Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

PELEMAHAN RUPIAH: Bankir Perketat Pengawasan

AKalangan bankir kian ketat melakukan pengawasan terhadap nasabahnya untuk meminimalisir dampak second round dari tertekannya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika.
Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D. Hadad. /Bisnis.com
Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D. Hadad. /Bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA—Kalangan bankir kian ketat melakukan pengawasan terhadap nasabahnya untuk meminimalisir dampak second round dari tertekannya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika.

Direktur Utama PT Bank Permata Tbk. Roy Arman Arfandy mengatakan kondisi ekonomi yang belum membaik menyebabkan rasio kredit bermasalah diproyeksikan masih akan mengalami kenaikan.

Untuk mengantisipasi makin terkereknya level non-performing loan (NPL) tersebut, Roy menekankan pihaknya kian ketat memantau pergerakan nasabah importir perusahaan.

“Kami monitor dengan saksama performa nasabah kami khususnya nasabah yang melakukan transaksi impor sedangkan penjualannya lokal,” ujar Roy kepada Bisnis.com.

Sejak awal koreksi nilai tukar pada tahun ini, emiten berkode saham BNLI memang disebutkan telah memproyeksi nasabah importir menjadi kalangan yang bakal menerima dampak terbesar. Selain melakukan pemantauan cermat, sebut Roy, perusahaan juga menjaga level loan to deposit ratio (LDR) di posisi 86%-89% hingga akhir tahun nanti.

Dari laporan keuangan BNLI, hingga paruh pertama tahun ini perusahaan mencatatkan kenaikan NPL gross di posisi 2,15% atau naik 70 basis poin (bps) dari 1,45% di periode yang sama pada tahun lalu.

Presiden Direktur PT Bank OCBC NISP Tbk. Parwati Surjaudaja mengatakan pihaknya selalu mencermati banyak faktor yang mempengaruhi bisnis perusahaan. Dari faktor nilai tukar, sebut dia, emiten berkode saham NISP ini  telah melakukan stress test hingga ke posisi Rp17.500.

“Hasilnya memang kualitas portofolio kemungkinan akan memburuk, tapi masih di level terkendali,” jelas Parwati ketika dihubungi. Parwati juga menyebutkan pihaknya tetap akan mencermati berbagai faktor lain seperti suku bunga dan harga komoditas.

Laporan keuangan NISP menunjukkan per Juni 2015, perusahaan menjaga NPL gross di posisi 1,28% atau naik tipis dari 1,12% pada bulan yang sama tahun lalu.

Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Budi Gunadi Sadikin berujar perseroan kini kian ketat menawarkan restrukturisasi. Pada 2008, kata Budi, pihaknya memberlakukan restrukturisasi untuk pinjaman dengan kolektabilitas 3.

Namun, melihat tindakan pencegahan tersebut dinilai terlambat, maka perseroan menggelar restrukturisasi lebih awal. “Bahkan sekarang masih satu sudah kami restrukturisasi karena antisipasi,” jelas Budi.

Laporan keuangan publikasi emiten berkode saham BMRI ini menerakan hingga Juni 2015, perseroan telah menyalurkan kredit senilai Rp552,8 triliun atau naik 13,8% secara tahunan (y-o-y) dari Rp448,8 triliun di bulan yang sama tahun lalu. Kenaikan pertumbuhan kredit tersebut juga diikuti peningkatan rasio pinjaman bermasalah sebesar 20 basis poin (bps) menjadi 2,43% pada Juni 2015.

Sementara itu, Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk. Jahja Setiaatmadja menuturkan dana valas yang kini dihimpun perusahaan telah mencapai US$2,8 miliar.

Dia merinci sebanyak US$1,4 miliar disalurkan dalam bentuk kredit, senilai US$600 juta untuk dana likuid, sedangkan sisanya ditempatkan dalam instrumen BI dan obligasi pemerintah.

“Kami jaga LDR valas di 50%-60% sampai akhir tahun,” kata Jahja.

Di tengah kondisi pelemahan nilai tukar ini, Jahja menyebut perusahaan juga kian aktif mendorong nasabah eksportirnya untuk lebih banyak menjual dolar AS.

Deputi Komisioner Pengawasan Perbankan III Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Irwan Lubis mengungkapkan pelemahan nilai tukar rupiah lebih berdampak pada terakselerasinya risiko kredit akibat second round effect.

Sebab, lanjut dia, pelemahan nilai tukar berdampak pada kemampuan debitur untuk memenuhi kewajiban bayar sehingga menurunkan kolektabilitas kredit.

“Nanti data dampaknya baru terlihat pada Desember, karena baru kelihatan dampak second round setelah tiga sampai enam bulan [usai koreksi nilai tukar],” jelas Irwan.

Ketua Dewan Komisiner OJK Muliaman D. Hadad menuturkan posisi bank di Indonesia justru diuntungkan karena aset dolar lebih banyak dibanding utang dolar. Kendati demikian, dia mengakui kualitas aset bank bakal terdampak pelemahan nilai tukar.

“Karena yang kena itu korporasi dulu baru bank. Jadi ini enam sampai sembilan bulan lag-nya,” jelas Muliaman.

Namun, indikasi tekanan ekonomi global yang turut berdampak pada Indonesia, ujar Muliaman, telah sejak dini diantisipasi dengan meluncurkan paket stimulus. Tujuannya, yakni untuk mengakselerasi kredit dan menekan laju kenaikan NPL.

Salah satu stimulus yang diberikan OJK memudahkan bankir untuk melakukan restrukturisasi lebih awal sebelum keadaan bisnis memburuk.  “Dampaknya kini posisi NPL gross industri per Agustus yakni 2,7% atau NPL net di posisi 1,2%. Masih jauh di bawah threshold,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Fatkhul Maskur

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper