Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mengapa Bank Indonesia Melarang Virtual Currency? Ini Penjelasannya

Mengapa Bank Indonesia memperingatkan akan risiko virtual currency? Setidaknya ada empat karakteristik virtual currency yang dinilai sangat berisiko. Apa saja?
Ilustrasi Bitcoin diletakkan di atas lembaran uang dolar AS./REUTERS-Dado Ruvic
Ilustrasi Bitcoin diletakkan di atas lembaran uang dolar AS./REUTERS-Dado Ruvic

Bisnis.com, JAKARTA - Fenomena perdagangan mata uang virtual atau virtual currency belakangan ini semakin marak, terutama di kalangan generasi milenial.

Akan tetapi, sistem mata uang tanpa negara dan tanpa otoritas ini diidentifikasi memiliki berbagai kerentanan sehingga Bank Indonesia sebagai otoritas moneter di Tanah Air juga bakal melarang transaksi dan perdagangan mata uang virtual tersebut.

Untuk diketahui, virtual currency adalah uang digital yang diterbitkan oleh pihak selain otoritas moneter, yang diperoleh dengan cara pembelian, transfer pemberian (reward), atau mining berupa proses menghasilkan sejumlah virtual currency baru, melibatkan proses matematika yang rumit

Mengapa Bank Indonesia memperingatkan akan risiko virtual currency? Setidaknya ada empat karakteristik virtual currency yang dinilai sangat berisiko, yakni:

1. Virtual currency tanpa regulator sehingga tidak ada kepastian hukum dan kepastian keamanannya.

2. Transaksi dilakukan person to person tanpa lembaga perantara resmi sehingga tidak ada yang menangani keluhan yang muncul.

3. Identitas pengguna dapat disamarkan sehingga rawan digunakan untuk kegiatan ilegal.

4. Tidak terdapat entitas sentral sebagai penanggung jawab sehingga harga ditentukan oleh permintaan dan penawaran.

 

Dengan begitu, penggunaan virtual currency sangat berisiko antara lain karena:

1. Nilai tukar sangat fluktuatif dan rentan terhadap risiko penggelembungan (bubble).

2. Potensi untuk digunakan dalam tindakan pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme.

3. Rentan terhadap serangan siber.

 

Dengan berbagai kerentanan tersebut, Bank Indonesia melarang semua pihak untuk mentransaksikan mata uang virtual sebagaimana diatur dalam UU No.7/2011 tentang Mata Uang.

Bank sentral juga mengatur langsung melalui Peraturan Bank Indonesia No.18/40/PBI/2016 tentang penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran dan PBI No.19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial. Semua peraturan tersebut dibuat untuk melindungi dan menjaga stabilitas keuangan dan sistem moneter dari kerentanan seperti dalam mata uang virtual.

Berbagai kerentanan tergambar dari gejolak mata uang virtual belakangan ini. Harga bitcoin meluncur ke bawah US$10.000 untuk pertama kalinya sejak November 2017, seiring dengan berlanjutnya aksi jual terhadap cryptocurrency (mata uang digital). Cryptocurrency terpopuler di dunia tersebut merosot ke US$9.199,59 pada Rabu pagi (17/1) waktu setempat, dengan penurunan hampir 19% dalam waktu 24 jam, menurut data CoinDesk.

Mengapa Bank Indonesia Melarang Virtual Currency? Ini Penjelasannya

CoinDesk diketahui melacak harga dari bursa pertukaran cryptocurrency Bitstamp, Coinbase, itBit, dan Bitfinex. Harga bitcoin kemudian dilaporkan mampu rebound ke US$10.123 pada 11.56 pagi ET (Rabu pukul 11.56 malam WIB).

Terakhir kali bitcoin menyentuh harga di bawah US$10.000 adalah pada 30 November. Aset digital ini kemudian melonjak ke rekor tertingginya yakni US$19.783,21 di CoinDesk pada Desember, namun sejak itu mengalami penurunan secara bertahap. Dengan harga saat ini, Bitcoin telah mengalami penurunan hampir 50% dari rekornya. Nilai pasarnya dilaporkan telah turun lebih dari US$30 miliar dalam 24 jam.

“Fokus [pasar cryptocurrency] telah beralih ke peraturan bersifat negatif dengan headline dari Korea Selatan, China, dan bahkan headline kecil dari Prancis dan Amerika Serikat,” terang Ari Paul, Chief Investment Officer di perusahaan investasi cryptocurrency BlockTower Capital, seperti dikutip dari CNBC, Kamis (18/1/2018).

Mengapa Bank Indonesia Melarang Virtual Currency? Ini Penjelasannya

“Berita-berita ini memiliki efek yang luar biasa karena cryptocurrency secara keseluruhan telah overbought dan sentimen mencapai level euforianya, sehingga menentukan tahap untuk koreksi tajam seperti yang kita lihat,” lanjutnya.

Sementara itu, ethereum dan ripple, dua aset digital terbesar posisi kedua dan ketiga setelah bitcoin, terus bergerak ke bawah. Menurut data CoinMarketCap, ethereum diperdagangkan 15% lebih rendah di kisaran US$885 per koin, sedangkan ripple turun hampir 14% menuju sekitar US$1,02.

Aksi jual memukul cryptocurrency sesaat setelah Menteri Keuangan Korea Selatan, Kim Dong-yeon, menyatakan negara tersebut masih mempertimbangkan penutupan bursa pertukaran cryptocurrency.

Berita tentang langkah Korea Selatan, salah satu pasar cryptocurrency terbesar di dunia, tersebut mulai menekan perdagangan mata uang digital pekan lalu serta mendorong harga bitcoin dan sejumlah aset digital papan atas lainnya turun tajam.

“Aksi yang kita lihat mungkin tampak dramatis namun sangat normal untuk pasar ini,” kata Mati Greenspan, senior market analyst di eToro. “Penurunan ini telah membawa kita kembali ke harga yang diperdagangkan sekitar sebulan yang lalu untuk sebagian besar koin.”

Greenspan mengatakan pada Selasa (16/1) investor Korea Selatan dan Jepang kerapkali membayar premi sebesar 20% atau lebih per koin. Namun pada hari Rabu (17/1), kondisi tersebut tampaknya menurun.

Pemerintah Korsel merencanakan peningkatan peraturan yang mencakup kemungkinan larangan atas aktivitas bursa pertukaran mata uang digital. Menteri Keuangan Kim Dong-yeon menyatakan penutupan bursa pertukaran cryptocurrency masih menjadi pilihan. Namun, ia menegaskan tindakan itu harus terlebih dahulu melalui diskusi yang serius di antara kementerian.

Adapun China, yang pertama kali mulai menargetkan industri tersebut tahun lalu, dikabarkan meningkatkan tekanannya terhadap perdagangan cryptocurrency, terutama platform online dan aplikasi mobile yang menawarkan layanan seperti bursa pertukaran.

Menurut sumber terkait, seperti dilansir Bloomberg, pemerintah China berencana untuk memblokir akses domestik ke platform-platform rumahan dan luar negeri yang memungkinkan perdagangan terpusat.

Pihak otoritas juga disebut akan menargetkan individual dan perusahaan yang menyediakan layanan pembuatan, settlement, dan kliring pasar untuk perdagangan terpusat. Meski demikian, transaksi peer-to-peer kecil tidak ditargetkan.

Pihak regulator di beberapa negara lain pun meningkatkan pengawasan terhadap cryptocurrency di tengah kekhawatiran atas spekulasi yang berlebihan, pencucian uang, dan penghindaran pajak.

Charles Hayter, chief executive CryptoCompare, mengatakan banyak yang memperkirakan pasar cryptocurrency akan menurun. “Pasar sangat terlalu panas dan secara signifikan tergelincir dari trennya. Sebagian besar investor telah memperkirakan koreksi dan pembalikan ini,” ujar Hayter.

Mengapa Bank Indonesia Melarang Virtual Currency? Ini Penjelasannya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Fajar Sidik
Editor : Fajar Sidik
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper