Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pesan Sri Mulyani untuk Jerome Powell

Pemerintah memiliki pesan nyata untuk Gubernur Federal Reserve Amerika Serikat (AS) Jerome Powell dan pemimpin otoritas keuangan global lainnya yang berkumpul di Bali pekan ini.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan sambutan saat menghadiri Remark Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA) - LPEI Cocktail pada rangkaian Pertemuan Tahunan IMF - World Bank Group 2018 di The Laguna Resort, Nusa Dua, Bali, Selasa (9/10/2018)./ANTARA-Jefri Tarigan
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan sambutan saat menghadiri Remark Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA) - LPEI Cocktail pada rangkaian Pertemuan Tahunan IMF - World Bank Group 2018 di The Laguna Resort, Nusa Dua, Bali, Selasa (9/10/2018)./ANTARA-Jefri Tarigan

Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah memiliki pesan nyata untuk Gubernur Federal Reserve Amerika Serikat (AS) Jerome Powell dan pemimpin otoritas keuangan global lainnya yang berkumpul di Bali pekan ini.

Pemerintah berharap agar para pembuat kebijakan memperhatikan efek kebijakan moneternya terhadap negara-negara berkembang.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, meskipun pemerintah telah mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menstabilkan mata uang serta menjaga defisit transaksi berjalan dan anggaran terkendali, masih terlihat arus modal keluar yang dipicu oleh kenaikan suku bunga Fed.

“Diperlukan koordinasi kebijakan yang lebih baik di antara 189 anggota Dana Moneter Internasional (IMF) untuk melindungi negara-negara berkembang,” ujar Sri Mulyani, dalam wawancara dengan Bloomberg Television.

Pemerintah AS, jelasnya, perlu menyadari bahwa dampak dari kebijakan-kebijakan mereka sangat nyata bagi banyak negara.

“Saya berharap Jerome Powell, Mnuchin [Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin], China, Jepang, Eropa akan sepenuhnya menyadari sedang berada di negara yang melakukan semua hal yang benar, Namun kita harus betul-betul waspada dengan kondisi global yang berubah sangat cepat,” lanjut Sri Mulyani.

Indonesia telah terseret dalam gejolak yang melanda pasar negara berkembang (emerging market) global tahun ini seiring dengan meningkatnya suku bunga AS, menguatnya dolar AS, dan memburuknya konflik perdagangan AS-China yang mendorong investor untuk melepaskan aset-aset berisiko.

Nilai tukar rupiah telah merosot ke level terlemahnya dalam dua dekade, menembus level Rp15.000 per dolar AS pekan lalu terlepas dari tindakan yang dilancarkan pemerintah dan Bank Indonesia (BI), termasuk kenaikan suku bunga, pembatasan impor, dan penundaan untuk beberapa pembelanjaan proyek.

“Indonesia mengharapkan AS untuk merancang kebijakan dengan jalur yang menciptakan kondisi ramah bagi banyak negara berkembang untuk menyesuaikan diri,” tutur mantan direktur pelaksana Bank Dunia ini.

Bukan berarti The Fed kalis atas dampak kebijakannya pada pasar negara berkembang. Bulan lalu, Powell mengatakan bahwa apa yang terjadi di seluruh negara-negara di dunia, termasuk negara-negara berkembang, benar-benar penting bagi bank sentral AS tersebut dalam menjalankan mandat domestiknya.

“The Fed berusaha sangat transparan atas langkah-langkah yang diambil,” ujar Powell.

Memanasnya perang perdagangan antara AS dan China serta volatilitas yang telah melanda pasar negara berkembang akan disoroti dalam agenda Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia 2018 di Bali pekan ini, setelah IMF memangkas proyeksinya untuk pertumbuhan global pada Selasa (9/10).

IMF juga memperingatkan bahwa risiko terhadap prospek global telah meningkat dalam tiga bulan terakhir. Hal ini akan mempercepat arus pelarian modal dari pasar negara berkembang.

India, Indonesia, dan Filipina berada di antara negara-negara yang paling terpukul di Asia. Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan ada kebutuhan untuk menyelaraskan kebijakan fiskal, perdagangan, dan moneter untuk memastikan pemulihan ekonomi dunia yang berkelanjutan.

“Kami berharap dengan suasana Bali, semua pihak, para pembuat kebijakan dari AS, China, dan Eropa, Jepang, dan negara-negara berkembang lainnya, akan memiliki lebih banyak kemampuan untuk menyetujui dan memulihkan kepercayaan di pasar dan ekonomi global serta memiliki komitmen untuk bekerja sama,” terang Sri Mulyani.

Menurutnya, para pemimpin dari negara-negara Asia Tenggara, yang akan berkumpul di sela-sela agenda pertemuan, akan bersama-sama menyuarakan keprihatinan mereka tentang ekonomi global.

Ia juga menyatakan lebih optimistis tentang kemungkinan adanya kesepakatan yang dapat menyebabkan berhentinya pertikaian antara AS dan China.

“Kami berharap bahwa kami akan dapat menyadari ini bukan hanya masalah dua negara. Ini masalah 189 negara dalam IMF,” ujarnya.

Lebih lanjut diungkapkan, kebijakan fiskal Indonesia akan dirancang untuk mengurangi defisit anggarannya serta menurunkan kebutuhan pinjaman pemerintah di tengah kenaikan suku bunga, pengetatan likuiditas, dan volatilitas pasar.

“Banyak arah kebijakan akan bergantung pada pergerakan suku bunga Fed tahun depan dan dampaknya terhadap negara-negara berkembang,” tambah Sri Mulyani.

BI telah menaikkan suku bunga sebanyak lima kali sejak Mei dan menguras cadangan devisanya sekitar 12% tahun ini dalam upaya untuk menghentikan pelemahan rupiah.

Pada saat yang sama, pemerintah telah mengadopsi sejumlah langkah untuk mengendalikan defisit transaksi berjalan, yang mencapai sekitar 3% dari produk domestik bruto.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper