Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pemerintah Mulai Evaluasi Insentif Devisa Hasil Ekspor

Pemerintah mulai mengevaluasi implementasi aturan PMK No.26/2016 yang mengatur diskon pajak bagi penyimpan devisa hasil ekspor (DHE) di dalam negeri.
Menteri Keuangan Sri Mulyani/JIBI-Felix Jody Kinarwan
Menteri Keuangan Sri Mulyani/JIBI-Felix Jody Kinarwan

Bisnis.com, JAKARTA -- Pemerintah mulai mengevaluasi implementasi aturan PMK No.26/2016 yang mengatur diskon pajak bagi penyimpan devisa hasil ekspor (DHE) di dalam negeri.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengungkapkan dirinya tengah berupaya menyeimbangkan antara supply dengan demand dollar.

Salah satu upaya yang dilakukan adalah mengkaji kembali efektifitas aturan insentif pajak bagi DHE yang di simpan di dalam negeri.

Maklum saja, dari 80% DHE yang disimpan di dalam negeri hanya 15% yang dikonversikan ke dalam rupiah.

Beleid yang mengatur insentif tersebut adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.26 Tahun 2016 tentang perubahan atas keputusan menteri keuangan nomor 51/kmk.04/2001 tentang pemotongan pajak penghasilan atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto sertifikat bank indonesia.

Aturan tersebut mengatur mengenai pengenaan PPh atas bunga dari deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang bersumber dari DHE mendapat diskon pajak dengan aturan sebagai berikut.

Pengenaan tarif 10% dari jumlah bruto untuk deposito dengan jangka waktu 1 bulan, tarif 7,5% dari jumlah bruto untuk deposito dengan jangka waktu 3 bulan, tarif 2,5% dari jumlah bruto untuk Deposito dengan jangka waktu 6 bulan, dan tarif 0% dari jumlah bruto untuk deposito dengan jangka waktu lebih dari 6 bulan.

Sementara untuk devisa yang diubah ke dalam bentuk rupiah, insentifnya tarif 7,5% dari jumlah bruto untuk deposito dengan jangka waktu 1 bulan.

Tarif 5% dari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka waktu 3 bulan, dan tarif 0% dari jumlah bruto untuk deposito dengan jangka waktu 6 bulan atau lebih dari 6 bulan.

"Saya sudah minta supaya Pak Suahasil [Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kemenkeu] dan Pak Robert [Dirjen Pajak] dalam menjelaskan PMK ini dan melakukan evaluasi terhadap kenapa itu kurang efektif atau kurang dipahami. Tentu dalam situasi yang sekarang di dalam pemikiran untuk membawa devisa hasil ekspor, di dalam negeri di dalam konteks untuk menyeimbangkan supply and demandnya [dollar] menjadi penting," jelasnya, di Gedung Dhanapala, Kemenkeu RI, Selasa (14/8/2018).

Selain itu, Menkeu juga tengah membangun komunikasi intensif dengan Bank Indonesia (BI) guna menentukan kebijakan fiskal, baik dari sisi insentif maupun penekanan kepabeanan dan perpajakan, yang paling tepat dalam penyeimbangan ini.

Dia melanjutkan, hal ini bertujuan menggandeng dunia usaha agar bersamas-sama menghadapi situasi dinamika perekonomian yang cukup tinggi.

"Dimana pemikiran mengenai jumlah permintaan dollar untuk impor maupun investasi harus bisa bertemu dengan jumlah supply-nya apakah itu dari FDI [foreign direct investment] atau apakah itu dari hasil ekspor [DHE]," jelasnya.

Menurutnya, hal ini yang mampu membawa Indonesia tetap bertahan agar pertumbuhan ekonomi tetap tinggi dengan permintaan terhadap mata uang asing dapat dikelola secara baik.

Secara terpisah, Direktur Jendral Pajak, Kemenkeu, Robert Pakpahan mengungkapkan aturan PMK ini memang belum dievaluasi lebih lanjut.

Menurutnya yang paling mengetahui pelaksanaan PMK tersebut adalah pihak perbankan, karena mereka yang lebih paham asal muasal deposito yang disimpan. "Sudah ada [diskon] 0% yang menarik, pertanyaannya apakah eksportir itu tertarik memanfaatkan atau tidak.

Cuma kalau dia taruh uang disini menggunakan skema ini sangat bagus, diskon [pajak] 6 bulan," paparnya.

Sebelumnya, Kepala Kebijakan Fiskal, Kemenkeu, Suahasil Nazala mengungkapkan implementasi PMK ini berjalan tidak terlalu baik.

Pasalnya, sulit untuk memastikan deposito yang disimpan di perbankan itu DHE atau bukan. "Kita sedang lihat lagi mekanismenya yang pas, pastinya kita ingin memberikan insentif supaya DHE bisa diam di bank di Indonesia kemudian dikonversi. Bentuk insentifnya masih dikaji," ungkapnya.

Sementara itu, pelemahan rupiah melewati level Rp14.600 merupakan pelemahan yang dapat diprediksi. Pasalnya, rilis neraca pembayaran Indonesia (NPI) menunjukkan terjadi defisit 3% sebesar US$4,3 Miliar.

Direktur Penelitian Core Indonesia, Piter Abdullah, mengatakan, pelemahan kali ini sudah dapat ditebak sejak Jumat (10/8/2018) lalu.

Rilis NPI menjadi sentimen negatif paling utama. "Rilis NPI dimana CAD melebar hingga 3% dari PDB serta NPI defisit US$4.3 milyar memicu sentimen negatif di pasar yang diwujudkan pada hari ini," jelasnya kepada Bisnis.

Data NPI tersebut lanjutnya, menunjukkan bahwa Indonesia mengalami shortage dollar. Artinya, permintaan dollar jauh di atas ketersediaannya.

"Sementara kita ketahui bahwa supply dollar kita juga tidak efektif karena eksportir banyak yang menyimpan dollarnya," paparnya.

Bagaimana pun, Piter tetap merekomendasikan pemerintah membuat aturan lebih konkret terkait DHE ini.

Menurutnya, insentif tidak akan begitu banyak berpengaruh yang diperlukan adalah ketegasan dengan membuat aturan yang mewajibkan DHE disimpan di dalam negeri.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Rustam Agus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper