Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

CUKAI ROKOK 2015 Naik 8,72%, PHK Dikhawatirkan Makin Bertambah

Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) menilai kenaikkan tarif cukai rokok pada tahun depan 8,72% tidak realistis.
Ilustrasi/Bisnis.com
Ilustrasi/Bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA - Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) menilai kenaikkan tarif cukai rokok pada tahun depan 8,72% tidak realistis.

Pengusaha rokok menegaskan kenaikan sebesar itu tidak melihat situasi pasar dan berpotensi menambah jumlah pengangguran.
 
“Tanpa ada kenaikan pada 2014 ini saja, pabrikan besar telah mem-PHK lebih dari 10.000 tenaga kerja. Apalagi dengan kenaikkan sebesar itu,” Kata Ketua Gappri Ismanu Soemiran, Kamis (23/10/2014).
 
Ismanu melihat, kalau target pendapatan negara pada 2015 dari cukai rokok Rp120,5 triliun atau naik  8% dari tahun ini, maka kenaikkan cukai tahun depan itu cukup 5%.
 
Gappri mengaku sudah mengajukan usulan ini ke Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan. Namun sepertinya usulan itu bertepuk sebelah tangan alias tidak mendapat sambutan dari pemerintah.
 
“Karena itu kita terkejut dengan kenaikkan 8,72%. Apalagi perundingan kenaikkan cukai itu baru dua kali dan itupun belum tuntas,” beber Ismanu.
 
Ismanu menjelaskan secara rata-rata kenaikkan itu memang masih di bawah 10%. Namun, kalau melihat sistem cukai diterapkan berdasarkan golongan dan tiap golongan dibagi lagi menjadi beberapa tingkatan (layer), kenaikkan cukai untuk golongan satu bisa mencapai 16%.
 
Kenaikkan sebesar 16% jelas berdampak pada harga rokok. Tingginya harga rokok akan membuat pembeli mencari rokok dengan harga di bawahnya. Masalahnya, industri yang di bawahnya tidak mampu mengisi lantaran terbentur kapasitas produksi yang dibatasi.
 
“Kalau ada kekosongan seperti ini, sebenarnya berbahaya karena akan memicu rokok ilegal,” imbuhnya.

Hilangnya pasar akibat harga yang terlalu tinggi tentu akan membawa efek ekonomi yang lebih luas. Yang pertama, pabrikan rokok akan menunda pembelian tembakau dan cengkeh, sebagai bahan baku utama rokok,  
 
Kedua, perusahaan rokok akan dipersainghkan dengan rokok ilegal. Dalam posisi ini, akhirnya Negara juga yang akan mengalami kerugian. Sebagai catatan, berdasarkanm survei rokok ilegal yang dilakukan Universitas Gadjah Mada, tahun ini nilai rokok ilegal mencapai lebih dari Rp1 triliun atau 6% dari produksi nasional.
 
Selama ini, pabrikan mempunyai buffer stock atau ketersediaan bahan baku untuk kebutuhan selama tiga tahun untuk tembakau dan untuk cengkeh selama dua tahun. Nah, agar terhindar dari kerugian lebih dalam akibat kerugian penjualan, maka perusahaan akan menunda pembelian tembakau demi menekan biaya. “Jadi efek dominonya bisa berdampak pada petani tembakau dan cengkeh,” tegas Ismanu.
 
Dampak buruk lainnya, dengan kenaikkan cukai sebesar 16%, pabrikan besar pun akan berpotensi untuk melakukan pemutusan hubungan kerja.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Sepudin Zuhri
Editor : Sepudin Zuhri

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper