Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Revisi UU PPh: Fasilitas Pengurangan Penghasilan Neto Dilonggarkan

Otoritas berencana memberikan fleksibilitas bagi Menteri Keuangan untuk menentukan besaran pengurangan penghasilan neto untuk penghitungan pajak dalam fasilitas tax allowance - melampaui 30%.
Ilustrasi
Ilustrasi

Bisnis.com. JAKARTA - Otoritas berencana memberikan fleksibilitas bagi Menteri Keuangan untuk menentukan besaran pengurangan penghasilan neto untuk penghitungan pajak dalam fasilitas tax allowance - melampaui 30%.

Kepala Subdirektorat Peraturan Pajak Penghasilan (PPh) Badan Ditjen Pajak (DJP) Raden Setyadi Aris Handono mengatakan pelonggaran itu menjadi bagian dari usulan revisi Undang-Undang PPh selain rencana penurunan tarif PPh Badan.

"Kalau UU lama kan dipatok 30%, nah kita usulkan menteri [keuangan] lebih fleksibel. Kita coba usulkan ya jangan dipatok 30% lah, ya misalnya 30% tapi menteri boleh mengusulkan lebih," ujarnya saat Media Gathering 2015 DJP, Jumat (9/10/2015).

Menurutnya, kendati memang ada potensi pengurangan penerimaan pajak ke kas negara, pemberian insentif fiskal diharapkan mampu membuat lokomotif ekonomi bergerak kencang. Terakselerasinya pertumbuhan ekonomi nasional, sambungnya, akan berimbas positif pada penerimaan negara.

Dalam aturan saat ini, sesuai amanat pasal 31A UU No. 7/1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 36/2008 disebutkan adanya fasilitas perpajakan dalam bentuk pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% dari jumlah penanaman modal.

Penanaman modal itu harus dilakukan di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional. Selain pengurangan dasar penghitungan PPh, ada tiga fasilitas lainnya, yakni pertama, penyusutan dan amortisasi yang dipercepat.

Kedua, kompensasi kerugian yang lebih lama, tetapi tidak lebih dari 10 tahun. Ketiga, pengenaan PPh atas dividen dalam Pasal 26, sebesar 10%, kecuali apabila tarif menurut perjanjian perpajakan yang berlaku menetapkan lebih rendah.

Sejak 2007 hingga sekarang, jelasnya, sudah ada 97 perusahaan yang mendapatkan tax allowance. Khusus tahun ini, ada 10 perusahaan yang mendapatkannya dan dua pengajuan baru sedang diproses. Dari 10 penerima fasilitas ini, paling banyak merupakan perusahaan sawit selain smelter, industri kimia, dan gas. Mereka menjalankan usahanya di Sumatera dan Kalimantan.

Aris mengungkapkan dalam RUU yang telah diajukan masuk dalam Prolegnas 2016 ini akan ada juga kejelasan terkait subjek pajak. Saat ini, sudah banyak lembaga baru seperti Otoritas Jasa Keuangan, Badan Layanan Umum, Badan penyelenggara Jaminan Sosial yang tidak masuk dengan UU saat ini.

"Justru itu yang jadi masalah karena tidak klik dengan lembaga baru," katanya.

Dia mengharapkan Panitia Antar Kementerian (PAK) yang membahas Revisi UU PPh diharapkan selesai akhir bulan ini sehingga bisa segera diseleraskan dan diharmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo berpendapat memang perlu adanya perluasan cakupan pada pasal 31A UU PPh agar memberikan kelonggaran ruang bagi otoritas memberikan fasilitas perpajakan.

Dalam kondisi sekarang, sambungnya, dibutuhkan ruang tersebut tapi limitasi UU menjadikannya sulit dilakukan. Kendati demikian, pihaknya mengimbau agar tetap memasukkan klausul batas atas yang conditional agar tidak disalahgunakan.

"Perlu dibuat klausul bahwa batas atas itu conditional, misalnya saat krisis perlu konsultasi dengan DPR," ungkapnya.

Selain itu, jika skema tax holiday akan dilebur ke tax allowance, maka industri pionir sebaiknya masuk di UU PPh dan pengurangan hingga 75% dimungkinkan dengan syarat khusus.

Seperti diketahui, industri pionir dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 159/PMK.010/2015 diperluas dari aturan terdahulu dari lima industri menjadi sembilan industri, a.l. industri logam hulu, industri pengilangan minyak bumi, industri kimia dasar organik yang bersumber dari minyak bumi dan gas alam.

Selanjutnya, industri permesinan yang menghasilkan mesin industri, industri pengolahan berbasis hasil pertanian, kehutanan, dan perikanan, industri telekomunikasi, informasi dan komunikasi, industri transportasi kelautan.

Ada pula industri pengolahan yang merupakan industri utama di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), dan/atau infrastruktur ekonomi selain yang menggunakan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper