Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ini yang Bisa Terjadi Jika China Dilabeli Manipulator Mata Uang

Aksi jual pada bursa Wall Street bisa bertambah jika pemerintah Amerika Serikat (AS) menggunakan laporan valas semitahunan bulan ini untuk melabeli China sebagai manipulator mata uang.
China/Reuters
China/Reuters

Bisnis.com, JAKARTA – Aksi jual pada bursa Wall Street bisa bertambah jika pemerintah Amerika Serikat (AS) menggunakan laporan valas semitahunan bulan ini untuk melabeli China sebagai manipulator mata uang.

Hal tersebut berpotensi meningkatkan kebuntuan perdagangan antara kedua negara pada saat meningkatnya imbal hasil obligasi telah menggerogoti aset-aset berisiko.

Skenario itu dipandang mungkin, meskipun kecil terjadi, mengingat nilai tukar yuan China telah jatuh lebih dari 9% terhadap dolar AS selama enam bulan terakhir. Ini meningkatkan spekulasi bahwa Negeri Panda telah dengan sengaja melemahkan mata uangnya.

Menurut seorang pejabat senior Departemen Keuangan pada Senin (8/10), pemerintahan Presiden Donald Trump memprihatinkan hal ini. Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin pun menghadapi tekanan dari Gedung Putih untuk secara resmi melabeli China untuk pertama kalinya sejak 1994.

Keputusan seperti itu kemungkinan akan melepaskan gejolak baru di pasar global setelah lonjakan imbal hasil obligasi AS telah membantu memacu aksi jual terbesar pada bursa saham AS sejak Februari.

Perselisihan itu juga bakal memperparah pelemahan yuan, yang dispekulasikan mencapai hingga level 7 per dolar AS, level yang tidak terlihat sejak krisis keuangan. Dengan memburuknya hubungan perdagangan antara AS dan China, investor akan lalai untuk mengabaikan risiko, menurut Goldman Sachs Group Inc.

“Ada risiko yang lebih tinggi bahwa Departemen Keuangan [AS] menggunakan laporan tersebut untuk merefleksikan sasaran perdagangannya yang lebih luas,” kata Zach Pandl, co-head global FX strategy di Goldman Sachs, seperti dilansir Bloomberg, Kamis (11/10/2018).

“Pasar akan menafsirkannya sebagai eskalasi lebih lanjut dari perselisihan perdagangan bilateral, dan untuk pasar valas, yang sejauh ini telah ditafsirkan sebagai sumber baru risiko penurunan terhadap pertumbuhan global.”

Langkah tersebut, lanjut Pandl, juga akan memukul dolar Australia, mengingat hubungan dekatnya dengan ekonomi China. Dolar Australia telah merosot lebih dari 9% terhadap greenback pada 2018, dan saat ini diperdagangkan mendekati level terlemahnya sejak awal 2016.

Goldman bukan satu-satunya yang menyampaikan peringatan. Menjelang keputusan Departemen Keuangan AS perihal langkah tersebut, Citigroup Inc. merekomendasikan perlindungan atas pelemahan dolar Australia lebih lanjut terhadap yen, yang seringkali menguat di tengah hebatnya tekanan pasar.

“Meski China tidak memenuhi tiga kriteria resmi yang saat ini digunakan oleh pemerintah AS untuk menilai apakah suatu negara adalah manipulator mata uang, Departemen Keuangan dapat mengubah ambang batasnya” ujar Todd Elmer, head of Group-of-10 forex strategy untuk Eropa , Timur Tengah dan Afrika di Citigroup.

Pada bulan Agustus, Presiden Donald Trump mengatakan AS sedang mengkaji formula manipulasi mata uangnya.

“Ada kemungkinan peluang 50-50 bahwa AS akan melangkah jauh untuk menyebut China sebagai 'manipulator',” kata Elmer dalam laporannya pada Rabu (10/10).

Langkah pelabelan secara resmi, lanjutnya, tidak membawa konsekuensi langsung. Namun pemerintah dapat menggunakan label itu sebagai pembenaran untuk putaran tarif yang baru.

“Dampak dari pelabelan semacam itu bisa berdampak pada pasar juga. Mengingat surplus transaksi berjalan China yang relatif rendah dan kurangnya intervensi di pasar valas, tidak ada dasar untuk menyebut negara itu sebagai manipulator,” terang mantan pejabat Departemen Keuangan AS, Mark Sobel.

Sobel memperingatkan langkah itu dapat memperburuk negosiasi antara AS dan China.

Meski Departemen Keuangan telah beberapa kali menahan diri tidak melabeli China sebagai manipulator di bawah pemerintahan Trump, hubungan perdagangan AS-China telah memburuk sejak rilis terakhir laporan itu pada bulan April.

Pemerintah AS memberlakukan tarif 10% terhadap barang-barang China senilai US$200 miliar bulan lalu dan berjanji untuk meningkatkan tarif menjelang akhir tahun. Pemerintah China tidak tinggal diam dan melakukan retaliasi dengan mengenakan bea masuk pada impor AS senilai US$60 miliar.

“Ketegangan antara AS dan China telah meningkat dan Anda telah melihat Trump memanfaatkan cara lain dalam eskalasi yang sedang berlangsung ini, jadi saya pikir penggunaan langkah ini sebagai alat tampaknya sudah jelas,” kata Daniel Hui, seorang analis di JPMorgan Chase & Co.

“Mengingat kondisi hubungan [AS-China] saat ini, saya rasa tidaklah kontroversial untuk mengatakan ada kemungkinan yang lebih tinggi bahwa dia [Trump] akan mengambil langkah ini, kali ini.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper