Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Gejolak Turki Jadi Tes Kerentanan Bagi Emerging Market

Negara berkembang yang terlalu bertopang dengan utang ‘murah’ dari masa kebijakan pelonggaran kuantitatif pun tampil menjadi yang paling rentan, apalagi jika negara tersebut tidak meningkatkan fundamental ekonominya.
Pernyataan pers bersama Presiden Jokowi (kiri) dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, di Istana Kepresidenan Turki, Ankara, Kamis (6/7) siang waktu setempat./Humas Setkab
Pernyataan pers bersama Presiden Jokowi (kiri) dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, di Istana Kepresidenan Turki, Ankara, Kamis (6/7) siang waktu setempat./Humas Setkab

Bisnis.com, JAKARTA - Polemik ekonomi Turki bak pengetes kerentanan ekonomi negara berkembang di tengah-tengah proses pengetatan kebijakan moneter oleh sejumlah bank sentral utama dunia. Menguatnya dolar AS pun mengancam tingkat utang yang merentankan sejumlah negara berkembang.

Sepekan terakhir, tensi diplomatik antara pemerintah Turki dan Amerika Serikat telah membawa nilai lira tersungkur di hadapan dolar AS.

Tidak tanggung-tanggung, nilai lira tergerus hingga lebih dari 40% di awal perdagangan pekan ini, setelah AS memberlakukan sanksi ekonomi untuk dua orang pejabat Turki di level menteri.

Di saat bersamaan, bank sentral utama dunia seperti Federal Reserve dan Bank Sentral Eropa (ECB) terus beranjak dari kebijakan masa krisis menuju normalisasi kebijakan.

Diperkirakan, laju pengetatan kebijakan moneter oleh bank sentral tersebut akan semakin cepat pada tahun depan, seiring dengan rencana untuk menaikkan suku bunga dan memperkecil selisih neraca keuangannya.

Sejauh ini, The Fed tidak lagi memperpanjang kepemilikan obligasinya yang telah jatuh tempo. Sementara itu, ECB pun berencana akan mengakhiri program pembelian obligasinya pada akhir tahun 2018.

Jim Reid, Global Head of Credit Strategy di Deutsche Bank AG, mengungkapkan permasalahan di Turki mungkin merupakan peringatan terhadap terjadinya risiko yang meluas nantinya, seiring dengan berlangsungnya kebijakan pengetatan oleh bank sentral utama dunia.

“Krisis keuangan selalu terjadi di dalam siklus pengetatan kebijakan oleh The Fed, ketika banyak uang yang diarahkan ke aset ber-yield tinggi,” katanya, seperti dikutip Bloomberg, Jumat (17/8/2018).

Dia menambahkan, situasi yang terjadi kali ini telah lebih dipelajari oleh investor global kendati situasinya berbeda dari masa awal krisis yang telah terjadi sebelumnya.

Adapun Bloomberg Economics memperkirakan, jumlah bersih pembelian aset dari tiga bank sentral utama dunia (The Fed, ECB, dan BOJ) akan berkurang menjadi nol, dari hampir US$100 miliar per bulan pada akhir tahun lalu.

Langkah kebijakan pengetatan kuantitatif dari bank sentral di negara maju dan gejolak ekonomi dari negara berkembang seperti itu pun menimbulkan kekhawatiran, bahwa arus modal akan semakin deras mengalir ke negara maju dan meninggalkan pasar negara berkembang.

Negara berkembang yang terlalu bertopang dengan utang ‘murah’ dari masa kebijakan pelonggaran kuantitatif pun tampil menjadi yang paling rentan, apalagi jika negara tersebut tidak meningkatkan fundamental ekonominya.

“[Namun] masih ada kesempatan untuk pasar negara berkembang kendati tingkat utang di pasar negara berkembang telah berkedip merah,” kata Alberto Gallo, pengelola keuangan di Algebris Investment di London.

Adapun Institute for International Finance (IIF) memperkirakan utang untuk rumah tangga, pemerintah, korporasi, dan sektor keuangan di 30 negara berkembang melonjak menjadi 211% terhadap produk domestik bruto (PDB) pada awal tahun ini dari hanya 143% pada akhir 2008.

Sementara itu, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan utang publik di emerging market dan negara ekonomi menengah kini rata-rata mencapai 50% terhadap PDB, atau tertinggi sejak krisis utang pada era 1980-an. Bahkan, tingkat utang dari seperlima kelompok negara tersebut mencapai 70% terhadap PDB.

Selain itu, Bank for International Settlements mencatat liabilitas korporasi yang berdenominasi dolar AS saja nilainya mencapai US$3,7 triliun di pasar negara berkembang, atau telah naik dua kali lipat sejak 2010.

Dengan data tersebut, Bloomberg Economics menilai Turki, Argentina, Kolumbioa, Afrika Selatan, dan Meksiko sebagai negara-negara yang paling rentan ditinggalkan oleh investornya pada masa sekarang ini.

Pasalnya, di negara-negara tersebut terjadi kombinasi data ekonomi yang tidak menguntungkan, yaitu tingkat inflasi yang tinggi, melebarnya neraca berjalan, dan anggaran yang defisit.

“Pemerintah, korporasi, perbankan, dan rumah tangga di pasar negara berkembang yang memiliki liabilitas dolar AS akan diterpa masalah besar ketika nilai dolar menguat,” kata Stephen Jen dan Joana Freire, pengelola dana lindung Eurizon SLD, London.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Dwi Nicken Tari
Editor : Fajar Sidik
Sumber : Bloomberg

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper