Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

NERACA PERDAGANGAN: Defisit Bayangi Transaksi Mei

Aktivitas produksi yang lesu di tengah banjirnya impor barang konsumsi dan bahan baku menjelang Ramadan serta berbagai hambatan ekspor komoditas unggulan membayangi neraca perdagangan Mei 2018.

Bisnis.com, JAKARTA — Aktivitas produksi yang lesu di tengah banjirnya impor barang konsumsi dan bahan baku menjelang Ramadan serta berbagai hambatan ekspor komoditas unggulan membayangi neraca perdagangan Mei 2018.

Defisit neraca perdagangan menjadi topik utama koran cetak Bisnis Indonesia edisi Senin 25 Juni 2018.

Kepala Badan Pengkajian Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan Kasan Muhri memprediksi neraca perdagangan secara month-to-month pada Mei masih akan defisit, tetapi nilainya menipis jika dibandingkan dengan periode April.

“Saya perkirakan neraca perdagangan nonmigas akan membaik dari April. Salah satu faktornya, dari sisi impor, karena nilai impor komponen pesawat terbang yang tinggi pada April diprediksi tidak lagi terjadi pada Mei,” ujarnya kepada Bisnis Minggu (24/6/2018).

Dari sisi ekspor, dia mencatat adanya perbaikan pada kinerja penjualan produk manufaktur, terutama tekstil dan produk tekstil (TPT), akibat naiknya permintaan dari negara-negara belahan utara memasuki musim panas. Bahkan, Kemendag optimistis pada Mei kinerja ekspor secara total akan naik sekitar 7% dari bulan sebelumnya.

Secara kumulatif, otoritas perdagangan juga melihat adanya tren kenaikan ekspor nonmigas dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.”Namun, adanya hambatan dagang juga mempengaruhi pertumbuhan ekspor tahun ini,” tegas Kasan.

Sekadar catatan, neraca perdagangan sepanjang Januari—April 2018 tercatat masih defisit US$1,32 miliar. Angka ini berbanding terbalik dengan kinerja Januari—April 2017 di mana perdagangan Indonesia mengalami surplus US$5,43 miliar.

Adapun hasil konsensus 11 ekonom yang disurvei Bloomberg, Jumat (24/6), memperkirakan neraca perdagangan Mei akan tertekan dengan perkiraan rata-rata defisit sebesar US$489,30 juta dan nilai tengah US$531 juta.

Perkiraan defisit ini lebih rendah dibandingkan dengan defisit pada April 2018 yang mencapai US$1,63 milar. Namun, posisinya akan berlawanan dengan neraca perdagangan Mei 2017 yang tercatat surplus US$470 juta.

Bhima Yudhistira, Ekonom Indef, mengungkapkan tekanan berasal dari adanya potensi defisit migas yang berpotensi naik. Sementara itu, ekspor CPO dan beberapa komoditas lainnya mengalami koreksi harga.

“Imbas perang dagang juga kembali memukul ekspor produk unggulan seperti CPO dan karet,” ungkap Bhima, Minggu (24/6).

Hal ini dipicu oleh ketatnya proteksi dagang di Uni Eropa dan China. Tekanan ini akan menekan nilai ekspor Indonesia. Bahkan keseluruhan tahun, Bhima memperkirakan ekspor hanya akan tumbuh 6%—7%.

Dia mengkhawatirkan kondisi defisit neraca perdagangan akan berdampak kontraktif terhadap kondisi ekonomi. "Motor lainnya, yaitu konsumsi rumah tangga sedang dalam pemulihan, jadi andalannya cuma net ekspor dan investasi," kata Bhima.

Selain itu, dia mengingatkan defisit ini dapat berpengaruh ke naiknya permintaan valuta asing sehingga rupiah berpotensi kembali terdepresiasi ke depannya.

Menurutnya, kondisi defisit dalam neraca perdagangan ini dapat berlanjut hingga semester dua. Jika ketidakpastian harga komoditas dan perang dagang memburuk.

Menurut Bhima, pemerintah harus berupaya keras untuk terus mendorong ekspor. Insentif fiskal harus didorong ke industri yang berorientasi ekspor secara spesifik. "Jangan obrol semua insentif, nanti evaluasinya bingung."

Kemudian, dia menilai ini saatnya duta besar Indonesia diberikan target menggenjot ekspor, contohnya 10% di masing-masing negara penempatan.

Untuk menghadapi perang dagang, pemerintah harus sigap mencari celah yang bisa dimanfaatkan. Bhima mencontohkan ekspor minyak nabati bisa digencarkan karena China akan menerapkan bea impor tinggi terhadap kedelai AS. “CPO harusnya masuk ke China, ambil start,” tegas Bhima.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono menambahkan, kalau hambatan perdagangan bisa diatasi baik oleh pemerintah maupun pihak swasta, kinerja ekspor dapat lebih baik.

“Kita bisa lebih baik dari ekspor tahun lalu yaitu 32 juta ton. Tetapi, jika hambatan perdagangan tidak bisa selesai, dikhawatirkan ekspor lebih rendah daripada tahun lalu,” tuturnya, Minggu (24/6).

Berdasarkan data Gapki, ekspor minyak sawit mentah dan turunannya pada kuartal I/2018 hanya mencapai 7,5 juta ton, turun 3% jika dibandingkan dengan kinerja pada periode yang sama tahun lalu.

Hambatan utama untuk ekspor CPO pada tiga bulan pertama tahun ini datang dari India yang menaikkan pajak impor minyak nabati pada Maret, menjadi 44% untuk CPO dan 54% untuk refined palm oil.

Secara terpisah, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Eksportir Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno memprediksi kinerja ekspor Mei justru membaik dibandingkan dengan April.

Hal tersebut dipicu oleh siklus kebutuhan global untuk seluruh komoditas, yang memang cenderung naik pada kuartal II dibandingkan dengan kuartal perdana tahun berjalan.

GPEI memperkirakan ekspor pada Mei meningkat 6% dari bulan sebelumnya. Jika ekspor nonmigas April mencapai US$13,28 miliar, kata Benny, ekspor Mei kemungkinan besar akan menyentuh sekitar US$14,07 miliar.

“ Mei lebih baik dibandingkan dengan April. Kenaikannya rata-rata sekitar 6%, karena kebutuhan dunia pada kuartal kedua selalu lebih besar dibandingkan dengan kuartal pertama,” tegasnya.

Lebih lanjut, Benny berpendapat peningkatan ekspor Mei dipengaruhi oleh naiknya permintaan produk manufaktur seperti pakaian jadi, alas kaki, dan barang elektronik.

Kiki Verico, ekonom dari UI yang juga menjabat sebagai Wakil Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) UI bidang Penelitian, mengungkapkan efek perang dagang terhadap neraca perdagangan Indonesia memiliki sisi negatif dan positif.

Positifnya peluang perdagangan terutama untuk produk besi dan baja dari Indonesia mungkin bisa masuk ke AS.

“Potensi lain ada pada ekspor selain besi baja seperti barang elektronik dan suku cadang kendaraan, furnitur, serta pakaian, alas kaki dan tekstil dari Indonesia ke pasar AS karena perang dagang tersebut,” ujar Kiki.

Sebaliknya, sisi negatifnya, China bisa meningkatkan ekspor besi bajanya ke Asia Tenggara ketika AS meningkatkan tarif impor besi baja dari China. Namun, dia meyakini perang dagang tidak akan berlangsung lama dan efeknya tidak akan meluas hingga ke Asia Tenggara. Pasalnya, jika AS bersikukuh terus melancarkan perang dagang untuk waktu yang lama, hal ini akan merugikan negara tersebut. China dan AS memiliki jaringan produksi yang kuat dan arus keuangan yang kuat.

DEFISIT GANDA

Banjirnya barang impor tidak hanya menekan neraca perdagangan, tetapi secara umum akan berpengaruh kepada pelebaran defisit transaksi berjalan.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menuturkan defisit transaksi berjalan memang akan lebih tinggi pada kuartal kedua. Hal tersebut merupakan faktor musiman di mana kebutuhan impor meningkat.

Namun, dia meyakini peningkatan defisit transaksi berjalan disebabkan oleh faktor yang pertumbuhan impor bahan baku yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi.

“Kalau di tingkat defisit transaksi berjalan naik karena tingkat ekonominya baik, tapi masih aman,” kata Perry, Jumat (22/6).

Secara keseluruhan tahun, BI memperkirakan defisit transaksi berjalan tidak akan melebihi 2,5%.

Adapun, hal yang menjadi perhatian BI adalah pembiayaan defisitnya. Investasi asing langsung diperkirakan akan meningkat. Perry menuturkan BI akan terus mendorong pertumbuhan investasi di sisi portofolio, pembelian surat utang negara dan saham.

“Makanya langkah preemptive BI dengan kenaikan suku bunga, seperti itu semakin akan membuat investasi di SBN atau fixed income di Indonesia itu menarik sehingga inflow di SBN atau obligasi korporasi menarik,” tegas Perry.

Dengan demikian, dia memastikan defisit transaksi berjalan akan berada di level yang semakin aman dan kuat karena pembiayaannya juga semakin kuat. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper