Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

OPTIMALISASI PAJAK: Ditjen Pajak Usulkan Objek PPh Pasal 23 Ditambah

Ditjen Pajak mengusulkan penambahan jenis jasa yang dikenai pajak penghasilan (PPh) pasal 23 sebagai salah satu upaya mengamankan target penerimaan pajak APBN-Perubahan 2014 sebesar Rp989 triliun.
Ilustrasi
Ilustrasi

Bisnis.com, JAKARTA -- Ditjen Pajak mengusulkan penambahan jenis jasa yang dikenai pajak penghasilan (PPh) pasal 23 sebagai salah satu upaya mengamankan target penerimaan pajak APBN-Perubahan 2014 sebesar Rp989 triliun.

Direktur Peraturan Perpajakan II Ditjen Pajak John Hutagaol mengaku usulan perubahan regulasi tersebut akan ditindaklanjuti Badan Kebijakan Fiskal (BKF) dalam waktu dekat.

Dia mengaku usulan regulasi tersebut masih dalam pembahasan internal.

“Di level DJP, usulan itu masih belum soft. Kami baru mendapatkan feedback dari kantor pelayanan pajak [KPP]. Nanti, akan kami share ke direktorat lainnya di Ditjen Pajak terkait. Baru setelah itu kami berikan ke BKF,” jelasnya ketika dihubungi, Kamis (28/08).

John menjelaskan instrumen pemotongan atau pemungutan PPh selama ini kurang mendukung penerimaan pajak secara optimal.

Tahun lalu, sumbangan penerimaan dari PPh Pasal 23 hanya Rp22 triliun, atau 2,66% dari total penerimaan pajak sebesar Rp833 triliun.

Sementara pada periode Januari-19 Agustus 2014, penerimaan pajak dari PPh Pasal 23 mencapai Rp17 triliun, atau 3,22% dari realisasi periode yang sama sebesar Rp527 triliun.

Adapun, Ditjen Pajak menargetkan penerimaan PPh Pasal 23 hingga akhir tahun ini sebesar Rp26 triliun.

“Jadi, rencananya akan kami tambah jumlah objek pemotongan PPh Pasal 23 yang ada di peraturan kementerian keuangan [PMK] No. 244/2008 tentang jenis jasa lain. Cuma, apa saja jasa yang akan dimasukkan dalam list itu, masih belum ditentukan,” tutur John.

PPh Pasal 23 adalah pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.

Dalam PPh Pasal 23, terdapat dua tarif pajak, yaitu tarif pajak 15% dari jumlah bruto, dan 2% dari jumlah bruto.

Untuk tarif 15%, dikenakan terhadap dua objek a.l. pertama, dividen kecuali pembagian dividen kepada orang pribadi dikenakan final, bunga dan royalti. Kedua, hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.

Sementara, untuk tarif 2% dari jumlah bruto a.l. pertama, sewa dan penghasilan sehubungan dengan penggunaan harta kecuali sewa tanah dan/atau bangunan.

Kedua, imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi dan jasa konsultan.

Ketiga, imbalan dari jenis jasa lainnya, misalnya jasa aktuaris, jasa penyelenggaran kegiatan, jasa maklon, jasa perantara, jasa cleaning service, jasa katering, jasa penyelidikan dan keamanan, jasa penebangan hutan, hingga jasa mixing film.

Selain itu, John menambahkan perubahan regulasi tersebut bertujuan untuk mencegah timbulnya kebingungan atau dispute, baik dari petugas pajak maupun wajib pajak.

Dia mengakui penentuan jenis jasa yang dikenakan PPh Pasal 23 dalam PMK tersebut belum cukup jelas.

“Misalnya, jasa perantara. Itu kan belum terlalu jelas, nanti akan kami breakdown lagi agar lebih jelas, supaya teman-teman di lapangan, dan juga wajib pajak tidak confuse. Intinya, PMK itu perlu penyempurnaan,” ujar John.

Sekadar informasi, usulan perluasan jenis jasa yang dikenai PPh Pasal 2013 tersebut merupakan satu dari ketiga rencana aksi Kemenkeu pada tahun ini.

Hal itu tercantum dalam Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Kemenkeu 2013.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan penambahan jenis jasa lain yang dikenai PPh Pasal 23 mencerminkan ketidakmampuan administrasi Ditjen Pajak dalam menegakkan kepatuhan wajib pajak.

“Jadi rumusannya itu porsi withholding berbanding terbalik dengan kepatuhan. Saya kira sah-sah saja bagi Kemenkeu untuk memperbesar porsi withholding [pemotongan/pemungutan pajak] asalkan aspek kemudahan administrasi dan keadilan bisa dipenuhi,” ujarnya ketika dihubungi.

Kendati demikian, Yustinus menyarankan Kemenkeu agar penambahan jenis jasa lain yang akan dikenai PPh Pasal 23 tersebut, menyasar jasa informal ketimbang jasa formal. Hal itu dikarenakan tingkat penghindaran pajak di jasa informal sangat tinggi.

Sementara, jasa formal lebih baik dikenakan pajak penghasilan seperti biasa demi menegakkan rasa keadilan.

Adapun, Yustinus menyebutkan, tax ratio dari jasa masih rendah, yakni sebesar 4%-6% dari produk domestik bruto.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Saeno

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper