Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Arif Budisusilo

Direktur Pemberitaan Bisnis Indonesia

Bergabung dengan redaksi Bisnis Indonesia pada 1996. Menulis isu ekonomi makro dan entrepreneurship. Belakangan memberi perhatian pada perkembangan media dan ekonomi digital. Twitter @absusilo

Lihat artikel saya lainnya

Ngobrol Ekonomi: Ini Millennials' Game, Bung!

Ini era di mana banyak hal ditentukan oleh keputusan generasi millennials, yang sesuai konsensus kini berusia antara 20 tahunan hingga 35 tahunan. Ini eranya millennials game.

Dua hari lalu, Rabu (21/3), dalam penjurian Indonesia Employ Engagement Index, saya bertanya ihwal engagement pekerja dari kalangan millennials kepada HR Director atau Manajer dari semua perusahaan yang diundang sebagai peserta award.

Ajang ini adalah penghargaan untuk mengetahui seberapa baik employ engagement di satu perusahaan, yang digelar oleh BlessingWhite, sebuah firma konsultan sumberdaya manusia di Jakarta, bekerjasama dengan PPM Manajemen dan Bisnis Indonesia.

Atas pertanyaan itu, rata-rata mereka menjawab dengan sudut pandang yang sama: mengelola karyawan millennials sekarang ini jauh lebih menantang.

Tantangan yang utama adalah soal perubahan behavior atau perilaku mereka, serta kebutuhan untuk terlibat yang lebih besar. Instrumen yang digunakan kini kebanyakan adalah peranti digital dan sosial media.

Kebutuhan untuk ekspresi individual juga dibuka secara lebih luas, dan lingkungan bekerja juga dikembangkan sedemikian rupa untuk mempersepsikan lingkungan kerja yang lebih kreatif serta merit system, penghargaan kerja berdasarkan prestasi, yang fair dan profesional. Selain itu, gaji lebih besar atau lebih kompetitif adalah satu hal, tapi keleluasaan berekspresi dan gaul di dalam organisasi, adalah hal yang lain lagi.

Itulah salah satu upaya meng-engage alias mengikat secara emosional dan menantang kreativitas dan inovasi mereka, kaum millennials. Jangan sampai pula muncul kata-kata yang selama ini kerap menjadi jargon populer di kalangan praktisi HR, yang disebut PGPS alias “Pintar Goblok Penghasilan Sama”. Pasti, karyawan yang pintar, kreatif dan inovatif akan kabur.

Apakah strategi engagement itu berdampak bagi kinerja perusahaan? Umumnya mereka menjawab ada. Setidaknya, retensi lebih tinggi dan turn-over lebih rendah. Dampaknya, perusahaan bisa lebih berhemat dalam biaya rekrutmen dan pengembangan kapasitas sumber daya manusia.

Sekadar contoh, di satu bank BUMN biaya rekrutmen per kepala mencapai Rp50 juta dan pendidikan karyawan 2 tahun pertama untuk dapat bekerja lebih efektif sesuai tujuan perusahaan, setidaknya mencapai Rp600 juta.

Kalau diilustrasikan sebuah perusahaan selevel bank itu memiliki rekor turn over 2% dengan karyawan 5000 orang, artinya tiap tahun kehilangan 100 orang. Dengan kata lain, untuk menggantikannya memerlukan dana ekstra sekurangnya Rp60 miliar hingga siap menjadi karyawan yang efektif.

Angkanya akan bertambah besar apabila rasio turn over lebih tinggi, apalagi sampai kisaran di atas 5%. Ini menambah komplikasi dalam pengelolaan SDM selain kehilangan waktu, dan produktivitas.

Belum lagi apabila proses suksesi ke jenjang lebih tinggi juga mengalami kegagalan dan harus merekrut kandidat dari luar untuk level manajemen. Maka yang terjadi, perusahaan harus membayar lebih premium, dan berpotensi menimbulkan kekecewaan atau dissatisfaction bagi talenta yang bertumbuh dari bawah. Lagi-lagi, akan berpotensi menyakiti kelompok millennials yang memasang ekspektasi karir lebih baik di dalam perusahaan.

Artinya, apabila Anda salah treatment terhadap generasi millennials ini, bisa dihitung sendiri biaya ekstra yang harus dikeluarkan manakala makin sering berganti dan rekrut karyawan atau terjadi turn over yang tinggi.

Ini tentu menuntut inovasi dalam manajemen sumberdaya manusia, yang menjadi tantangan tersendiri bagi para HR Manager. Di banyak perusahaan, Divisi SDM telah disulap tidak sekadar manajemen HR, bahkan sudah bertransformasi menjadi manajemen Human Capital, yang jauh dan beyond dari sekadar fungsi-fungsi administratif dan klerikal.

***

Kemarin, Kamis (22/3), sekira dua jam lebih saya ngobrol santai dengan Direktur Utama PT Bank Pembangunan Daerah Banten Tbk. (Bank Banten), Fahmi Bagus Mahesa. Ia ditemani beberapa anggota Direksi, yakni Wadirut Oliver Mambu dan Direktur Bambang Mulya Atmadja.

Ada aura optimistis dan keyakinan yang kuat terpancar dari wajah Fahmi, bankir berdarah Tasikmalaya itu.

Kita tahu, Bank Banten lahir dari sebuah proses akuisisi yang agak unik, bukan seperti bank daerah lainnya yang “dari sono”nya dibentuk oleh pemerintah provinsi.

Bank Banten, yang bernama lengkap Bank Pembangunan Daerah Banten, lahir dari sebuah bank yang sudah berstatus terbuka karena sahamnya tercatat dan diperdagangkan di pasar modal Indonesia. Selain itu, bank tersebut asal mulanya beroperasi secara nasional, yang tadinya bernama Bank Pundi, kemudian diakuisisi oleh Pemprov Banten melalui perusahaan daerah Banten Global Development.

Suatu proses yang rumit dan tidak mudah, karena kinerja bank tersebut, saat diakuisisi, memang tidak menggembirakan. Namun berkat “niat baik”, kesungguhan dan keyakinan yang bulat, masalah yang dihadapi bank itu berangsur-angsur dapat ditangani.

Ngobrol Ekonomi: Ini Millennials' Game, Bung!

Fahmi Bagus Mahesa, Dirut Bank Banten

 

Saya membaca kesan emosional yang kuat, keterlibatan yang dalam, ketika Fahmi dan jajaran manajemen dituntut membenahi bank yang kini bertransformasi dengan tagline “Dari Banten Membangun Indonesia” itu.

Fahmi, dalam kapasitas sebagai Dirut, dan tim direksi bahkan rela tinggal di rumah kos, sebelum akhirnya mengontrak satu rumah untuk ditinggali bersama dengan tiga direksi bank itu.

Tiga kerja besar sekaligus dilakukan, yakni ‘bersih-bersih’, konsolidasi organisasi dan ekspansi bisnis. Salah satu langkah bersih-bersih dan konsolidasi organisasi adalah perampingan karyawan yang semula lebih dari 3000 orang kini menjadi sekitar 1000 orang dengan smooth dan relatif tanpa gejolak.

Kini, karyawan Bank Banten didominasi generasi millennials yang hendak diajak lari cepat. Setelah semua proses itu, tanda-tanda keberhasilan mulai terlihat. Kinerja keuangan semakin membaik, begitu pula penataan kelembagaan dan penguatan basis pasar di wilayah Banten.

Maka, Fahmi juga merancang program Bank Banten agar lebih relevan dengan mereka, begitu pula konsumen yang kini lebih technology-oriented. Meski memiliki kendala untuk masuk ke bisnis digital mengingat Bank Banten masih berjuang untuk lepas dari kategori Buku I karena keterbatasan modal, bukan berarti hari ini ia tidak berusaha keras mengejar relevansi dengan perkembangan fintek alias teknologi keuangan.

Buku I adalah pengelompokan bank dengan modal inti di bawah Rp1 triliun, sedang Buku II kelompok bank dengan modal inti Rp1 triliun hingga di bawah Rp5 triliun. Menurut ketentuan regulator, makin kecil permodalan bank, segmen bisnis makin dibatasi terkait dengan pengelolaan risiko dan aspek prudensial atau kehati-hatian.

Maka, dengan keterbatasan itu, cara yang dipakai Fahmi adalah kolaborasi dengan perusahaan fintek, untuk melayani pembayaran melalui teknologi digital. Ini dilakukan sembari menyiapkan tambahan modal untuk mengejar kategori Buku II, agar model bisnis yang dikembangkan lebih leluasa.

Namun di luar itu, banyak upaya dilakukan untuk lebih membuat Bank Banten relevan dengan pasarnya, dan calon nasabahnya.

Terlebih begitu besar potensi captive market, para aparatur sipil negara di wilayah tersebut. Selain itu, potensi industri, pertanian dan kelautan juga besar, mengingat Banten adalah salah satu provinsi dengan garis pantai terpanjang. Belum lagi sektor pariwisata, yang semuanya menjadi basis pasar potensial.

Setidaknya, hingga akhir tahun lalu, kinerja Bank Banten mulai menggeliat. Pertumbuhan aset, kredit, dan simpanan nasabah melonjak masing-masing 46%, 56% dan 43% dibandingkan posisi akhir tahun 2016. Tahun ini bahkan diperkirakan Bank Banten mulai profit.

Karena itu, Fahmi kian optimistis. “Banyak pertolongan dari atas,” katanya menunjuk ke atas, mengisyaratkan pertolongan Tuhan.

***

Hampir semua perusahaan yang saya temui kini bicara tentang generasi millennials. Tak berlebihan mengingat ini era di mana banyak hal ditentukan oleh keputusan generasi yang sesuai konsensus kini berusia antara 20 tahunan hingga 35 tahunan itu. Ini eranya mereka. Saya senang menyebutnya millennials’ game.

Banyak yang bilang, mengelola generasi millennials begitu menantang dan membutuhkan “energi lebih”. Tentu butuh pendekatan yang lebih relevan, karena behavior mereka jauh berbeda dengan generasi sebelumnya terutama karena perubahan teknologi dan Internet.

Di satu bank BUMN, sekadar ilustrasi, bahkan tawaran untuk meningkatkan keterlibatan dan keterikatan karyawan millennials dilakukan dengan berbagai cara. Mulai dari tawaran beasiswa dengan angka per paket yang fantastis, ada yang menyebut sekira Rp1,5 miliar per karyawan terpilih, hingga tawaran berpetualang ke daerah-daerah terpencil dengan diberikan hak cuti, dan difasilitasi perusahaan.

Selain itu, yang lazim dilakukan adalah memberikan kesempatan berinovasi, menyampaikan gagasan terbaik, terkait dengan kemajuan perusahaan, terobosan produk dan layanan, efisiensi dan langkah terobosan yang lain. Tentunya, mereka mendapatkan reward yang sepadan.

Saya percaya, kemampuan manajemen memberdayakan generasi millennials ini akan memberikan nilai tambah lebih kepada perusahaan. Apalagi di era disrupsi sekarang ini, di mana tantangan perusahaan semakin beragam. Perusahaan yang adaptiflah yang akan bertahan dan terus tumbuh.

Selebihnya, barangkali pada akhirnya kita akan bicara soal hoki masing-masing perusahaan, dan hoki para karyawan. Cerita Fahmi Bagus Mahesa bisa saja karena kerja kerasnya ditopang hoki yang baik, sehingga mulai tampak keberhasilannya dalam membenahi Bank Banten.

Namun, saya kok tidak melihat keberhasilan karena hoki atau nasib baik semata. Untuk yang ini, saya percaya kata-kata Lo Keng Hong, investor saham dari Indonesia, yang berlatar belakang keluarga miskin. Pak LKH, begitu dia biasa disapa, kerap dijuluki Warren Buffet-nya Indonesia.

Anda tahu, Warren Buffet adalah salah satu orang terkaya di Amerika dan dunia, yang kekayaannya bertumbuh dari waktu ke waktu karena menjadi investor saham.

Apa kata Pak LKH soal hoki alias keberuntungan? Jelas dan terang. “Saya percaya hoki. Makin keras orang berusaha, makin sering menemukan hoki,” begitu katanya. Nah, dengan kata lain, hoki hadir karena usaha, bukan datang tiba-tiba. Jadi, bagaimana menurut Anda? (*)

  • Tulisan ini adalah modifikasi dari Kolom Beranda halaman 1 Bisnis Indonesia edisi 23 Maret 2018 berjudul: Millennials' Game.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Arif Budisusilo
Editor : News Editor
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper