Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Studi: Indonesia akan Kekurangan 18 Juta Tenaga Kerja Ahli pada 2030

Studi Korn Ferry mengenai Global Talent Crunch menunjukkan bahwa Indonesia akan mengalami perlambatan pertumbuhan karena kekurangan tenaga kerja ahli pada tahun 2030, di mana sektor manufaktur akan mengalami dampak paling besar.
Pekerja berjalan melewati rel kereta api di Jakarta, Selasa (14/3)./JIBI-Dedi Gunawan
Pekerja berjalan melewati rel kereta api di Jakarta, Selasa (14/3)./JIBI-Dedi Gunawan

Bisnis.com, JAKARTA - Studi Korn Ferry mengenai Global Talent Crunch menunjukkan bahwa Indonesia akan mengalami perlambatan pertumbuhan karena kekurangan tenaga kerja ahli pada tahun 2030, di mana sektor manufaktur akan mengalami dampak paling besar.

Studi ini dilakukan di 20 negara yang memiliki pengaruh besar terhadap perekonomian, terutama pada tiga sektor industri yang menjadi penggerak utama perekonomian global, yaitu: sektor layanan finansial dan bisnis; sektor teknologi, media dan telekomunikasi (TMT); serta sektor manufaktur dan juga menganalisis sektor-sektor lainnya di setiap negara.

“Dari seluruh negara yang diteliti dalam studi ini, Indonesia, negara dengan populasi penduduk paling banyak keempat di dunia, akan berpotensi menghadapi kekurangan tenaga kerja ahli di seluruh sektor industri dengan total hampir 18 juta orang pada tahun 2030 dengan proyeksi pendapatan yang tidak terealisasi mencapai total USD 442,6 miliar. Kekurangan tenaga kerja Level A (highly skilled) akan segera terjadi, sementara kekurangan tenaga kerja Level B (mid skilled) dan Level C (low skilled) akan terjadi pada tahun 2025,” kata Sylvano Damanik, Managing Director, Korn Ferry Hay Group Indonesia dalam siaran persnya.

Di Indonesia, dampak kekurangan tenaga kerja ahli pada sektor layanan finansial dan bisnis pada tahun 2030 berpotensi berujung kepada pendapatan tahunan yang tidak terealisasi sebesar USD 9,1 miliar; USD 21,8 miliar pada sektor teknologi, media dan telekomunikasi; serta USD 43 miliar pada sektor manufaktur.

Kekurangan tenaga kerja ahli dalam jumlah besar menjadi masalah banyak perusahaan dan negara di seluruh dunia. Pada tahun 2030, permintaan terhadap tenaga kerja ahli akan melebihi persediaan yang ada, sehingga akan terjadi krisis tenaga kerja ahli sebanyak lebih dari 85,2 juta orang di seluruh dunia. Di kawasan regional, krisis tenaga ahli akan menghambat pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut. Jika tidak segera diatasi, hal ini akan memberikan dampak yang sangat besar bagi negara-negara di kawasan Asia Pasifik pada tahun 2030.

“Perusahaan harus melakukan mitigasi potensi krisis tenaga kerja ahli mulai dari sekarang untuk melindungi masa depan mereka,” kata Michael Distefano, President, Korn Ferry Asia Pacific.

“Jika tidak segera diatasi, maka krisis tenaga kerja ahli ini akan berdampak sangat besar terhadap pertumbuhan negara-negara di kawasan Asia Pasifik, di mana akan segera terjadi kekurangan tenaga kerja sebanyak lebih dari 12,3 juta orang pada tahun 2020, dan akan terus meningkat menjadi 47 juta orang dan berpotensi berujung kepada pendapatan tahunan yang tidak terealisasi sebesar USD 4,238 triliun di kawasan Asia Pasifik pada tahun 2030.” jelasnya.

Studi Global Talent Crunch Korn Ferry memprediksikan ketimpangan antara ketersediaan dan permintaan terhadap tenaga kerja ahli di masa yang akan di 20 negara dalam tiga periode, yaitu 2020, 2025 dan 2030 serta pada tiga sektor yang meliputi layanan finansial dan bisnis; teknologi, media dan telekomunikasi; serta manufaktur.

Sylvano Damanik mengatakan, perusahaan-perusahaan di kawasan Asia Pasifik sekarang juga harus melakukan langkah-langkah strategis untuk menyelamatkan bisnis mereka. Jika krisis tenaga ahli dibiarkan berlarut-larut, maka hal ini akan berpengaruh sangat besar terhadap pertumbuhan negara-negara dan industri di kawasan ini.

“Tenaga ahli yang tepat merupakan keunggulan perusahaan, dan tenaga ahli tersebut semakin hari semakin langka,” kata Sylvano. “Studi kami menunjukkan bahwa saat ini pun sudah terjadi kelangkaan tenaga ahli, dan pada tahun 2030, perusahaan maupun negara di berbagai belahan dunia akan menghadapi krisis ini. Untuk mengatasi krisis tenaga ahli yang telah berada di depan mata ini, perencanaan sumber daya manusia dan pemahaman menyeluruh terhadap talent pipeline sangatlah penting.”

“Masa depan akan bergantung kepada kemitraan yang efektif antara manusia dan teknologi. Kebutuhan yang mendesak terhadap tenaga kerja dengan keahlian tepat bagi industri dan bukan hanya tentang dominasi teknologi untuk bisnis, merupakan masalah penting yang kita hadapi saat ini,” kata Sylvano.

Kurangnya tenaga kerja ahli dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan industri di kawasan Asia Pasifik:

Kawasan Asia Pasifik akan menghadapi kekurangan tenaga kerja sebanyak 12,3 juta orang pada tahun 2020 dan akan meningkat menjadi 47 juta orang pada tahun 2030 dengan proyeksi biaya tahunan yang akan dikeluarkan (annual opportunity cost) sebesar USD 4,238 triliun.

Perkembangan teknologi pada seluruh sektor di kawasan Asia Pasifik akan melambat karena krisis tenaga kerja ahli bidang teknologi, media dan telekomunikasi yang akan mencapai 2 juta orang dengan proyeksi biaya tahunan yang akan dikeluarkan (annual opportunity cost) lebih dari USD 151,60 miliar pada tahun 2030.

Dampak paling besar akan dirasakan oleh sektor layanan finansial dan bisnis di kawasan Asia Pasifik karena akan kekurangan 3,7 juta tenaga kerja pada tahun 2030, di mana hal ini akan berdampak kepada biaya tahunan yang akan dikeluarkan (annual opportunity cost) lebih dari USD 439,62 miliar jika hal ini tidak segera diatasi.

China akan mengalami krisis tenaga kerja ahli paling besar dan akan berpotensi kehilangan pendapatan tahunan yang tidak terealisasikan sebesar USD 1,433 triliun pada tahun 2030 – sepertiga dari total proyeksi biaya yang akan dikeluarkan (opportunity cost) di kawasan Asia Pasifik.

Krisis tenaga kerja ahli dengan jumlah signifikan pada sektor manufaktur serta sektor teknologi, media dan telekomunikasi di Tiongkok dan Jepang (dengan jumlah total 3,2 juta orang pada tahun 2030) dapat mempengaruhi dominasi kawasan Asia Pasifik di kancah global.

Sektor layanan finansial dan bisnis di Tiongkok dan Jepang akan menghadapi adanya potensi biaya tahunan yang akan dikeluarkan (annual opportunity cost) sebesar USD $147,10 miliar dan USD 113,62 miliar pada tahun 2030 – lebih dari setengah dari pendapatan yang tidak terealisasikan di kawasan Asia Pasifik. Keadaan ini menempatkan Tiongkok dan Jepang pada posisi kedua dan keempat terkait proyeksi biaya yang akan dikeluarkan terbesar di antara 20 negara yang dianalisis (berada pada posisi kedua setelah Amerika Serikat).

Dominasi sektor manufaktur Tiongkok akan menghadapi tekanan – Tiongkok akan mengalami kekurangan tenaga kerja sebanyak 1 juta orang dan berpotensi kehilangan USD 71,43 miliar pada tahun 2030.

Sektor teknologi, media dan telekomunikasi Jepang yang kokoh akan terancam karena akan menghadapi krisis tenaga kerja lebih dari setengah juta orang dan berpotensi kehilangan pendapatan tahunan sebesar USD 47,80 miliar pada tahun 2030 – hal ini setara dengan 20 persen dari seluruh sektor di Jepang – proyeksi biaya yang akan dikeluarkan (opportunity cost) di sektor teknologi, media dan telekomunikasi Jepang berada di peringkat kedua setelah Amerika Serikat.

India merupakan satu-satunya negara dalam studi ini yang berpotensi mengalami kelebihan tenaga kerja ahli yang diprediksi mencapai 245,3 juta orang pada tahun 2030.

Secara global, studi ini menunjukkan potensi terjadinya krisis yang cukup besar karena ketimpangan persediaan tenaga kerja ahli dan permintaan pasar:

Amerika Serikat, Jepang, Perancis, Jerman dan Australia akan menghadapi krisis terbesar dalam waktu dekat dengan total estimasi biaya yang akan dikeluarkan (combined opportunity cost) sebesar USD 1,876 triliun pada tahun 2020.

Krisis tenaga kerja pada sektor layanan finansial dan bisnis secara global adalah yang paling parah dengan potensi kekurangan 10,7 juta orang di seluruh dunia pada tahun 2030.

Krisis tenaga kerja ahli bidang teknologi, media dan telekomunikasi secara global sebanyak 4,3 juta orang pada tahun 2030 dapat menghambat perkembangan teknologi pada seluruh sektor di seluruh dunia.

Sektor manufaktur akan menghadapi kekurangan tenaga ahli di seluruh dunia sebesar 7,9 juta orang pada tahun 2030, walaupun pada tahun 2020, sektor ini merupakan satu-satunya sektor yang mengalami kelebihan tenaga ahli.

India merupakan satu-satunya negara dalam studi ini yang akan mengalami kelebihan tenaga ahli pada tahun 2025 dan 2030.

Studi: Indonesia akan Kekurangan 18 Juta Tenaga Kerja Ahli pada 2030

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper