Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

DARMIN NASUTION: Kalau Kepepet, Jalan Keluar Itu Datang

Perlambatan ekonomi dunia turut berdampak ke dalam negeri. Pemerintah meresponsnya dengan sejumlah paket kebijakan. Bagaimana strategi, proses berpikir, hingga pergesekan intelektual yang mengiringi perumusan kebijakan tersebut?
Darmin Nasution/Reuters-Enny Nuraheni
Darmin Nasution/Reuters-Enny Nuraheni

SETELAH era booming komoditas berakhir, nyaris tidak ada negara di dunia yang tidak terseret dampak perlambatan ekonomi global. Indonesia pun turut menjalani situasi ekonomi yang tidak normal, bahkan melambat relatif signifikan.

Namun pemerintah tak ingin terus hanyut dalam tren perlambatan tersebut, sehingga mengeluarkan serangkaian kebijakan yang akan terus dilanjutkan dalam paket-paket deregulasi dan debirokratisasi. Beberapa kebijakan tersebut bahkan tidak lagi dapat dirumuskan secara konvensional seperti dalam situasi normal. 

Untuk mengetahui bagaimana pemerintah melihat kondisi perekonomian saat ini serta bagaimana strategi perumusan kebijakan-kebijakan, Bisnis Indonesia mewawancarai Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution di kantornya, Kamis (7/4/2016) lalu.

Berikut ini wawancara dengan Darmin Nasution:

Bisnis: Bagaimana sebenarnya pemerintah melihat perekonomian Indonesia dewasa ini?

Darmin: Secara umum, pemerintah itu melihat betul bahwa dengan ekonomi dan perdagangan dunia yang belum kelihatan tanda-tandanya untuk pulih, tekanan yang kita hadapi adalah tekanan untuk ikut terbawa melambat. Karena dunia melambat, apalagi kita adalah negara penghasil sumber daya alam. Dan negara-negara penghasil SDA ini yang paling terpukul sekarang ini.

Jadi, semua negara yang sangat tergantung SDA mengalami tekanan berat. Kita memang tidak bisa dibilang melambat sedalam negara penghasil yang lain, yang (sangat) tergantung SDA. Tapi kita tetap negara yang cukup banyak tergantung SDA, terutama beberapa tahun terakhir ini.

Nah, melihat situasi dan tendensi seperti itu, sementara kita sudah beberapa tahun ini pertumbuhannya relatif rendah, akibatnya cenderung makin rendah. Maka, yang harus dilakukan adalah harus membalikkan (laju pertumbuhan ekonomi) dari menurun ke meningkat.

Kita mau apa? Kita, pada dasarnya mau membalikkan tendesi itu, supaya pertumbuhan kembali meningkat. Dan, dua kuartal pertama tahun lalu ada perbaikan itu, walaupun tidak banyak. Artinya, kuartal III/2015 dibanding kuartal II/2015 sedikit membaik, kuartal terakhir terhadap sebelumnya sedikit membaik. Kita tentu berharap kuartal pertama tahun ini lebih membaik lagi.

Dinamika ekonomi saat ini kian kompleks, baik internal maupun eksternal. Bagaimana pemerintah merespons ini, dengan  profil kebijakan seperti apa?

Caranya bagaimana? Apa saja yang harus dilakukan pemerintah untuk mendorong tendesi seperti itu? Sebetulnya, secara apa yang kita miliki sekarang, apa yang bisa kita lakukan? Percuma kita mikirin sesuatu yang tidak bisa kita lakukan.

Pertama, tadinya (berharap kepada) APBN. Anggaran harus berperan tinggi di sini. Tapi kemudian segera disadari, eh, ternyata ekonomi yang melambat mendorong penerimaan (pajak) turunnya agak cepat, dibandingkan kenaikan yang diterima ketika ekonomi sedang membaik. Ini tidak simetris. Malah, penerimaan turunnya agak cepat, meski dia tidak turun absolut, tetapi pertumbuhannya lambat.

Oleh karena itu, kalau diperhatikan, pergulatan APBN tahun lalu adalah pergulatan dari bagaimana caranya defisit anggaran tidak terlalu dekat ke 3%, tapi kemudian coba didorong bahkan utangnya juga naik. Untuk apa? Untuk menciptakan volume APBN yang masih lumayan. Rasanya dengan segala kekurangan yang ada, tetapi kelebihannya, dalam situasi yang harusnya daya dorongnya sudah sangat lemah, tetapi masih bisa diperbesar sedikit daya dorongnya sehingga lumayan mendorong (pertumbuhan). Buktinya ada, pertumbuhan dua kuartal terakhir membaik.

Kedua, seharusnya investasi. Seharusnya. Tetapi, dalam situasi ekonomi dunia seperti ini, tidak usahlah terlalu berharap dalam investasi. Ya kan? Kenapa? Karena, mau ngapain investasi? Mau ekspor? Ekspor sedang merosot. Mau dijual di dalam negeri? Indonesia pun melambat.

Oleh karena itu, investasi ini tetap diupayakan, tetapi kita kemudian melihat, pemerintah kalau begitu mengundang investasi yang sifatnya lebih jangka panjang. Bukan berdasarkan pertimbangan jangka pendek.

Investasi apa itu? Infrastruktur. Ditambah memang kita, bahkan semuanya, tahu bahwa infrastruktur kita lambat perkembangannya selama ini. Itu memang diperlukan, tetapi memang sekaligus ini adalah suatu peluang untuk mengundang investasi jenis lain yang pertimbangannya bukan tahun depan, tapi 10 tahun lagi. Investasi yang hasilnya bukan tahun depan, 6-7 tahun lagi.

Itu risikonya dalam hitung-hitungan mereka yang suka menghitung risiko, itu lebih kecil. Dan, investor harus (menunggu) 5-7 tahun baru menghasilkan. Walaupun infrastruktur itu nontradable, bukan produknya dijual di pasar, tapi diundang orang datang untuk memakai produknya. Itu suatu keuntungan, karena tidak perlu mencari pasar ekspor.

Kemudian, karena hasilnya memang tidak 1-2 tahun keluar, nanti baru keluar, maka dampaknya terhadap pertumbuhan belum bisa besar secara langsung.

Kalau nanti ditanyakan ke ekonom yang sekolahan, itu dia akan menghitung tingkat ICOR Indonesia (Incremental Capital-Output Ratio, atau rasio modal terhadap hasil investasi) semakin tinggi. Ya iya, tetapi jangan takut. Dan kemudian secara makro ini akan dibaca inefisiensi. Tapi ini bukan inefisiensi seperti biaya produksi menghasilkan martabak naik. Bukan begitu.

Nanti begitu digabungkan dengan investasi lainnya yang jangka pendek, dia akan turun lagi ICOR-nya.

Sambungannya ini adalah, membuka peluang dan merangsang supaya investor tertarik datang. Dan investor mau investasi. Selain dia kemudian menciptakan kebutuhan menyerap tenaga kerja, untuk produk-produk dari masyarakat, mungkin tidak banyak, tapi karena investasinya besar-besar, dampaknya juga lumayan.

Contohnya, kita belum mulai membangun pembangkit listrik, tapi kontrak sudah ditandatangani sampai 60% dari 35.000 MW. Tapi kan masih perlu financial closing, (mungkin selesai) dalam waktu 6 bulan, supaya mulai. Tetapi kita dari awal kan sudah menghitung, eh ini perlu transmisi lho. Kita hitung lagi, butuh transmisi 43.000 km.

Apa artinya? Kalau (bisnis transmisi) ini bisa dilakukan oleh investor dalam negeri, akan menciptakan peluang besar. Ini yang saya maksud tadi. Investasi ini bisa menarik barang dan hal-hal yang bisa kita bikin. Bikin Besi yang disambung-sambung itu apa sih susahnya? Kita bisa membuat dan memasang. Kan enak. Itulah sambungan dari investasi infrastruktur.

Kedua, kita kemudian melakukan paket deregulasi, yang intinya adalah mengakumulasikan daya tarik itu semakin banyak. Ada yang bilang, kok belum keluar hasilnya? Ya iyalah. Itu pun dalam situasi normal it takes time. Yang sedang kita hadapi sekarang tidak normal. Jadi, waktunya yang dibutuhkan semakin panjang.

Apakah dengan perekonomian yang tidak normal saat ini,  pendekatan yang dilakukan juga menjadi tidak lazim?

Sebetulnya tidak terlalu lazim. Tapi tidak separah tidak lazimnya Amerika Serikat, Eropa, Jepang dengan tingkat bunga negatif-nya mereka itu.

Bagaimana caranya memformulasikan kebijakan yang tidak lazim ini? Apakah mesti keluar dari pandangan ekonom sekolahan?

Itu sebenarnya, mencoba mencari apa sih yang bisa dilakukan. Cari, cari, cari. Gali, gali, gali. Sekarang pun kita menemukan lagi tambahan, dengan berupaya mendorong suku bunga kredit. Ini kan menambah yang tadi. Jadi ada tiga (variabel kebijakan).

Sebenarnya ada satu lagi, cuma agak panjang waktunya untuk menyiapkan. Sumber daya manusia (SDM).

SDM ini bukan hanya menghasilkan anak SMA, D1, dan S1. Tapi yang belum ditangani selama ini secara sistematik, adalah melahirkan SDM melalui training-training yang sifatnya, dalam konsep yang lebih maju, pengembangan SDM dengan menciptakan standar kompetensi. Standar kompetensi ini misalnya, Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyadari bahwa untuk mengatasi hambatan sertifikasi  (tanah) rakyat di desa-desa itu yang masih rendah. Karena selama ini, juru ukurnya pegawai BPN, ya tidak bisa ditambah juru ukur terlalu banyak. Ini bottleneck-nya.

Jadi harus outsourcing?

Seharusnya, konsepnya adalah outsourcing. Itu yang sedang dibikin. Kita membuat standar kompetensi juru ukur. Setelah kita lihat, untuk juru ukur itu perlu pendidikan setara D1, pendidikannya 9 bulan. Ada lagi yang membantu juru ukur, itu asisten juru ukur, ini dua bulan saja cukup kursusnya. Tapi kan ini bagus.

Kita sudah bicarakan dengan beberapa perguruan tinggi. Cuma pada saat mau jalan, kita cek ke Kementerian Tenaga kerja, mereka punya standar kompetensi juru ukur. Kita mau cek dulu. Tapi ditambah satu lagi, asisten juru ukur. Kita sudah bicara dengan sejumlah perguruan tinggi negeri, nah ITB, karena dia punya dengan diogesi, jadi tertarik betul dengan ini.

Sehingga kita yang memang perlu banyak akan menghasilkan juru ukur dan asisten juru ukur. Kemudian kita bikin aturannya tidak perlu Undang-Undang, karena dulu akuntan publik juga lama hanya Perpres, tidak punya UU, jadi sekarang mungkin semacam Perpres partnership bukan PT. Kalau PT nanti dirutnya yang menentukan. Ini partnership, kemudian kita lelang kecamatan per kecamatan.

Ini bukan sekadar mendorong Balai Latihan Kerja Kemenaker, kita akan dorong, tapi swasta.  Swasta yang kita incar, itu sebabnya ada mekanisme akreditasi. Ini sudah punya pelatihan, instruktur dan kurikulumnya. Sehingga dia accredited untuk memberikan pelatihan dengan standar kompetensi ini. Jadi bukan cuma universitas yang bisa menghasilkan juru ukur, tapi swasta juga bisa. 

Kembali ke soal kebijakan...

Saya singgung dulu soal tingkat bunga. Ini kan urusannya di BI. Tapi kita kemudian menata juga beberapa hal, termasuk meminta Menteri Keuangan supaya mengatur agar deposito Kemenkeu dan BUMN jangan minta bunga yang tinggi-tinggi. Yang benar saja, mentang-mentang pegang duit puluhan triliun.

Mengapa baru terpikirkan sekarang strategi menekan suku bunga ini?

Hehehe, pada waktu kepepet, pikiran jalan keluar itu datang. Nah, tugas kita sebenarnya, yaitu menahan, mengendalikan inflasi harus rendah. Kalau inflasi 5%, maka bunga deposito di atas 5%, itu akan mempengaruhi cost of fund. Tapi kalau 4%, dia dekat-dekat, sedikit lebih tinggi dari 4%. Artinya, cost of fund turun. Kalau cost of fund turun, kemudian inflasi rendah, maka Bank sentral punya ruang menurunkan BI rate. Apa pasti begitu? Apa akan diturunkan? Tergantung lagi persoalannya.

Bagaimana situasi capital flow dan tekanan terhadap kurs. Kalau tidak ada tekanan flow keluar dan tekanan kurs, apalagi kalau ada flow masuk, lebih bagus lagi. Bank sentral pasti akan turunkan BI Rate. Semua ini dikombinasikan. Semestinya memberikan kemudahan, kemurahan dan kecepatan untuk orang melakukan investasi.

Ada yang bilang ini trial and error?

Kalau ada yang bilang, apakah ini trial and error? Tidak. Kalau di textbook dicari, ya begini solusinya. Tapi tidak pernah dikatakan seperti ini urut-urutannya.

Sebagai menko dan mantan gubernur bank sentral, bagaimana Bapak melihat kontribusi Bank Indonesia menghadapi situasi yang tidak normal ini? Sejauh mana relevansi independensi BI?

Hehe, Anda ini seperti menembak memakai meriam. Ini beda urusannya.  Sudahlah. Itu pertanyaannya tidak relevan betul. Karena apa? Kita duduk sama-sama bisa kok dalam situasi ini. Coba tanya. Kita bikin rakor, selain Menteri BUMN, Menkeu, Gubernur BI, Ketua DK OJK. kita duduk dan bicara. Nah, bahwa kadang-kadang ada yang merah kupingnya, atau apa, itu normal saja. Jangan dianggap serius lah.

Artinya, koordinasinya jalan. Kita komunikasi, kita ngomong. Artinya kita bisa bilang, kayaknya Anda perlu begini deh, dia tidak langsung bilang, eh lu jangan intervensi ya. Tidak begitu. Karena ini memang niatnya bukan intervensi, ini koordinasi, ini konsultasi.

Koordinasi dan konsultasi kan tetap perlu ada leader, siapa yang menjadi leadernya?

Jadi tidak penting siapa, intinya kita bisa koordinasi. Tentang saya yang pernah diundang Rapat Dewan Gubernur, sebetulnya dulu juga ada pertemuan itu, tapi lebih tidak membahas persoalan suku bunga ini. Kebetulan situasi tidak ringan. Kita lebih intens membicarakan perekonomian.

Dalam RDG Menko Perekonomian diundang? Selalu? Lalu apakah pandangan Bapak didengarkan?

Saya pernah diundang juga, tapi ya tidak selalu. Tidak penting lah didengar atau tidak, yang penting kita itu menyampaikan seperti ini pandangan kita.

Tapi apakah Bapak merasa upaya bersama antara kebijakan fiskal, moneter dan sektor riil sudah berjalan baik?

Iya, sekarang makin kuat. Tapi memang itu juga mungkin bukan berarti sangat bagus, tapi bisa dikatakan, karena (semua pembuat kebijakan) sama-sama khawatir dengan situasi ini. Itu kemudian yang membuat kita lebih bisa berkoordinasi.

Soal revisi APBN? Bagaimana arah kebijakannya?

Kita tahu bahwa target penerimaan tetap masih terlalu tinggi, padahal pengeluarannya sudah di-set-up di situ. Pemerintah tidak ingin APBN itu jadi faktor yang dianggap risiko buat Indonesia. Karena kalau dia dianggap risiko itu malah menambah persoalan lagi untuk turun ke bawah. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan hal-hal supaya kredibilitas APBN naik. Memang mau tidak mau akhirnya, penerimaan terlalu, pengeluaran bisa tidak bisa dibiayai seluruhnya. Perlu ada efisiensi di pengeluaran.

Efisiensi seperti apa? Ya memang akan ada yang dikurangi, tapi diusahakan agar pengurangan itu terhadap yang tidak urgen.

Angkanya disebutkan ada efisiensi Rp50 triliun dan defisit 2,5%. Nah apa yang jadi dasar rancangan itu, karena sebelunya disebutkan efisiensi Rp200 triliun?

Bukan hanya saya, Menteri Keuangan juga bilang begitu. Bisa-bisa Rp200 triliun ini. Kok cuma Rp50 triliun, berarti ada sumber lain. Apalagi defisitnya kalau naik sebetulnya berarti ada upaya menambah penerimaan, dari misalnya harus menerbitkan obligasi.

Ini karena ada sumber penerimaan lain atau demi menjaga pertumbuhan ekonomi?

Sebetulnya (pemerintah) mencari cara efisiensi tanpa menurunkan volume yang dihasilkan APBN. Tapi kelihatannya tidak mudah nih. Mencari uangnya kurang, volume tetap. Ya udah yang paling masuk akal jangan banyak-banyak turunnya. Tapi turunnya itu pun tidak mengganggu volume (sebagai sumber pertumbuhan ekonomi). Kecuali volume dari ya, apalah perjalanan dinas,  seperti rapat-rapat kurang. Yang di hotel-hotel, tidak apa-apalah dikurangi. Tidak akan turun dampaknya ke perekonomian.

Lalu arah kebijakan pajak mau seperti apa? Misalnya, soal rencana penurunan tarif PPh  Badan?

Soal ada isu atau pemikiran boleh saja dibilang (akan menurunkan tarif) PPh badan, tapi itu bukan isu jangka pendek. Itu persoalan jangka panjang ke depan. Itu ke pertanyaan; bagaimana membuat WP lebih comply baik WP perseorangan atau perusahaan.

Selalu ada perbedaan pendapat. Ya IT-nya harus begini, enforce-nya begini. Itu iya. Tetapi kalau rate diturunkan kayaknya lebih cepat comply. Jadi itu bukan persoalan untuk tahun ini.

Apakah rencana tax amnesty masih on the pipeline atau sudah berbeda?

Masih on the pipeline. Dan memang diharapkan bisa menghasilkan penerimaan cukup besar. Seberapa besar? Ya memang kalau  di antara perorangan pemerintahan berbeda satu sama lain.

Spiritnya bagaimana setelah keluarnya Panama Paper?

Sebenarnya Pemerintah itu terutama Kemenkeu punya dokumen yang lebih lengkap dari Panama Papers. Artinya begitu dilihat dapat resmi dari negara lain. Itu malah jauh sangat, jauh lebih lengkap, lebih dahsyat.

Lebih dahsyat dari Panama Paper?

Itu sangat dahsyat. Makanya itu di pemerintahan ada [pihak] yang begitu yakin 'banyak nih'. Tapi kan bagaimana persisnya nanti kita lihat. Tapi intinya, datanya ada.

Bagaimana cara Bapak menggenjot tax ratio seperti negara tetangga?

Yang saya singgung tadi soal IT. Kalau Anda ingat-ingat waktu saya Dirjen Pajak, sebetulnya kita merancang membangun IT yang komprehensif. Kita bahkan sudah tanda tangan dengan World Bank, berapa pinjaman sudah kita rancang, berapa dari APBN untuk bangun IT yang kelas internasional di perpajakan.

Tapi kemudian tidak tahulah. Kemudian, pas mau dilaksanakan kemudian saya pindah. Kemudian yang terjadi setiap kali lelang untuk pengadaan apakah konsultan, hardware, gagal. Selalu gagal. bertahun-tahun.

Itu yang terjadi, sehingga gagal total akhirnya di-drop. Sekarang kita duduk bersama-sama dan bilang tidak ada pilihan lain; kita harus bangun IT yang bagus. Sebenarnya ini penting bagi tax amnesty, you perlu data yang bagus dulu. Tidak cukup hanya itu. Ada si A duitnya segini di mana ada. Tapi itupun tidak cukup sebenarnya. Track record dia itu seperti apa selama ini, kemudian di mana sih kira-kira dia tidak melaporkannya itu. Itu mestinya harus ada, kalau IT-nya bagus.

Sebenarnya, banyak pengusaha kita yang sudah bawa uangnya juga ke sini yang tadinya di luar dengan pelan-pelan, masuk kemudian masuk di dalam portofolio dia. Ada yang dilaporkan dan ada yang tidak. Tadi maksud saya adalah; IT itu tetap harus dikembangkan, supaya tax ratio naik.

Tax ratio kita rendah. Memang, waktu dulu itu sebenarnya karena IT belum canggih benar, maka metodenya sederhana saja; benchmarking. Waktu itu kita hanya mengerjakan dua tiga sektor; kelapa sawit, batu bara, konstruksi. Dan itu kita bisa kerjakan supaya dia bayar. You kurang bayar, ini buktinya. You boleh bantah, ayo kita adu.

Adakah roadmap berapa lama kenaikan tax ratio untuk dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara?

Supaya ngejar ke sana? Lama juga. Record kita waktu saya Dirjen Pajak itu bisa naikkan tax ratio 0,8%. Belum tentu kita bisa konstan segitu. Kalau pun segitu mungkin diperlukan waktu 7-8 tahun untuk mengejar tetangga sekitar kita.

Jadi tax reform mau tidak mau harus dikebut?

Memang.

Salah satu faktor target pajak tidak tercapai sejak 2008, itu karena UU KUP yang bikin orang diberi ruang untuk melakukan keberatan pajak tanpa bayar, akhirnya kasus banding pajak berlipat-lipat dan 70% pemerintah kalah. Setelah itu target tidak pernah tercapai?

Tidak juga. Itu mereka tidak teruskan memakai metode yang ampuh, ya benchmarking itu. Kedua, IT-nya juga (belum diperbaiki).

Pengelolaan pangan dan energi jadi titik krusial dengan peningkatan jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Bagaimana dengan dua isu penting ini?

Sumber inflasi kita sebenarnya itu adalah sisi suplai yang pada dasarnya bersumber dari pangan atau administered prices. Pangan pertumbuhannya mungkin tidak terlalu tinggi sekali tapi terus menerus dan kelihatannya produksinya enggak mampu mengimbanginya, kecuali ada satu atau dua.

Pangan adalah harus diakui perubahan cuaca rada-rada naik belakangan ini. Itu mempengaruhi kemampuan kita dan kita sepertinya enggak siap, belum menyiapkan diri dengan baik dalam area ini.

Kita bisa tidak merancang panen penanaman apakah bawang, padi, panennya, kapan mulai ditanam supaya dia keluar hasilnya bulan apa. Ini kemudian dikombinasikan data BMKG sehingga dia tidak meleset waktu. Karena di masyarakat apalagi di masyarakat, itu kapan mulai nanam itu misal pekan depan, kenapa? Karena tetangga saya juga gitu. Mereka mulai nanam itu dipengaruhi oleh orang ramai-ramai nanam. Padahal belum tentu benar. Apalagi irigasi enggak ada.

Lebih complicated sedikit di beras atau padi, sehingga perlu reform dalam metode ini. Kalau ada musim ekstrim seperti tahun lalu, berapa bulan sih bergeser musim tanam di Oktober dan berapa banyak dampaknya kepada produksi. Kita sedang mengikutinya sekarang. Tapi yang jelas, panen yang mulai Maret itu sedikit sekali. April dia. Paling sedikit sebulan atau satu setengah panen sudah mula.

Kenapa? Karena Oktober hujan di masa normal, orang mulai menanam paling lambat November. Maret mulai panen puncak. Tapi tahun lalu November hujan belum turun, coba lihat BMKG, itu masih cokelat, kalau hijau gambarnya kalau sudah mulai hujan. Dia baru hujan betul di Desember walaupun belum puncaknya, orang baru mulai nanam, April baru panen, puncaknya di Mei.

Nah apakah ini benar puncak dan cukup untuk konsumsi beberapa bulan ke depan, itu masih harus kita cek di lapangan. Kalau tidak cukup tinggi karena musim ekstrim, kita berkewajiban pada panen Oktober harus agak tinggi. Ini area yang sebenarnya menarik, tapi intinya adalah di dalam pangan harus ada perubahan besar. Kita arahnya ingin perubahan walaupun awalnya kita mulai dari tebu karena dia lebih mudah dikendalikan dan bawang.

Kita ingin supaya sistem jauh lebih mudah dikendalikan, setiap petani ada kartu dan ada nomor identitas. Apakah dia dapat kredit berapa, itu harus bisa dimasukkan di kartu itu. Dan mestinya harus kita kaji lagi kasih kredit di padi atau tebu jangan dikasih sekaligus semua, dia belikan motor nanti. Kredit di petani padi saja, enggak usah besar banget soalnya dia bisa dapat Rp15 juta-Rp18 juta.

Sebenarnya prinsip dasar di kebijakan pangan ini apakah fokus ke stabilitas harga saja?

Pada waktu mendorong supaya stabilitas harga terjadi jangan terjadi turunnya harga ada di petani. Kan bisa memulai ke depan, porsi dari margin perdagangan ditekan.

Kita menugaskan BUMN, misalnya cabai dan bawang itu PT Bhanda Ghara Reksa (Persero), Bulog untuk jagung dan padi. Mereka diminta berfungsi membeli pada waktu panen, kemudian mencari jalan untuk memproses kalau terjadi surplus. Sehingga kita harus coba hitung bawang cost-nya berapa di petani. BUMN akan punya gudang. Kemudian menyambung dengan aplikasi (apps) seperti Lima Kiloan.

Bukankah teknologi aplikasi itu justru berdampak pemusatan modal?

Pertama, teknologi aplikasi itu tidak bisa ditahan. Kedua, kita menggunakan itu di pemerintahan dan BUMN. Kemudian UKM yang jaringan kecil-kecil yang  secara jumlah akan turun, tapi tidak akan besar jumlahnya. Kecuali perusahaan besar mengendalikan pakai aplikasi, itu dampaknya pasti besar. Kita berusaha untuk membuat tidak terpusat benar, mereka bisa berkomunikasi dengan baik pakai aplikasi dan lebih lancar meng-call kalau ada yang perlu dibutuhkan.

Dengan kondisi yang berkembang belakangan ini, apakah target pertumbuhan ekonomi di 2019 yang ditetapkan 7% masih realistis tidak dengan situasi sekarang?

Memang kalau ekonomi dunia makin lambat ceritanya lain, kalau tidak buruk masih cukup relevan. Kita masih berjuang 5,3%-5,4%. Masih ada 2-3 tahun. Memang harus berjuang keras, kalau agak biasa-biasa saja tidak mudah mencapai itu. Tapi bukan sesuatu yang betul-betul di luar jangkauan, kecuali ekonomi merosot. Ini bisa keluar solusi ekstrim karena semua negara sudah bingung.

Tampaknya  Bapak melihat semua situasi ini seperti melihat dengan helicopter view?

Saya memang dulu sekolah lama di UI (Universitas Indonesia), lama di pemerintahan, saya selalu melihatnya begitu. Artinya ekonomi dunia itu semua negara maju utangnya di atas 100% dari GDP. Pasti ada yang salah, mereka masalahnya sekarang setelah kesulitan tinggi dicoba ada G20, ternyata enggak mempan.

Artinya apa, sebenarnya ada reformasi struktural yang diperlukan di hampir semua negara. Tapi kebanyakan enggak mau terlalu repot kalau ngurusin (reformasi struktural) itu. Banyak tantangan dan sebagainya. Tapi bagi kita kelihatannya pilihannya menempuh reformasi struktural. Di G20 juga begitu kesimpulannya.

Jadi pemerintah ini tetap berkomitmen untuk melanjutkan reformasi struktural?

Pemerintah saat ini berkomitmen untuk melakukan itu.

 

PEWAWANCARA: Arys Aditya, Veronika Yasinta, Fauzul Muna, HeryTrianto, Arif Budisusilo

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : News Editor
Sumber : Bisnis Indonesia (11/4/2016)
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper