Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

PPh Pasal 22 Hunian Sangat Mewah, Peraturan Dirjen Pajak Segera Direvisi

Belum genap sebulan ditetapkan, Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-19/PJ/2015 tentang Tata Cara Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah akan direvisi.
Ilustrasi
Ilustrasi

Bisnis.com, JAKARTA - Belum genap sebulan ditetapkan, Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-19/PJ/2015 tentang Tata Cara Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah akan direvisi.

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan revisi yang dilakukan terkait ketentuan harga jual yang menjadi dasar pengenaan PPh pasal 22 sebesar 5% hanya cash keras, tidak termasuk pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan barang mewah (PPnBM).

"Sudah dibetulin. Pokoknya Rp5 miliar itu hard cash saja," ujarnya singkat, Senin (15/6/2015).

Dalam pasal 2 beleid yang ditetapkan pada 20 Mei 2015 dan berlaku per 30 Mei 2015 ini disebutkan harga jual lebih dari Rp5 miliar untuk rumah beserta tanahnya serta apartemen, kondominium, dan sejenisnya yang tergolong sangat mewah merupakan harga dasar yakni harga tunai atau cash keras termasuk PPN dan PPnBM.

Dengan ketentuan yang di atur sebagai aturan pelaksanaan dari Peraturan Menteri Keuangan No. 90/PMK.03/2015 itu, selain memberi sinyal patokan batasan pengenaan PPnBM (secara nilai), dasar harga hunian (cash keras/ sebelum kena pajak) yang kena pungutan PPh pasal 22 jadi turun di bawah Rp5 miliar. Jika dihitung, bisa mencapai Rp3,8 miliar.

Ketentuan ini sontak menimbulkan reaksi dari beberapa pengusaha properti. Kepada Bisnis.com, hampir semuanya tidak mau memberikan pernyataan resmi yang bisa diungkapkan ke publik untuk menanggapi ketentuan ini.

Sebelumnya, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak (DJP) Mekar Satria Utama mengatakan beleid itu memang merupakan penegasan besaran Rp5 miliar merupakan patokan pemungutan PPh pasal 22. Namun, untuk dasar pengenaannya tetap pada harga sebelum dikenai PPN dan PPnBM.

Untuk dasar perhitungan PPh 22 akan kurang dari Rp5 miliar, tetapi utk menentukan apakah wajib dipotong PPh 22 atau tidak berdasarkan harga transaksi di Rp5 miliar, ujarnya, Rabu (3/6/2015).

Dia berujar ketentuan pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-19/PJ/2015 tentang Tata Cara Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah sudah sejalan dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 90/PMK.03/2015.

Ketentuan terkait harga jual, lanjut Mekar, sudah sejalan dengan aturan induknya. Jika menilik Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/PMK.03/2008, pengenaan PPh pasal 22 sebesar 5% dari harga jual tidak termasuk PPN dan PPnBM.

Padahal, dalam UU No. 42 Tahun 2009, harga jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan barang kena pajak, tidak termasuk PPN yang dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak.

Ketika dimintai konfirmasi terkait pernyataan Menkeu Bambang tersebut, kemarin, Mekar membenarkan memang saat ini otoritas pajak sedang menyusun revisi aturan pelaksanaan itu. Tanpa membeberkan pertimbangan langkah perubahan aturan itu, dia menyatakan beleid terbaru akan keluar sekitar 1-2 pekan ke depan.

"Sedang diproses Perdirjen penggantinya," katanya.

Kredibilitas DJP

Dimintai tanggapan, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai perumusan aturan teknis seharusnya didasarkan pada kondisi dan pertimbangan objektif sehingga memenuhi prinsip keterbukaan, keadilan dan fairness.

Peraturan yang dikeluarkan tanpa pertimbangan-pertimbangan yang matang dan komprehensif, sambungnya, dikhawatirkan menggerus kredibilitas DJP, di tengah upaya membangun kepercayaan (trust).

"Jika ini benar terjadi, Dirjen Pajak sebaiknya melalukan evaluasi menyeluruh terhadap tim yang membawahi perumusan ketentuan teknis," ujarnya.

Dari awal, Prastowo menyebut keluarnya Perdirjen Pajak No. PER-19/PJ/2015 sebagai aturan pelaksanaan PMK No. 90/PMK.03/2015 berpotensi menimbulkan distorsi kebijakan karena mengatur secara berbeda definisi harga jual yang memasukkan PPN dan PPnBM sebagai bagian harga jual.

Menurutnya, dalam satu kesatuan perpajakan, harus ada persamaan definisi harga jual sehingga memberikan kepastian hukum. Jika antara aturan satu dengan lainnya memiliki definisi yang berbeda akan multitafsir tidak sesuai dengan asas lex certa. []

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper