Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

PENGHITUNGAN PERDARAN BRUTO: Ini Alasan Ditjen Pajak

Bisnis.com, JAKARTA -- Pemerintah mengkaim tujuan penerbitan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2018 tentang Cara Lain untuk Menghitung Peredaran Bruto adalah untuk menghindari sengketa pajak.
Direktur Jendral Pajak Robert Pakpahan menyampaikan materi saat acara Bahana Forum di Jakarta, Senin (12/2/2018)./JIBI-Abdullah Azzam
Direktur Jendral Pajak Robert Pakpahan menyampaikan materi saat acara Bahana Forum di Jakarta, Senin (12/2/2018)./JIBI-Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA -- Pemerintah mengkaim tujuan penerbitan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2018 tentang Cara Lain untuk Menghitung Peredaran Bruto adalah untuk menghindari sengketa pajak.

Direktur Jenderal Pajak (DJP) Robert Pakpahan mengatakan, selama ini ketika DJP melakukan perhitungannya sendiri sering menimbulkan sengketa.

"[Tujuan dari PMK No.15 adalah] untuk mengurangi sengketa, inilah, apabila terjadi sesuatu yang tidak biasa maka ini dilakukan solusinya," katanya dalam Media Briefing DJP, di Jakarta, Senin (5/3/2018).

Sebenarnya, kata Robert, bukti pembukuan merupakan sesuatu yang lumrah dalam melakukan kegiatan usaha. "Itu [bukti pembukuan] sudah asas dalam berusaha," katanya.

Oleh karena itu, WP tidak seharusnya resah dalam memberikan bukti pembukuan usahanya.

Lagi pula, katanya, jika WP tidak memberikan bukti pembukuan kepada fiskus pajak, metode perhitungan yang diterapkan bisa membuat WP merasa keberatan.

Adapun, motode alternatif yang diterapkan ketika WP tidak memberikan/meminjamkan bukti pembukuannya adalah pengitungan transaksi tunai dan non-tunai, sumber dan penggunaan dana, satuan atau volume, penghitungan biaya hidup, pertambaan kekayaan bersih, hasil perhitungan SPT tahun sebelumnya, proyeksi nilai ekonomi, dan penghitungan rasio.

Sebelumnya, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15/PMK.03/2018 tentang Cara Lain Menghitung Peredaran Bruto. Ketentuan itu memberikan alternatif bagi fiskus untuk menetapkan jumlah pajak bagi wajib pajak yang tak kooperatif.

Dalam ketentuan itu, wajib pajak tak kooperatif adalah WP yang tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan kewajiban pencatatan atau pembukuan sehingga mengakibatkan peredaran bruto yang sebenarnya tak diketahui.

Oleh karena itu, dengan implementasi beleid baru tersebut, penghitungan peredaran bruto yang dilakukan fiskus tak melulu dihitung berdasarkan omzet, tetapi fiskus juga bisa menghitungnya berdasarkan delapan cara alternatif seperti yang tampak dalam pasal 2 beleid yang diundangkan pada tanggal 13 Februari 2018.

8 ALTERNATIF PENGHITUNGAN

Adapun jika diperinci, kedelapan alternatif itu berisi penjelasan mengenai metode lain bagi fiskus untuk menghitung peredaran bruto WP. Metode yang pertama adalah penghitungan peredaran bruto menggunakan metode transaksi tunai dan nontunai. Penghitungan dilakukan berdasarkan data atau informasi mengenai penerimaan tunai dan penerimaan nontunai dalam suatu tahun pajak.

Kedua, penghitungan peredaran bruto menggunakan metode sumber dan penggunaan dana. Rujukannya adalah data dan informasi mengenai sumber dana dan penggunaan dana dalam suatu tahun pajak.

Ketiga, penghitungan peredaran bruto menggunakan metode satuan dan volume. Acuannya adalah data dan atau informasi mengenai jumlah satuan atau volume usaha yang dihasilkan wajib pajak dalam suatu tahun pajak.

Keempat, penghitungan peredaran bruto menggunakan metode penghitungan biaya hidup. Penghitungan dilakukan berdasarkan data atau informasi mengenai biaya hidup wajib pajak beserta tanggungannya termasuk pengeluaran yang digunakan untuk menambah kekayaan dalam suatu tahun pajak.

Kelima, penghitungan peredaran bruto menggunakan metode pertambahan kekayaan bersih. Pemeriksa dapat menggunakan data atau informasi mengenai kekayaan bersih pada awal dan akhir tahun dalam suatu tahun pajak sebagai basis penghitungan peredaran bruto.

Keenam, penghitungan peredaran bruto menggunakan metode berdasarkan SPT atau hasil pemeriksaan tahun pajak sebelumnya. Sesuai dengan jenis metodenya, dasar penghitungan peredaran brutonya adalah SPT atau hasil pemeriksaan tahun pajak sebelumnya.

Ketujuh, penghitungan peredaran bruto menggunakan metode proyeksi nilai ekonomi. Untuk menggunakan metode ini, pemeriksa harus memproyeksikan nilai ekonomi dari suatu kegiatan usaha pada saat tertentu pada suatu tahun pajak.

Kedelapan, penghitungan peredaran bruto menggunakan metode penghitungan rasio. Untuk cara ini, penghitungannya mengacu pada persentase atau rasio pembanding

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : M. Richard
Editor : Achmad Aris

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper