Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Indonesia Masuk Kelompok Negara Berpenghasilan Sedang Terendah, BI: Ini Tantangan

Kendati masuk sebagai negara dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi tahunan tinggi, Indonesia masih terjebak dalam posisi bawah kelompok negara-negara yang masuk ke dalam kategori middle income dengan pendapatan US$3.900 per kapita.
ilustrasi/JIBI-Endang Muchtar
ilustrasi/JIBI-Endang Muchtar

Bisnis.com, BATAM - Kendati masuk sebagai negara dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi tahunan tinggi, Indonesia masih terjebak dalam posisi bawah kelompok negara-negara yang masuk ke dalam kategori middle income dengan pendapatan US$3.900 per kapita.

Dari data Bank Indonesia tahun 2016, negara-negara yang masuk ke dalam kelompok lower middle income dengan pendapatan antara US$1.006-US$3.955 per kapita a.l. India, Vietnam, Filipina dan Ukraina.

Asisten Gubernur BI Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter Dody Budi Waluyo mengatakan Indonesia sudah keluar dari kelompok negara-negara berpenghasilan rendah.

Saat ini, Indonesia ingin masuk ke kategori negara upper middle income (penghasilan menengah ke atas) atau high income (penghasilan tinggi) dengan rentang pendapatan US$4.000-US$12.000.

"Ini yang menjadi tantangan. Banyak negara yang gagal keluar dari US$4.000 per kapita," ungkap Dody dalam media briefing di Batam, Rabu (12/4/2018).

Salah satu penyebabnya adalah masalah kebijakan struktural yang belum diterapkan oleh negara tersebut. Alhasil, negara tersebut ekonominya selalu berada di dalam posisi defisit, baik transaksi berjalan dan fiskal. Ketika ekonomi negara tersebut tumbuh pesat, defisit selalu mengekor sehingga nilai tukar negara tersebut ikut tertekan dan inflasi negara itu akan melaju tinggi. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi harus direm.

Indonesia tercatat masih memiliki defisit transaksi berjalan dan fiskal. Pada 2017, defisit transaksi berjalan Indonesia mencapai 1,7%. Sementara itu, defisit fiskal tercatat sebesar 2,46%. Menurut Dody, ekonomi Indonesia seideal mungkin harus dalam posisi surplus. Namun, beberapa negara memilih berusaha menekan nilai defisit transaksi berjalan dan fiskalnya serendah mungkin.

"Itu sudah cukup untuk membuat ekonomi running pada pertumbuhan yang lebih tinggi," kata Dody. Adapun, untuk membalikkan posisi defisit transaksi berjalan saat ini. Industri berbasis manufaktur yang berorientasi ekspor harus didorong. Berkaca pada negara Asean lain, ekspor barang hasil industri manufaktur menjadi penopang utama surplus transaksi berjalan mereka.

Thailand dan Malaysia tercatat memiliki neraca ekspor barang dengan nilai yang cukup tinggi yakni US$36,54 miliar dan US$24,38 miliar sehingga negara tersebut berhasil membukukan transaksi berjalan yang surplus.

Dia melihat industri manufaktur yang potensial adalah industri manufaktur teknologi tinggi atau teknologi sedang dan padat karya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Hadijah Alaydrus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper