indonesia. Sistem pajak final sebenarnya tidak sesuai dengan amanat UU Perpajakan, terutama dalam semangat menegakkan keadilan pajak yang lebih terefleksikan dalam sistem pajak progresif.

Keengganan mereformasi sistem pajak final konstruksi membuktikan tidak adanya kemauan atau ekstra effort pemerintah melakukan transformasi perpajakan yang lebih baik dan adil. Padahal, jika saja mau sedikit mengeluarkan energi, pemerintah bisa meraup sumbangan pajak yang lebih besar.

Alasan bahwa pemungutan pajak di sektor itu rumit jika dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan umum, dan akan bertambahnya beban pengawasan dan pemeriksaan yang harus dilakukan aparat pajak jelas tidak dapat diterima.

Pasalnya, sektor tersebut sudah cukup teregulasi, bahkan well regulated. Persoalannya hanya minimnya data valid yang dimiliki Ditjen Pajak, seperti izin mendirikan bangunan, akta jual beli di notaris, hingga transaksi jual beli dari bank.

Inilah yang sebetulnya dianggap menyulitkan. Sebab dari sisi beban pemeriksaan, toh memang tidak diterapkan ke seluruh WP. Tapi kita juga tahu Ditjen Pajak dan Kementerian Keuangan pernah dengan sengaja menghilangkan satu rancangan sistem data base perpajakan besar yang digagas secara hati-hati selama bertahun-tahun oleh pendahulunya.

Apa yang terjadi sebenarnya? Bisnis konstruksi yang rumit, atau pejabat yang tak mau repot? Kita tau jawabnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Rustam Agus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper