Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Prospek Ekonomi IMF: Tiga Masalah Klasik Masih Hantui Dunia

Untuk ketiga kalinya dalam waktu kurang dari setahun, Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global.
IMF juga berharap negara berkembang berusaha membuat kebijakan dan mencari sumber penopang pertumbuhan ekonomi yang lebih baru. /Bisnis.com
IMF juga berharap negara berkembang berusaha membuat kebijakan dan mencari sumber penopang pertumbuhan ekonomi yang lebih baru. /Bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA - Untuk ketiga kalinya dalam waktu kurang dari setahun,  Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global.

Hal yang menarik, dalam paparan resmi IMF World Economic Outlook (update 2016), secara umum dari tahun ke tahun persoalan inti perlambatan pertumbuhan ekonomi global hampir selalu sama. Meskipun dalam berjalannya waktu, perkembangan dan perubahan kondisi ekonomi dunia tetap menyertai persoalan inti yang cenderung klasik tersebut.

Tercatat sejak Amerika Serikat meluncurkan program quantitative easing pada 2008 dan China mulai mendominasi percaturan ekonomi global.  Persoalan tentang kebijakan AS dan China yang berdampak pada laju pertumbuhan ekonomi negara berkembang, selalu menyertai persoalan harga komoditas dunia yang terus terperosok.

Hal ini seakan menggambarkan bahwa, ketakutan pasar dan negara di dunia terhadap risiko pertumbuhan ekonomi global cenderung stagnan sejak 2008. Di samping beberapa sentimen dan gejolak tambahan yang terus menambah ‘bumbu-bumbu’ masalahan klasik tersebut.

"Kami tidak melihat perubahan besar dalam dasar-dasar permasalahan dunia, terutama di China dibandingkan dengan apa yang kami lihat beberapa waktu lalu. Namun, pasar sangat ketakutan oleh peristiwa atau sentimen kecil di AS atau China, dan pasar selalu kesulitan dalam mengartikannya," kata Direktur Ekonomi dan Konsultan IMF Maurice Obstfeld dalam keterangan resminya, Selasa (19/1/2016).

Dalam, proyeksi terbarunya, IMF mengatakan risiko pertumbuhan ekonomi sepanjang 2016-2017 terdiri dari tiga permasalahan utama.

Pertama, perubahan sekaligus transisi kebijakan ekonomi China yang lebih bertumpu pada aktivitas konsumsi dan sektor jasa, dari sebelumnya yang mengandalkan industrinya.

Otoritas moneter dunia tersebut meramalkan, perubahan tersebut akan berdampak buruk pada negara mitra dagang Negeri Tirai Bambu tersebut, terutama negara berkembang.

Pasalnya, China sebagai konsumen terbesar komoditas dunia, berpeluang mengendurkan konsumsi produk komoditasnya dalam beberapa waktu ke depan, padahal sektor komoditas merupakan tulang punggung ekspor di beberapa negara berkembang. 

Kedua, terus anjloknya harga komoditas dunia terutama minyak mentah. Membanjirnya pasokan minyak mentah secara global, terus menekan nilai dari emas hitam ini. Sementara itu, konflik geopolitik yang terus memanas, dinilai tidak akan terlalu mampu mengerek harga komoditas tersebut.

Ketiga, kebijakan Bank Sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang mulai meninggalkan rezim bunga nol persen sejak akhir tahun lalu, dan diikuti oleh rencana kenaikan suku bunga secara gradual pada 2016 ini.

Kebijakan moneter AS ini terbilang menjadi potensi masalah yang cenderung lebih baru, meskipun secara umum, kebijakan Negeri Paman Sam ini telah memberikan kepastian bagi negara-negara lain. 

Dolar AS Menguat

Langkah terbaru The Fed ini berpotensi untuk membuat nilai tukar greenback  terhadap sejumlah mata uang di dunia menguat. Akibatnya perusahaan-perusahaan yang menggunakan dolar AS, di negara berkembang akan menemui kendala di sisi keuangannya, sehingga turut menekan perekonomian nasional.

“Negara berkembang kini akan terus menghadapi potensi pertumbuhan yang lebih rendah, akibat kekuatan siklus perekonomian global yang merusak paradigma pertumbuhan tradisional,” kata Managing Director IMF Christine Lagarde dalam pidatonya beberapa waktu lalu.

Dalam proyeksi terbarunya, IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi global pada 2016 akan menjadi 3,4% atau turun dari proyeksinya pada Oktober 2015 yang memperkirakan pertumbuhan PDB mencapai 3,6%. Sedangkan untuk 2017, proyeksi pertumbuhan ekonomi global dipangkas menjadi 3,6%, atau turun dari proyeksi periode sebelumnya yang mencapai 3,8%.

Sementara itu, untuk proyeksi pertumbuhan ekonomi negara berkembang, IMF juga memangkasnya sebesar 0,2% , menjadi 4,3% pada 2016 dan 4,7% pada 2017. Pengaruh pergolakan ekonomi China disebut menjadi persoalan utamanya.

Hal yang sama pun berlaku pada negara maju. Otoritas yang berbasis di Washington DC ini, memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi negara maju sebesar 0,1%, yakni 2,1% pada 2016 dan 2017.

Perlambatan pertumbuhan juga diperkirakan akan terjadi pada AS. IMF memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi AS sebesar 0,2% pada 2016 dan 2017 menjadi 2,6%. Lemahnya harga energi dan turunnya sektor manufaktur akan cenderung mempengaruhi penguatan dolar AS.

Sementara Uni Eropa, diproyeksikan akan naik 0,1% dari proyeksi periode sebelumnya, ke titik 1,7%. Konsumsi rumah tangga yang terus menguat yang juga didorong oleh murahnya harga komoditas, telah mengerek pertumbuhan ekonomi Benua Biru.

Uniknya, IMF justru tidak memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi China. Pertumbuhan ekonomi Negeri Panda akan tetap berada pada posisi 6,3% pada 2016 dan 6,0 pada di 2017. Hal ini terjadi setelah XI Jinping berusaha menerapkan perubahan struktur ekonomi China menjadi bertumpu ke konsumsi dan jasa.

Kawasan Asean pun tak luput dari penurunan ekonomi. Kawasan yang mayoritas dihuni oleh negara berkembang, termasuk Indonesia ini, pertumbuhan ekonomi pada 2016 dipangkas menjadi 4,8% atau turun 0,1%, sedangkan pada 2017 direvisi menjadi 5,1%  atau dipangkas 0,2%.

Hampir sama dengan yang disarankan oleh World Bank dalam proyeksi pertumbuhan ekonomi global pekan lalu,  IMF juga berharap negara berkembang berusaha membuat kebijakan dan mencari sumber penopang pertumbuhan ekonomi yang lebih baru.

Reformasi struktural dan pelonggaran moneter diharapkan menjadi strategi tambahan bagi para pengambil kebijakan negara berkembang, di samping upaya untuk terus memperbaiki iklim bisnis agar menarik bagi investor. ()

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Fatkhul Maskur
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper