Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

RAPBN 2015: Pertumbuhan Ekonomi 5,6% Berat Dicapai

Target pertumbuhan ekonomi 2015 sebesar 5,6% yang diajukan pemerintah dinilai berat dikejar. Apalagi, kenaikan suku bunga acuan di Amerika Serikat dan defisit transaksi berjalan yang masih rentan akan memperpanjang periode pengetatan moneter yang pada gilirannya memperlambat aktivitas ekonomi.
 Ilustrasi
Ilustrasi

Bisnis.com, JAKARTA -- Target pertumbuhan ekonomi 2015 sebesar 5,6% yang diajukan pemerintah dinilai berat dikejar.

Apalagi, kenaikan suku bunga acuan di Amerika Serikat dan defisit transaksi berjalan yang masih rentan akan memperpanjang periode pengetatan moneter yang pada gilirannya memperlambat aktivitas ekonomi.

Dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2015, pemerintah memperkirakan perekonomian nasional 2015 membaik, ditopang oleh konsumsi dan investasi, seiring kondisi ekonomi domestik yang stabil dan faktor eksternal yang menunjukkan tren peningkatan.

Dari sisi domestik, dengan terjaganya laju inflasi, daya beli masyarakat akan meningkat sehingga konsumsi rumah tangga semakin tumbuh kuat. Meskipun RAPBN 2015 masih bersifat baseline, konsumsi pemerintah dan investasi pemerintah direncanakan meningkat.

Dari sisi eksternal, peningkatan pertumbuhan global dan volume perdagangan dunia diharapkan kembali menjadi faktor pendorong pertumbuhan ekspor dan impor, terutama melalui peningkatan permintaan dari negara mitra dagang utama.

Ekonom Bank Permata Josua Pardede memperkirakan kenaikan Fed funds rate tahun depan akan diikuti dengan kenaikan BI rate untuk tetap menjaga daya tarik aset domestik, meskipun kenaikan itu tidak seketika.

Meskipun konsensus pasar menyatakan kenaikan suku bunga acuan di AS mungkin antara 50-75 basis poin dari posisi ultrarendah saat ini 0%-0,25%, the Fed agaknya akan memutuskan angka lebih tinggi. Median estimasi anggota the Fed dalam notulensi rapat FOMC Juni lalu menunjukkan suku bunga acuan akan naik menjadi 1,13% pada 2015 dan 2,5% pada 2016 .

Kondisi transaksi berjalan yang masih rentan pun dapat masuk ke dalam 'keranjang' pertimbangan BI untuk menambah dosis pengetatan moneter. Jika demikian, kata Josua, maka konsumsi rumah tangga dan investasi terus melambat.

"Kalau begitu, yang bisa diandalkan untuk mempercepat pertumbuhan adalah ekspor," katanya, Selasa (19/8/2014).

Menteri Keuangan M. Chatib Basri mengatakan nilai tukar rupiah yang diproyeksi lemah akan menjadi insentif bagi kegiatan ekspor dan selanjutnya ikut mendorong pertumbuhan.

Dalam RAPBN 2015, pemerintah mengasumsikan kurs pada kisaran Rp11.900 per dolar AS karena kenaikan suku bunga di Negeri Paman Sam akan memicu flight to quality yang membuat likuiditas mengetat. Tekanan terhadap rupiah juga bersumber dari potensi pelebaran defisit transaksi berjalan serta dari sisi fiskal akibat peningkatan impor minyak.

"Dari sisi ekspor, sebetulnya ini cukup baik karena akan membuat ekspor kita jadi lebih kompetitif," ujar Chatib.

Namun, ekonom Bank Mandiri Destry Damayanti berpendapat depresiasi kurs tidak akan banyak menolong ekspor mengingat karakteristik barang ekspor yang didominasi oleh komoditas primer.

"Komoditas kurang sensitif terhadap perubahan kurs atau pendapatan di negara importir. Itu kebutuhan pokok. Berapapun harga, kebutuhannya tetap segitu," katanya.

Perubahan nilai tukar, lanjutnya, mungkin elastis terhadap ekspor manufaktur. Sayangnya, produk manufaktur Indonesia selama ini memiliki kandungan impor tinggi yang terimbas depresiasi kurs. Akibatnya, barang manufaktur asal Indonesia tetap mahal.

Dari sisi konsumsi rumah tangga, depresiasi kurs justru akan memicu imported inflation yang menggerus daya beli masyarakat.

Ada Harapan

Meskipun demikian, masih ada harapan mengejar pertumbuhan ekonomi 5,6%. Destry menyebutkan target itu dapat dicapai jika pemerintahan baru langsung fokus bekerja dan menyelesaikan pekerjaan rumah, seperti keharusan menaikkan harga BBM bersubsidi.

Kenaikan harga BBM akan mengundang sentimen positif dari investor sehingga menarik dana ke dalam negeri, baik portofolio maupun investasi langsung (foreign direct investment).

"Dengan pemerintah memberi arahan yang tepat bahwa reformasi struktural berlanjut, investor akan tetap masuk meskipun current account deficit kita belum membaik benar," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Sri Mas Sari
Editor : Nurbaiti
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper