Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ditjen Pajak Akui Kuwalahan Perangi Transfer Pricing

Otoritas pajak mengaku masih kuwalahan memerangi praktik transfer pricing meskipun saat ini pemerintah tengah menarik arus masuk investasi langsung asing ke Tanah Air.
Kantor Ditjen Pajak/Ilustrasi-Bisnis.com
Kantor Ditjen Pajak/Ilustrasi-Bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA – Otoritas pajak mengaku masih kuwalahan memerangi praktik transfer pricing meskipun saat ini pemerintah tengah menarik arus masuk investasi langsung asing ke Tanah Air.

M Haniv, Kepala Kanwil DJP Jakarta Khusus – kanwil yang mencakup KPP Penanaman Modal Asing (PMA), KPP Badan dan Orang Asing, dan KPP Perusahaan Masuk Bursa – mengaku penanganan praktik tersebut merupakan upaya tersulit dalam lingkup tanggung jawabnya.

“Itu memang perang tersulit di [Kanwil DJP] khusus karena hampir semua perusahaan PMA. Di mana ada investor asing, di situ ada transfer pricing,” ujarnya ketika di temui akhir pekan lalu.

Transfer pricing (TP) merupakan transaksi barang dan jasa antara beberapa divisi pada suatu kelompok usaha dengan harga yang tidak wajar dengan cara menaikkan (mark up) atau menurunkan harga (mark down). Kebanyakan praktik tersebut dilakukan oleh perusahaan global.

Tujuannya untuk mengakali jumlah profit sehingga pembayaran pajak dan pembagian dividen menjadi rendah. Kedua, menggelembungkanprofit untuk memoles (window-dressing) laporan keuangan.

Menilik data BKPM, arus investasi asing yang masuk ke Tanah Air sepanjang paruh pertama tahun ini mencatatkan posisi tertinggi se-Asean. Selama semester I/2015, arus investasi asing yang masuk ke Indonesia senilai US$13,7 miliar atau 31% dari seluruh investasi asing di Asean US$43,9 miliar.

Haniv mengatakan sebenarnya sudah ada mesin Oriana yang memuat database yang berisi data perusahaan-perusahaan terbuka yang terdaftar di bursa global serta perusahaan-perusahaan-perusahan tertutup. Namun, data yang diperoleh dari Oriana masih bisa terpatahkan di pengadilan pajak pengusaha memiliki semua dokumen yang lengkap.  

Selain itu, Ditjen Pajak (DJP), lanjutnya, juga memanfaatkan pemeriksaan dengan exchange of information ke luar negeri terhadap seluruh perusahaan yang melakukan transaksi. Namun, hingga saat ini langkah tersebut belum optimal.

Dia berujar seharusnya ada agent perwakilan DJP yang berada di beberapa negara yang menjadi tujuan transaksi, seperti Singapura, Hongkong, Jepang, Korea, dan beberapa negara lain. “Jadi ada orang kita ‘ditanam’ di kedutaan besar. [Kebijakan] kantor [DJP] pusat sudah mengarah ke sana sebenarnya,” katanya.  

Selama ini, permintaan data ke luar negeri terutama Singapura, sambung dia, masih terkendala adanya payung hukum kerahasiaan perbankan. Namun, hambatan itu diyakini bakal hilang dengan adanya implementasi Automatic Exchange of Information (AEoI) inisiasi Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) pada akhir 2017.

Dimintai tanggapan, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai corresponding adjustmentyang menempatkan perwakilan DJP sebenarnya tidak akan memberikan keuntungan yang signifikan untuk memerangi TP.

Corresponding adjustment, lanjutnya, penting bukan untuk memitigasi praktik TP, melainkan justru untuk pengumpulan data tentang orang Indonesia yang berinvestasi di luar negeri.

Menurutnya, mitigasi TP  bisa dimaksimalkan dengan advance pricing agreement (APA) dan mutual agreement procedure (MAP). Kedua instrumen itu bisa digunakan wajib pajak (WP) di dua negara dengan minta persetujuan otoritas pajak kedua negara atas penentuan harga transfer yg dilakukan.

“Sayangnya justru Indonesia yang terlalu konservatif terhadap dua prosedur itu dan jarang yang disetujui. TP bisa diatasi dengan dua hal itu, selain beberapa hal lain yang simultan,” terangnya.

Selain itu, dua solusi lainnya yakni pertamasafe harbor. Ini regulasi TPuntuk transaksi yang nilainya kecil dan sektor yang tidak berisiko tinggi. Menurutnya, tidak perlu pakai dokumentasi TP yang rumit tapi cukup dimitigasi dengan beberapa standar kewajaran yang sederhana.

Kedua, penyediaan database domestik yang baik. Selama ini, tutur Prastowo, database masih menggunakan data luar negeri yang banyak tidak sesuai. Menurutnya, kerja sama dengan Ditjen Bea dan Cukai untuk barang akan lebih baik dan mudah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper