Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ini Titik Lemah Fundamental Ekonomi Indonesia Versi Menko Darmin

Rendahnya angka tabungan nasional (national savings) menjadi titik lemah fundamental ekonomi Tanah Air dalam menghadapi gejolak di pasar global.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution (kiri), dan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, seusai menghadiri pembukaan Industrial Summit 2018, di Jakarta, Rabu (4/4/2018)./JIBI-M. Richard
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution (kiri), dan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, seusai menghadiri pembukaan Industrial Summit 2018, di Jakarta, Rabu (4/4/2018)./JIBI-M. Richard

Bisnis.com, JAKARTA -- Rendahnya angka tabungan nasional (national savings) menjadi titik lemah fundamental ekonomi Tanah Air dalam menghadapi gejolak di pasar global.
 
Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan angka tabungan yang rendah membuat Indonesia selalu memerlukan modal asing untuk investasi.
 
"Bahkan, perlu asing untuk beli sebagian saham di pasar modal dan obligasi negara kita," ungkapnya, Kamis (2/8/2018).
 
Menurut Darmin, penguasaan asing di pasar obligasi pemerintah mencapai 39%-40%, sedangkan di pasar modal porsinya mencapai 45%-50%.
 
Sementara itu, ketergantungan dana asing di negara tetangga, seperti Malaysia dan Thailand cukup rendah. Malaysia contohnya, porsi penguasaan dana asing di dalam pasar sahamnya sekitar 12%-14%.
 
"Itu sebabnya setiap kali ada guncangan, kalau satu pekan kita tegar. Kalau berbulan-bulan, kita mulai repot karena terlalu banyak asingnya," lanjutnya.

Rendahnya angka tabungan nasional dinilai disebabkan oleh cadangan devisa Indonesia yang masih bocor. Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang dibawa masuk kembali hanya sekitar 80%-81%.
 
"Dalam kaidah ekonomi, kalau devisa tidak masuk itu [artinya] bocor sehingga mengurangi cadangan devisa juga kemampuan penambahan uang beredarnya," ujar Darmin.
 
Uang beredar akan meningkat jika valas masuk. DHE yang bocor sekitar 19%-20% pun dinilai tidak bisa disalahkan karena UU yang berlaku saat ini menegaskan sistem devisa bebas, yang sudah berlangsung setelah krisis 1998.
 
Saat menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia (BI) pada periode 2010-2013, Darmin mengungkapkan dirinya memerlukan waktu dua tahun untuk mendorong DHE masuk ke dalam negeri. Sektor migas menjadi yang paling sulit karena saat itu UU-nya memperbolehkan DHE diparkir di luar negeri.

Akhirnya, komunikasi dengan BP Migas dan memberikan ancaman larangan ekspor kepada eksportir migas pun menjadi cara untuk menarik DHE ke dalam negeri.

Namun, dari 80%-81% DHE, hanya 15% yang ditukarkan ke rupiah. Umumnya, DHE tersebut ditahan dalam bentuk tabungan, giro, dan deposito valas dalam dolar AS.
 
Posisi perbankan juga sulit mengelola dana tersebut karena dana dalam bentuk giro tidak bisa diputar ke kredit.
 
"Itu valas bisa diambil, namanya juga punya dia. Kalau dia ambil, ada aturan secara moneter namanya net open position," terang Darmin.
 
Untuk menghindari hal tersebut, dana itu kembali disimpan di bank luar negeri seperti di Frankfurt, Singapura, atau Hong Kong dengan bunga di kisaran 0,6%-0,7%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Hadijah Alaydrus
Editor : Annisa Margrit
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper