Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

OPINI: Mencari Kembali Keseimbangan Ekonomi

Dengan kondisi global yang mengetat, hal pasti yang bisa kita lakukan untuk menjaga kestabilan neraca pembayaran adalah dengan tidak terlalu memaksakan diri dalam mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Cadangan devisa dan neraca perdagangan RI semester pertama 2018./Bisnis-Radityo Eko
Cadangan devisa dan neraca perdagangan RI semester pertama 2018./Bisnis-Radityo Eko

Bisnis.com, JAKARTA – Pertumbuhan ekonomi pada kuartal II/2018 yang tercatat sebesar 5,27% y-y telah memberikan harapan yang tinggi untuk perkembangan ekonomi Indonesia.

Namun, tetap ada beberapa hal yang harus kita garis bawahi dalam menentukan langkah dalam pengembangan ekonomi kedepan. Salah satu faktor penting tersebut adalah kondisi neraca berjalan dan neraca pembayaran Indonesia.

Pada kuartal II/2018, kekhawatiran pasar keuangan tentang melebarnya defisit neraca berjalan Indonesia cukup terbukti dengan melebarnya defisit neraca berjalan Indonesia dari hanya sebesar US$5 miliar di kuartal I/2018 menjadi US$8,1 miliar di kuartal II/2018, setara dengan 3,03% dari produk domestik bruto (PDB), sedikit melewati batas aman target Bank Indonesia yang sebesar 3% dari PDB.

Di luar adanya gejolak ekonomi global, perang dagang antara Amerika Serikat dan China, terdepresiasi dalamnya mata uang lira dan terus naiknya suku bunga the Fed, dan risiko internal seperti melebarnya neraca berjalan menjadi hal yang penting untuk diperhatikan.

Adanya defisit neraca berjalan yang terus membesar secara makroekonomi menunjukkan bahwa suatu negara sedang melakukan tingkat investasi yang tinggi, dimana tingkat investasi tersebut lebih besar dibandingkan tingkat tabungan yang mereka miliki (Neraca berjalan adalah investasi dikurangi tabungan).

Kalau kita melihat kondisi ekonomi Indonesia saat ini, yang sedang giat melakukan pembangunan, terutama bidang infrastruktur, defisit neraca berjalan menjadi hal yang lumrah. Lalu apa masalahnya? Bukankah pengembangan infrastruktur ini adalah hal yang baik?

Untuk menjawab hal tersebut, kita harus melihat beberapa hal, baik dari kaca mata ekonomi domestic maupun kaca mata ekonomi global.

Dari ekonomi domestik, terdapat beberapa perbedaan ekonomi Indonesia beberapa tahun lalu dan sekarang. Kalau 6—9 tahun lalu dibutuhkan persentase sebesar 5,1% investasi didalam PDB untuk menghasilkan 1% pertumbuhan ekonomi, saat ini kita membutuhkan 6,4% porsi investasi di dalam PDB untuk mendapatkan 1% pertumbuhan ekonomi.

Jika pada periode 2012—2013 kita butuh pertumbuhan ekonomi diatas 5,5% untuk mencapai defisit neraca berjalan sebesar 3%, pada kondisi ekonomi saat ini yang membutuhkan investasi yang sangat tinggi, angka 5,2% pertumbuhan ekonomi saja akan cukup untuk meningkatkan defisit neraca berjalan kita ke atas 3% dari PDB. Angka ini merupakan batas atas aman yang dicanangkan oleh Bank Indonesia.

Kecilnya kemampuan kita untuk menumbuhkan ekspor ketika harga komoditas tinggi menjadi hal yang harus kita cermati, karena turut berperan atas melebarnya neraca transaksi berjalan. Singkat kata, kalau saat ini kita masih berusaha tumbuh lebih tinggi di atas 5,2% tanpa adanya perubahan struktur ekonomi yang berarti, defisit neraca berjalan akan berada diatas batas aman 3,0%.

Dari sisi ekonomi global, pengetatan likuiditas melalui kenaikan suku bunga yang dilakukan Amerika Serikat tentunya membuat permintaan imbal hasil dari pengelola dana global juga akan semakin tinggi.

Apa dampaknya untuk negara berkembang seperti Indonesia? Kalau dalam kondisi likuiditas yang longgar, kondisi defisit yang tinggi masih dimaklumi, toleransi untuk defisit neraca berjalan suatu negara berkembang tujuan investasi cenderung akan turun.

Contoh nyata untuk hal ini adalah adanya pelarian kapital (outflow) dan kejatuhan nilai tukar yang terjadi di Turki setelah ekspektasi neraca berjalannya ditengarai akan semakin defisit setelah pemberlakuan tarif perdagangan baru untuk Amerika Serikat.

Singkat kata, untuk mencapai keseimbangan baru ditengah adanya tren kenaikan bunga global, hal yang harus kita lakukan adalah terus menurunkan defisit neraca berjalan, baik itu dengan meningkatkan potensi pemasukan valas maupun menurunkan pengeluaran valas.

Penyesuaian Ekonomi

Neraca berjalan terkait juga dengan nilai tukar rupiah, karena defisit yang besar mensyaratkan mata uang dalam rezim mata uang mengambang terus mengalami pelemahan untuk mencapai keseimbangan barunya.

Melihat kembali periode tingginya defisit neraca berjalan pada periode 2013—2015, pada saat itu kestabilan nilai tukar rupiah menjadi hal yang sulit dicapai. Kestabilan didapatkan pada periode 2016—2017 ketika defisit neraca berjalan lebih rendah dan likuiditas global yang lebih longgar.

Untuk menghadapi hal ini, pengetatan telah dilakukan oleh Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan secara tepat telah menurunkan target penerbitan obligasi negara. Kedua proses ini dapat dipandang sebagai proses penyesuaian ekonomi menuju keseimbangan baru.

Kedepannya, dengan kondisi global yang mengetat, hal pasti yang bisa kita lakukan untuk menjaga kestabilan adalah dengan tidak terlalu memaksakan diri dalam mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pasalnya, pertumbuhan tinggi akan membuat impor dan defisit tinggi pula, yang nantinya akan memperlemah nilai tukar rupiah.

Kita optimistis bahwa adanya proses rebalancing ekonomi untuk menurunkan defisit akan diapresiasi secara baik oleh pasar.

*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Selasa (14/8/2018)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper