Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Upaya Pemerintah Bendung Pelemahan Rupiah

Selama beberapa dekade terakhir, perusahaan-perusahaan di Indonesia telah mengembangkan strategi teruji untuk mengatasi pelemahan berkala dalam nilai tukar rupiah.
Ilustrasi/Bisnis
Ilustrasi/Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA – Selama beberapa dekade terakhir, perusahaan-perusahaan di Indonesia telah mengembangkan strategi teruji untuk mengatasi pelemahan berkala dalam nilai tukar rupiah.

Hal ini dilakukan dengan menahan kepemilikan dolar AS demi melindungi laba perusahaan.

Akan tetapi, perilaku mereka justru dapat menambah tekanan terhadap pelemahan mata uang Garuda, sekaligus memperburuk masalah bagi para pembuat kebijakan, terutama mengingat sifatnya yang relatif terbuka dibandingkan dengan negara-negara tetangga dengan sistem mata uang yang lebih ketat.

Rupiah telah menjadi salah satu mata uang berkinerja buruk di Asia sepanjang tahun ini dan mencapai level terlemahnya sejak akhir 2015 pekan lalu setelah terperangkap dalam aksi jual di emerging markets.

Bank Indonesia (BI) sebenarnya telah mengambil berbagai langkah untuk berupaya meningkatkan penggunaan rupiah dan sekali lagi mendorong perusahaan-perusahaan untuk menjual dolar AS.

Meski demikian, berdasarkan survei Reuters, sejumlah perusahaan mempertahankan kepemilikan greenback serta hanya memenuhi persyaratan lindung nilai (hedging) minimum.

Banyak perusahaan berpendapat, dengan besarnya biaya dalam dolar AS sementara sebagian pendapatan dalam rupiah, mereka tidak dapat mengambil risiko tersangkut oleh pelemahan dalam rupiah.

Mereka juga menunjukkan bahwa lindung nilai bisa sangat mahal. Vidjongtius, Direktur Utama PT Kalbe Farma Tbk. (KLBF) mengatakan bahwa setiap persentase depresiasi rupiah menaikkan biaya produksinya sebesar 0,35%.

“Memegang ‘uang tunai’ dolar AS telah menjadi strategi Kalbe sejak lama karena lindung nilai dengan produk perbankan relatif lebih kompleks dan terkadang sulit untuk dipantau, ditambah ada biaya untuk itu,” katanya, seperti dikutip Reuters, Senin (11/6/2018).

Industri farmasi secara khusus terkena risiko nilai tukar karena bahan bakunya sebagian besar diimpor dan hanya mengekspor sebagian kecil dari produksinya.

Capital Outflow

Gubernur BI Perry Warjiyo, dalam sebuah pertemuan media Rabu lalu, mengatakan bahwa Undang-undang di Indonesia saat ini tidak memberi pilihan untuk mendesak eksportir menahan pendapatan onshore lebih lama ataupun meminta perusahaan-perusahaan mengonversi kepemilikan dolar AS mereka.

Hal itu berbeda dengan sistem valuta asing yang lebih kuat di negara-negara seperti Malaysia, yang sejak 2016 telah membuat para eksportirnya mengonversi 75% dari pendapatan mereka menjadi ringgit.

Upaya Pemerintah Bendung Pelemahan Rupiah

Indonesia juga rentan karena, tidak seperti beberapa negara di kawasan ini, mengalami defisit transaksi berjalan. Selain itu, asing memiliki hampir 40% dari obligasi pemerintah, sehingga mata uangnya dapat terpukul aliran keluar dari pasar obligasi.

Menurut Perry, terdapat mispersepsi di antara beberapa perusahaan tentang biaya lindung nilai dan beberapa kekhawatiran atas lemahnya nilai tukar rupiah.

Ia pun berjanji untuk mengomunikasikan lebih lanjut tentang lindung nilai serta untuk memberikan ‘harapan rasional’ atas ke mana rupiah menuju setelah mengutip wacana pasar bahwa nilai tukar rupiah bisa melewati Rp16.000 per dolar AS.

Saat ini rupiah diperdagangkan di kisaran level 13.900. Sejumlah pelaku pasar mulai mendesak para pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan kembali aturan liberal di Indonesia tentang pergerakan modal.

Kartika Wirjoatmodjo, Chief Executive Bank Mandiri, menyarankan bahwa setelah periode volatilitas berlalu, aturan sebaiknya diubah untuk mengakomodasi beberapa jenis manajemen modal.

“Pendekatan yang lebih lunak adalah memberikan insentif kepada para eksportir. Jadi jika mereka mengonversi (penghasilan dalam dolar AS) menjadi rupiah, mungkin pajak pada deposito mereka dapat dikurangi,” katanya.

Jika BI mengambil jalan semacam itu, maka akan menjadi langkah terbaru dalam serangkaian langkah tambahan yang diambil dalam beberapa tahun terakhir sebagai upaya mendorong perusahaan agar merangkul rupiah.

Pada tahun 2012, BI memerintahkan eksportir untuk menerima pembayaran mereka melalui bank-bank lokal, dengan harapan bahwa sebagian dari uang itu akan tetap di dalam negeri dan dikonversi menjadi rupiah.

Dua tahun kemudian, BI mewajibkan perusahaan dengan liabilitas dalam mata uang asing untuk melakukan lindung nilai seperempat dari eksposur mata uang asing jangka pendek mereka.

Kemudian pada tahun 2015, BI bergerak untuk menegakkan aturan yang mengharuskan semua transaksi domestik dalam rupiah. Ini dilakukan, misalnya, dengan melarang tuan tanah membebankan sewa dalam dolar AS.

Upaya Pemerintah Bendung Pelemahan Rupiah

Tetapi ini semua jelas tidak cukup untuk membuat perbedaan besar. Bahkan sejumlah eksekutif perusahaan mengatakan bahwa lindung nilai tidak selalu masuk akal.

Dendy Kurniawan, Chief Executive PT Indonesia AirAsia, yang memperoleh sekitar separuh pendapatannya dalam rupiah dan separuh dalam dolar AS, mengatakan jika, misalnya, rupiah melemah 5% sementara biayanya 6% untuk lindung nilai, maka tidak ada gunanya untuk melakukan lindung nilai.

Jahja Setiaatmadja, Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk., mengatakan bank biasanya hanya mengambil 20 hingga 25 basis poin dari margin keuntungan untuk produk lindung nilai dengan valuta asing sederhana, tetapi karena didasarkan pada pasar interbank rupiah maka bisa membawa suku bunga 5,95% untuk kontrak satu tahun.

Bukan hanya eksportir, perusahaan dengan sedikit bahkan tanpa penghasilan dalam dolar AS juga memegang mata uang AS tersebut.

Perusahaan pakan ternak PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk. (CPIN), yang utamanya melakukan penjualan di dalam negeri meski mengimpor beberapa bahan baku, telah berupaya membatasi eksposur dolar dengan membeli jagung lokal serta membatasi utang luar negerinya.

“Perusahaan menahan cash dolar AS selain lindung nilai pembayaran bunga jangka pendek, meskipun tidak sepenuhnya melindungi utang pokok dan kebutuhan dolar jangka panjang,” kata Direktur CPIN Ong Mei Sian.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper