Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Moneter Ketat, Target Pertumbuhan Ekonomi 5,8% Masih Realistis?

Di tengah kebijakan moneter yang kian ketat dan risiko perlambatan konsumsi masyarakat pascakenaikan harga BBM, pemerintah bersikukuh menahan target pertumbuhan ekonomi pada 5,8% pada Rancangan APBN-Perubahan 2015.
BAMBANG SOEMANTRI BRODJONEGORO/
BAMBANG SOEMANTRI BRODJONEGORO/

Bisnis.com, JAKARTA—Di tengah kebijakan moneter yang kian ketat dan risiko perlambatan konsumsi masyarakat pascakenaikan harga BBM, pemerintah bersikukuh menahan target pertumbuhan ekonomi pada 5,8% pada Rancangan APBN-Perubahan 2015.

“Pertumbuhan tetap. Inflasi juga kemungkinan enggak [berubah],” kata Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, Rabu (19/11/2014). Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015 pemerintah dan DPR menyepakati target inflasi sebesar 4,4%. 

Bahkan Kepala Pusat Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Lucky Al Firman mengatakan pertumbuhan ekonomi justru berpotensi kian tinggi. “Bisa lebih tinggi, kan saving-nya lebih besar, semua masih dihitung,” ungkapnya.

Padahal Bank Indonesia (BI) baru saja menambah dosis pengetatan moneternya dengan menaikkan tingkat suku bunga acuan atau BI rate sebesar 25 basis poin menjadi 7,75% demi menjangkar ekspektasi inflasi sebesar 7,7% pada tahun ini.

Ditambah lagi, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sebesar Rp2.000 per liter dipastikan mempengaruhi daya beli masyarakat dan pada gilirannya akan menggerus laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang merupakan komponen penyumbang terbesar produk domestik bruto (PDB).

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan paling tidak selama 10 tahun terakhir porsi konsumsi rumah tangga terhadap PDB selalu di atas 50% bahkan mencapai 57%.

Meski pemerintah telah menyediakan bantalan dengan serangkaian kartu sakti dan bantuan nontunai senilai Rp200.000 per bulan, ekonom menilai langkah itu takkan cukup kuat untuk menahan perlambatan konsumsi.

Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM FEUI) I Kadek Dian Sutrisna menilai pemerintah terlalu optimistis. “Maksimal itu 5,5% karena selain dari internal, kita masih menghadapi kondisi global yang tak pasti,” tuturnya. 

Ketatnya dosis moneter, sambung Kadek, pada akhirnya juga akan membuat investasi tersendat dan mengganggu sektor riil. Padahal pemerintah berulang kali mengatakan mengandalkan laju investasi untuk menopang pertumbuhan ekonomi tahun depan. 

Namun, investasi juga akan ditantang oleh kondisi eksternal terkait normalisasi Kebijakan Moneter Federal Reserve (the Fed) tahun depan.

Menanggapi hal tersebut Bambang berujar konsumsi cenderung akan stabil dan tak terlampau terpengaruh oleh kondisi saat ini. Adapun kondisi eksternal dipandang takkan terlalu mengusik karena daya tarik pasar Indonesia masih sangat besar.

Pemerintah juga berargumen ruang fiskal yang tersedia pascapemangkasan subsidi BBM bisa menggenjot belanja dan mengungkit pertumbuhan ekonomi. 

Kalkulasi otoritas fiskal sementara ini memperkirakan paling tidak ada Rp110 triliun-Rp145 triliun yang bisa direalokasi untuk sektor yang lebih produktif, terutama  untuk mengebut proyek infrastruktur.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor :
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper