Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pemerintah Dituntut 'Ngerem' Impor Bahan Baku

Upaya mengerem impor bahan baku harus segera digulirkan pemerintah guna mewaspadai kemungkinan eskalasi perang dagang yang mengarah pada competitive devaluation.
KM Gunung tengah melakukan bongkar muat kontainer di Pelabuhan Tanjung Priok. Kapal buatan galangan Meyer Werft, Jerman ini bisa mengangkut 98 TEUs kontainer di samping mengangkut penumpang./JIBI-Rivki Maulana
KM Gunung tengah melakukan bongkar muat kontainer di Pelabuhan Tanjung Priok. Kapal buatan galangan Meyer Werft, Jerman ini bisa mengangkut 98 TEUs kontainer di samping mengangkut penumpang./JIBI-Rivki Maulana

Bisnis.com, JAKARTA -- Upaya mengerem impor bahan baku harus segera digulirkan pemerintah guna mewaspadai kemungkinan eskalasi perang dagang yang mengarah pada competitive devaluation.

Pengamat ekonomi dari ADB Institute Eric Sugandi mengungkapkan perang dagang yang dilancarkan via penetapan tarif ataupun competitive devaluation akan berdampak buruk pada perdagangan global dan pertumbuhan ekonomi dunia.

Salah satu solusi untuk mengurangi tekanan dari competitive devaluation atau devaluasi nilai tukar untuk mendongkrak daya saing adalah dengan menjaga defisit transaksi berjalan.

"Untuk membantu menjaga agar defisit neraca transaksi berjalan tidak membengkak, pemerintah bisa melakukan evaluasi proyek infrastruktur," ujarnya, Selasa (24/7/2018).

Impor bahan baku dan barang penolong untuk kebutuhan pembangunan infrastruktur tercatat mengalami pertumbuhan yang signifikan hingga Juni 2018, yakni naik 14,56% secara year-on-year (yoy) dengan andil 75,58% dari total impor.

Menurut Eric, pemerintah dapat menyeleksi proyek-proyek skala prioritas dengan skala rendah untuk ditunda pembangunannya agar importasi barang modal dan bahan baku dapat direm.

Direktur Riset CORE Indonesia Piter R. Abdullah menilai agar Indonesia tidak ngotot menahan pelemahan rupiah dengan mengorbankan semua cadangan devisa ataupun menaikkan suku bunga setinggi-tingginya.

"Namun, tidak juga membiarkan rupiah selemah-lemahnya," tegasnya.

Sementara itu, ekonom PT Bank Central Asia Tbk. David Sumual mengatakan pembatasan impor memang menjadi solusi dalam menghadapi kondisi ini. Pembatasan impor konsumsi bisa dilakukan terlebih dahulu mengingat impor bahan baku sulit dibatasi karena 80% produksi industri di dalam negeri masih bertumpu pada komponen dari luar negeri.

"Impor konsumsi harus diseleksi betul dan ada substitusinya," terangnya.

Seperti diketahui, upaya China merelaksasi Giro Wajib Minimum (GWM) terus melemahkan renminbi. Langkah pelemahan mata uang yang dilakukan China dengan sengaja tersebut mendorong mata uang negara lain terdepresiasi.

Sejak 1 Mei 2018, rupiah telah terdepresiasi 4,48%, lebih baik dibandingkan lira Turki yang turun 13,86%, peso Argentina 25,62% dan won Korea 5,9%, serta baht Thailand sebesar 5,77%.

Sementara itu, pada periode yang sama, mata uang negara maju juga mengalami pelemahan. Dolar Kanada terdepresiasi 2,39%, krone Denmark 2,99%, dolar Selandia Baru sebesar 3,37%, poundsterling sebesar 4,48%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Hadijah Alaydrus
Editor : Annisa Margrit
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper