Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

EKONOM: Indonesia Tidak Dalam Kondisi Krisis

Ekonom menegaskan kondisi perekonomian Indonesia saat ini tidak dalam fase krisis.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia 2011-2015. / Bisnis
Pertumbuhan ekonomi Indonesia 2011-2015. / Bisnis
Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom menegaskan kondisi perekonomian Indonesia saat ini tidak dalam fase krisis.
 
"Menurut saya enggak. Segala hormat saya bagi semua yang mengatakan krisis yak kok rasanya nggak krisis ya. Ya kalo bicara potensi krisis selalu ada ya," ujar
Ekonom dari Universitas Gadjah Mada Tony Prasetiantono di Kompleks Bank Indonesia, Rabu (2/9/2015).
 
Menurutnya, melihat indikator perekonomian Indonesia saat ini yakni pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan cadangan devisa, belum menunjukkan tanda bahwa Indonesia masuk dalam kondisi krisis maupun krisis.
 
"Cuma kalau melihat indikator sekarang, kayaknya enggak ya, masih belum. Perlambatan yang cukup lumayan iya tetapi ini kan imbas dari ekonomi China," katanya.
 
Tony menuturkan perekonomian China sebelumnya bisa bertumbuh sebesar 13% tetapi sekarang, pertumbuhan ekonomi China hanya diprediksi sebesar 6,3%.
 
"Tahun ini paling cuman 6,3%, tidak 7% lagi. Jadi kepangkas separo, dari 13% kan cuman separuhnya. Jadi Indonesia tumbuh 4,7%-4,8% tahun ini, tahun depan kondisinya masih sama lah. Jadi cukup wajar, proporsional lah. China jadi 6,3%-6,5% dan Indonesia jadi 4,7%, itu masih baik," tuturnya.
 
Walaupun kondisi ekonomi Indonesia masih terbilang aman, namun perlu kewaspadaan karena nilai tukar rupiah saat ini mencapai Rp14.000 per dolar AS.
 
"Tapi tidak berarti kita tidak waspada ya, karena bagaimanapun kurs Rp14.000 itu membuat orang takut. Apapun alasannya itu enggak bener, kurs Rp14.000 itu harus dikembalikan ke level yang masuk akal," ucap Tony.
 
Menurutnya, level nilai tukar rupiah yang fundamental saat ini seharusnya berada dikisaran rentang Rp12.500 hingga Rp13.000 per dolar AS.
 
Dia menilai tertekannya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS saat ini dikarenakan kecemasan berlebihan yang berdampak pada kepemilikan mata uang dolar.
 
"Celakanya sekarang setiap orang di dunia ketika cemas pegangnya dollar. Kalau dulu cemas, orang masih bisa pegang euro, yen. Tapi sekarang enggak bisa megang yen karena ekonomi Jepang stagnan," ujar Tony.
 
Sebelumnya, Bank Indonesia juga menegaskan kondisi ekonomi Indonesia tidak memasuki fase krisis, meskipun nilai tukar rupiah bergejolak hingga menembus Rp14.100 per dolar AS.
 
"Kami sampaikan tidak. Malah fundamental ekonomi Indonesia kita membaik, tetapi ekonomi dunia terus memburuk apalagi ada sentimen Fed Rate akan naik dan devaluasi yuan," katanya.
 
Menurutnya, kondisi saat ini berbeda dengan 1997/1998. Waktu itu, pertumbuhan ekonomi merosot dari posisi 1997 sebesar 4,7% menjadi -13,7% pada 1998. Bahkan, inflasi waktu itu melonjak dari 10,31% (1997) menjadi 77,63% (1998).
 
Kondisi tersebut berbeda dengan saat ini, di mana pada 2014 ekonomi tumbuh 5,1%, turun menjadi 4,67% pada kuartal II/2015 . Inflasi pun juga rendah dari posisi 2014 sebesar 8,36% menjadi 7,26% pada kuartal II/2015.
 
"Inflasi 77% saat krisis , kita ingat BI Rate naik 57%. Sekarang inflasi mengarah ke 4,5%, kami bersama pemerintah akan fokus jaga inflasi," ujar Agus.
 
Dia menambahkan pada saat krisis 1997 dan 1998, current account deficit atau CAD Indonesia masing-masing berada di level -1,6% terhadap PDB dan -3,8% terhadap PDB.
 
Saat ini, kondisi CAD Indonesia sebesar -3,09% terhadap PDB pada 2014 dan -2,16% pada kuartal II/2015.
 
Cadangan devisa Indonesia pada 1997 senilai US$21,41 miliar, sedangkan pada 1998 mencapai US$23,76 miliar.
 
Sementara itu, cadangan devisa pada 2014 mencapai US$111,96 miliar, kemudian pada kuartal II/2015 turun tipis menjadi US$107,55 miliar.
 
Adapun, rasio utang luar negeri (external debt) Indonesia pada 1997 dan 1998 mencapai 100,81% dan 126,69%, sedangkan external dept pada 2014 sebesar 33,06% dan pada kuartal II/2015 mencapai 34,42%.
 
"Cadangan devisa sekarang pada US$107 miliar itu untuk biayai 7 bulan impor. Cadangan ini harus kita kelola dengan hati hati," ucapnya.
 
Agus juga menyoroti perubahan kurs rupiah pada krisis 1997 dan 1998, di mana mengalami depresiasi sebesar 131% dari Rp2.363 per dolar AS menjadi Rp5.450 per dolar Amerika Serikat pada 1997, kemudian pada 1998 rupiah kembali melemah 48% dari Rp5.450 per dolar AS menjadi Rp8.050 per dolar AS.
 
Pada 2014, rupiah melemah 1,81% dari Rp12.160 per dolar AS menjadi Rp12.485 per dolar AS.
 
"Pada 2015 ini rupiah hanya melemah 13,4% dari awal tahun hingga bulan Agustus dari Rp12.485 per dolar AS menjadi Rp14.000 per dolar AS," kata Agus.
 
Dia menambahkan Indonesia pada waktu krisis 1998 tidak mempunyai kerangka kerja menargetkan sasaran inflasi dan tidak mempunyai tim pengendali inflasi daerah (TPID)
 
"Saat ini, kami punya TPID di 34 provinsi untuk kendalikan inflasi daerah. Saat krisis 1998 itu juga tidak terdapat batasan defisit fiskal dan utang pemerintah serta belum ada lembaga penjamin simpanan. Kalau sekarang kan ada jumlah kumulatif defisit APBN dan APBD dibatasi maksimal 3% PDB dan total outstanding utang pemerintah 60% dari PDB," terang Agus.
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper