Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

EVALUASI JKN : BPJS Kesehatan Defisit Rp18 Triliun

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan defisit sebesar Rp18 triliun dalam kurun 2014-2016.
Ketua kongres InaHEA ke-3 Laksono Trisnantoro (paling kanan) dan Ketua InaHEA Hasbullah Thabrani (kedua dari kanan) memberi keterangan soal JKN di Yogyakarta, Kamis (28/7/2016)./Bisnis.com-Nancy
Ketua kongres InaHEA ke-3 Laksono Trisnantoro (paling kanan) dan Ketua InaHEA Hasbullah Thabrani (kedua dari kanan) memberi keterangan soal JKN di Yogyakarta, Kamis (28/7/2016)./Bisnis.com-Nancy

Bisnis.com, YOGYAKARTA – Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan defisit sebesar Rp18 triliun dalam kurun 2014-2016.

Defisit itu mengemuka dalam Kogres Perkumpulan Pakar Ekonomi Kesehatan Indonesia (InaHEA) ke-3 di Yogyakarta, hari pertama, yang berlangsung Kamis (28/72016) hingga Sabtu (30/7/2016).

Kongres tahun ini bertema “The Economics of Preventive Healh Program, Tobacco and Health Equity Under JKN Policy”.

Ketua InaHEA Profesor Hasbullah Thabrany menuturkan, kesinambungan dana menjadi masalah. Pasalnya, sejak program ini mulai diselenggarakan pada tahun 2014

hingga tahun ini, BPJS Kesehatan terus defisit. Misalnya, tahun 2016 defisit Rp7 triliun.

Dia memerkirakan defisit terus terjadi bila penetapan iuran oleh pemerintah tidak memadai. Dampaknya, pemerintah (Kemenkes) terpaksa menetapkan bayaran yang tidak memenuhi harga keekonomian untuk banyak layanan di rumah sakit swasta.

“Ini yang membuat persepsi buruk terhadap layanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), menimbulkan ketidakpuasan peserta, dan akan mengancam kepatuhan peserta membayar iuran,” ujar Hasbullah.

Dia menegaskan, persoalan yang saling berkaitan ini menjadi ancaman terbesar kesinambungan atau sustainabilitas JKN. Oleh karenanya, tambah Hasbullah, perlu digali sumber dana lain. Saat ini sumber dana yang paling layak dan siap tersedia adalah dari mobilisasi dana cukai rokok. Potensi dana cukai rokok untuk menutup kekurangan dana JKN bisa mencapai Rp70 triliun setahun.

Pada kesempatan yang sama Direktur Perencanaan Pengembangan dan Manajemen Risiko BPJS Kesehatan Mundiharno menjelaskan, bahwa defisit terjadi disebabkan oleh tiga hal. Pertama, besar iuran masih di bawah perhitungan aktuaris (under price). Saat ini besar iuran peserta penerima upah (PPU) kelas 1 Rp80.000/bulan, kelas 2 Rp53.000/bulan, kelas 3 Rp25.500/bulan.

Padahal, kata Mundiharno, berdasarkan perhitungan semestinya iuran untuk kelas 2 Rp61.000/bulan, kelas 3 sebesar Rp36.000/bulan. Tapi, besaran iuran itu tidak mendapat persetujuan dari DPR.

Kedua, banyak peserta dari kelompok PPU berusia tua dan sakit-sakitan. Akibatnya, kejadian sakit pada peserta tinggi. Terlebih, banyak dana yang dihabiskan untuk penyakit katastropik seperti kanker, gagal ginjal, penyakit jantung. Pengobatan berbagai penyakit itu memerlukan dana yang besar.

Ketiga, kolektabilitas iuran di kelompok PPU masih rendah.

Mundiharno menambahkan, meski BPJS Kesehatan terus defisit, BPJS Kesehatan tak akan bangkrut, dan tak memengaruhi pembayaran klaim ke pemberi pelayanan kesehatan seperti klinik, rumah sakit.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Nancy Junita
Editor : Saeno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper