Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Respons Moody's Dinilai Berlebihan

Komentar Moody's terkait rencana pemerintah menahan harga BBM dinilai sebagai respons yang berlebihan.
Warga melakukan isi ulang pulsa listrik di salah satu perumahan, Jakarta, Rabu (6/1/2016)./ Antara-M Agung Rajasa
Warga melakukan isi ulang pulsa listrik di salah satu perumahan, Jakarta, Rabu (6/1/2016)./ Antara-M Agung Rajasa

Bisnis.com, JAKARTA -- Komentar Moody's terkait rencana pemerintah menahan harga BBM dinilai sebagai respons yang berlebihan.

Ekonom PT Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih mengatakan langkah pemerintah menaikkan subsidi untuk menahan harga BBM jenis solar dan premium hingga tahun depan sudah tepat.

"Saya melihat usaha pemerintah ini untuk menahan daya beli supaya tidak turun dan menjaga stabilitas. Moody's bisa saja bilang seperti itu, tapi kalau ini justru menimbulkan ketidakstabilan jelang tahun politik, bagaimana? Lebih baik kita stabil, daripada urusin Moody's," tegasnya, Rabu (7/3/2018).

Jika pemerintah memaksakan menaikkan harga bahan bakar saat ini, bukan hanya daya beli yang kembali tertekan tapi target pertumbuhan ekonomi juga tidak akan tercapai. Padahal, Lana memandang momentum pertumbuhan yang bagus harus diperoleh pada dua kuartal pertama tahun ini.

"Jika PDB kuartal I/2018 tidak sampai 5,2% akan susah ke depannya," ungkapnya.

Alhasil, pertumbuhan tahunan Indonesia berpotensi stagnan di kisaran 5-5,1%. Dengan angka tersebut, peringkat utang Indonesia dari lembaga rating lain justru akan terancam.

Seperti diketahui, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengumumkan tidak akan menaikkan tarif listrik serta harga BBM untuk solar dan premium hingga 2019. Langkah ini dilakukan untuk menjaga daya beli masyarakat.

Lembaga rating Moody's menilai keputusan itu akan memberikan sinyal buruk bagi reformasi energi dan mampu mencederai rating kredit pemerintah. Anushka Shah, Sovereign Analyst Moody’s di Singapura, mengungkapkan keputusan tersebut akan memperlihatkan kemunduran reformasi yang telah dijalankan selama ini dan memberikan tantangan bagi kekuatan institusional.

"Sementara keputusan pemerintah terhadap harga diesel tidak akan memberikan efek langsung terhadap posisi fiskal, penetapan harga bahan bakar tersebut dapat mempengaruhi neraca keuangan," paparnya, seperti dikutip Bloomberg, hari ini.

Jika risiko terjadi terhadap stabilitas makroekonomi, Shah menuturkan Moody's akan melihatnya sebagai kredit negatif.

Saat ini, peringkat kredit Indonesia berada pada outlook yang positif pada peringkat Baa3. Dia menilai penundaan kenaikan harga BBM memang membantu bank sentral dalam stabilisasi nilai tukar karena inflasi dari administered prices, alias harga yang diatur pemerintah, dapat ditekan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Hadijah Alaydrus
Editor : Annisa Margrit
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper