Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menyikapi Risiko Krisis Ekonomi Turki

Secara ekonomi, kondisi sekarang berbeda dengan kondisi yang melatari krisis 1998 dan 2008 dimana perekonomian global tidak mengalami kekurangan likuiditas.
Uang lira Turki./Reuters-Murad Sezer
Uang lira Turki./Reuters-Murad Sezer

Ada apa dengan Turki?

Secara fundamental, pengelolaan ekonomi Turki saat ini boleh dibilang kurang sehat dengan mencermati memburuknya twin defisit (fiskal dan neraca berjalan).

Taksiran tahun ini twin defisit sekitar 9% GDP - dimana 6,4% merupakan current account deficit 2018F (sumber bloomberg). Berarti negeri ini membutuhkan dana asing untuk membiayai defisit tersebut.

Proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini sekitar 4,1% memang terbilang rendah dibandingkan tahun 2017 (7,4%). Lingkungan eksternal "new normal" yang kurang bersahabat bagi negara berkembang (strong dollar, higher interest rate dan higher oil price) memicu pelemahan kurs dan inflasi (sekitar 13%).

Namun sentral bank ditenggarai mendapat tekanan dari pemerintah untuk tidak melakukan pengetatan, termasuk menaikkan bunga.  Bisa dimaklumi mencermati tingkat pengangguran yang mencapai 10%.

Investor bereaksi negatif seperti ditunjukkan oleh angka CDS Turki yang kini lebih tinggi dibanding Brazil, negara yang mengalami rating downgrade. Apalagi setelah meluaskan konflik politik dengan (Presiden) Amerika Serikat yang semakin memperburuk situasi. Yield obligasi negara Turki melonjak hingga 22% dan selama tahun berjalan Turkish Lira anjlok 45%.

Krisis ekonomi dan gagal bayar obligasi Turki berisiko menekan ekonomi Eropa mengingat banyak lembaga keuangannya memiliki surat utang Turki.

Sumber Bank for International Settlement per 1Q18 mengungkap Spanyol memiliki eksposure sekitar 36% surat berharga Turki disusul Perancis (16%), Italia-UK-US (masing-masing 8%) dan Jerman (6%). Itu sebabnya kita menyaksikan pelemahan euro yang terbaca sebagai penguatan dollar.

Euro sendiri cenderung melemah terhadap rupiah.

Krisis ekonomi Turki pada hakikatnya memperpanjang siklus strong dollar yang hanya bisa diredakan apabila ekonomi kawasan Eropa bisa menguat seperti terjadi selama tahun 2017.

Dampak Terhadap Indonesia

Dengan asumsi perbankan Indonesia boleh dibilang tidak memiliki eksposure terhadap surat berharga Turki, maka dampak langsung krisis ekonomi Turki relatif terbatas.

Namun, pasar modal Indonesia, secara umum turut terkena dampak currency risk yang terkait penguatan dollar (DXY) dan memburuknya sentiment terhadap negara berkembang (seperti ditunjukkan oleh JP Morgan Emerging Market Spread dan CDS).

Seperti terlihat pada dashboard terlampir, kedua faktor tersebut turut menekan rupiah sehingga melewati angka 14.500.

Kami cermati dua faktor eksternal lain yakni suku bunga dan rasio cost_to_income commodity price relatif membaik. Suku bunga LIBOR cenderung stagnan ketika yield T-bond menurun.

Sementara penurunan harga minyak menahan kenaikan rasio cost_to_income commodity price (COMCUAN). Model kami mengindikasikan kurs rupiah akan cenderung tertekan sehingga membuka kemungkinan BI akan terpaksa menaikkan suku bunga.

Pemerintah seharus mempercepat upaya memanfaatkani penguatan dollar dan kenaikan harga energi minyak baik melalui kebijakan substitusi energi (B20 biodiesel) dan memacu pariwisata.

Sampai Kapan?

Belajar dari pengalaman Indonesia 1998, penyembuhan twin defisit mengharuskan perlambatan ekonomi yang memicu krisis politik.

Apakah akan juga terjadi di Turki? Tidak ada yang tahu.

Konflik politik dengan Amerika Serikat bisa terus berlanjut bila para pimpinan negara tidak dapat berkompromi.

Situasi terbilang memanas. Opini Presiden Erdogan muncul di harian New York Times yang bernada mengancam akan mengakhiri persekutuan dengan Amerika Serikat.

Secara ekonomi, kondisi sekarang berbeda dengan kondisi yang melatari krisis 1998 dan 2008 dimana perekonomian global tidak mengalami kekurangan likuiditas.

Excess liquidity yang ditunjukkan melalui excess reserve masih terbilang massif di perbankan Amerika Serikat dan kawasan Eropa. Hanya saja negara berkembang (yang mengalami twin defisit termasuk Indonesia) harus membayar dengan biaya yang lebih mahal

Sejauh ini pemerintah dan Bank Indonesia telah melakukan kebijakan diferensiasi termasuk menaikkan suku bunga. Tinggal menunggu apakah investor asing melakukan diskriminasi antarnegara berkembang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper