Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

UU LPS: Frasa yang Menjadi Tanda Tanya

Wewenang penjualan seluruh saham bank gagal oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) masih menjadi perdebatan dalam sidang uji materi Undang-undang tentang LPS. Bahkan, dua saksi ahli yang dihadirkan pun memiliki pandangan yang bertolak belakang.
Sebuah stiker keikutsertaan menjadi anggota Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) tertempel di pintu masuk salah satu bank di Jakarta. /Bisnis.com
Sebuah stiker keikutsertaan menjadi anggota Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) tertempel di pintu masuk salah satu bank di Jakarta. /Bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA - Wewenang penjualan seluruh saham bank gagal oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) masih menjadi perdebatan dalam sidang uji materi Undang-undang tentang LPS. Bahkan, dua saksi ahli yang dihadirkan pun memiliki pandangan yang bertolak belakang.

Baru-baru ini, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengajukan permohonan uji materi atas Undang-undang tentang LPS ke Mahkamah Konstitusi. Satu poin penting yang mendasari pengajuan itu adalah keinginan LPS untuk menjual seluruh saham bank gagal, termasuk saham milik publik.

Sekretaris Perusahaan LPS, Samsu Adi Nugroho memang menyatakan bahwa permohonan yang dilayangkan pihaknya ke MK semata-mata meminta penafsiran atas beberapa pasal yang mengatur tentang kewajiban LPS menjual saham bank yang diselamatkan.

Tiga pasal yang mohonkan untuk diuji materi adalah, pasal 30 ayat 1, pasal 38 ayat 2, dan pasal 42 ayat 1. Dia menjelaskan yang membingungkan dari tiga pasal itu adalah frase ‘wajib menjual seluruh saham’. LPS ingin MK memberi penafsiran, apakah seluruh saham yang dimaksud termasuk saham milik publik atau tidak.

Namun, secara tersirat Samsu menyatakan pihaknya menginginkan frase tersebut ditafsirkan sebagai seluruh saham, termasuk milik publik.

“Menurut kami, lebih ter-manage kalau semuanya, termasuk publik. Tetapi kami mau lihat dulu MK menafsirkannya seperti apa, nanti baru kami tentukan langkah berikutnya,” kata Samsu.

Keinginan LPS ini menimbulkan perdebatan dalam persidangan. Sejumlah saksi yang hadir memberikan pernyaataan yang bisa dikatakan bertolak belakang.

Pemerintah menilai lembaga tersebut tidak berwenang menjual saham milik publik dari bank yang gagal. Dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi, pemerintah diwakili oleh Direktur Jenderal HAM Kemenkumham Mualimin Abdi yang sekaligus kuasa hukum presiden.

Mualimin menyampaikan bahwa hak kepemilikan, termasuk kepemilikan saham dari pasar modal, bersifat tidak mutlak. Sebab, hak kepemilikan dapat dibatasi sepanjang pembatasan itu diatur dengan undang-undang.

Pembatasan tersebut, lanjutnya, sejalan dengan perintah Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib  tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang  dengan maksud untuk menjamin hak dan kebebasan orang lain.

“Dengan demikian, pemerintah berpendapat bahwa bila LPS ingin memiliki kewenangan untuk menjual seluruh saham bank gagal, termasuk menjual saham yang dibeli di pasar modal, maka perlu ada pengaturan dalam UU LPS tentang pengecualian peralihan hak milik atas saham,” jelasnya.

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Saldi Isra yang menjadi saksi ahli dalam persidangan berkata lain. Menurutnya, LPS memiliki wewenang menjual seluruh saham milik bank gagal, termasuk saham milik publik.

Diapaparkannya bahwa dalam UU LPS dinyatakan penjualan saham bank gagal harus mempertimbangkan tingkat pengembalian yang optimal. Itu sebabnya dia beranggapan bahwa frasa ‘seluruh saham’ dalam tiga pasal yang diuji materi diterjemahkan sebagai saham milik LPS maupun milik masyarakat.

“Karena hanya dengan penjualan secara keseluruhan, kemungkinan pengembalian optimal dapat dipenuhi,” ujar Saldi. Menurut Saldi, jika frasa ‘seluruh saham’ dalam ketiga pasal yang digugat LPS diartikan sebagai seluruh saham yang hanya milik LPS dan tidak termasuk saham publik, maka UU LPS seharusnya mencantumkannya secara eksplisit.

Setelah memeriksa seluruh pasal dalam UU LPS, dia menyatakan tidak menemukan satu pun ketentuan yang mengecualikan itu. Bahkan, dia mengaku tidak menemukan keterangan apapun terkait frasa tersebut dalam bagian penjelasan.

“Padahal, bagian penjelasan berfungsi memberikan pemaknaan lebih lanjut terhadap bagian tertentu, dari pasal dan atau ayat dalam sebuah undang-undang,” katanya.

Ditilik dari pendekatan sistematis, Saldi melihat bahwa Pasal 35 dan 36 UU LPS dapat memberi petunjuk bahwa frasa ‘seluruh saham’  dapat diartikan termasuk pula saham masyarakat yang dibeli di pasar modal.

Hal itu, lanjutnya, dapat terlihat jika satu bank bernilai positif diserahkan kepada LPS, maka hasil penjualan saham bank digunakan untuk mengembalikan seluruh biaya penyelamatan yang telah dikeluarkan.

Selain itu, saham juga dikembalikan pada pemegang saham lama atau masyarakat sebesar  ekuitas bank pada saat penyerahan kepada LPS. Bila masih ada sisa, saham hasil penjualan dibagi secara proporsional bagi LPS dan pemegang saham lama.

“Logika sederhananya, kalau sahamnya tidak jadi bagian yang harus dijual, tentu dia tidak akan dapat pembagian dari proses penjualan itu. Jadi dia dapat bagian dari proses penjualan itu karena sahamnya juga menjadi bagian dari yang dijual,” urai Saldi.

Deputi Komisioner Pengawasan Pasar Modal I pada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sardjito yang dihadirkan sebagai ahli oleh Pemerintah berkata lain. Dia menilai bila LPS menjual seluruh saham bank gagal, termasuk juga menjual saham yang dibeli di pasar saham, maka telah terjadi pengambilalihan secara paksa oleh negara melalui LPS.

Di hadapan pleno hakim yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman, Sardjito menyampaikan alasan inkonstitusionalitas dalil LPS, selaku pemohon yang menginginkan dirinya bewenang menjual 100% saham bank gagal.

Sardjito menyimpulkan kepemilikan saham publik tidak termasuk dalam makna frasa ‘seluruh saham bank’. Artinya, pemegang saham publik tidak termasuk sebagai pihak yang harus menyatakan kesediaan untuk melepas dan atau menyerahkan kepemilikan sahamnya kepada LPS apabila bank menjadi bank gagal, dan diputuskan untuk diselamatkan atau dilikuidasi.

Saat ini, nasib Bank Century yang sekarang telah menjadi Bank Mutiara dan berganti nama menjadi Bank J Trust masih menggantung. Masih tersisa 0,0035% saham milik publik yang masih menunggu kepastian hukumnnya untuk dijual kepada investor atau tidak.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Fatkhul Maskur

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper