Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

OPINI: Kenaikan Suku Bunga & Tantangan Pertumbuhan Kredit

Kuncinya ada di permintaan kredit. Meskipun suku bunga kredit merambat naik, sepanjang kondisi perekonomian kondusif, permintaan terjaga, target pertumbuhan kredit masih bisa dicapai.
Hasil Rapat Dewan Gubernur Bisnis Indonesia Jumat 29 Juni 2018
Hasil Rapat Dewan Gubernur Bisnis Indonesia Jumat 29 Juni 2018

Bisnis.com, JAKARTA – Kebijakan Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan pada Mei 2018 menandai berakhirnya periode suku bunga acuan BI di level terendah 4,25% yang sudah berlangsung sejak September 2017.

Setelah kenaikan itu, suku bunga acuan secara konsisten terus meningkat hingga mencapai 5,75% pada September lalu, atau naik 150 bps hanya dalam waktu empat bulan. Di tengah tekanan terhadap rupiah yang masih begitu besar, Bank Indonesia diperkirakan masih terus menaikkan suku bunga acuan.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: Akan sampai berapa kenaikan suku bunga acuan BI? Bagaimana dampaknya terhadap suku bunga kredit? Seberapa besar kenaikan suku bunga kredit akan mempengaruhi pencapaian target pertumbuhan kredit perbankan?

Kenaikan suku bunga kredit di masa yang akan datang adalah keniscayaan. Berbeda dengan periode 2016-2017 di saat kita melihat bagaimana suku bunga kredit yang bergerak sangat lambat seperti tidak ingin mengikuti penurunan suku bunga acuan.

Pada periode ke depan suku bunga kredit akan bergerak naik lebih cepat. Memang akan berbeda antar bank, tetapi semua arahnya sama yaitu menaikkan suku bunga kredit.

Selama periode Juni-September 2018 yang lalu, dimana Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps, bank-bank sudah menaikkan suku bunga kredit secara beragam. Beberapa bank besar di BUKU 3 dan BUKU 4 secara selektif menaikkan suku bunga kredit sebagaimana terlihat pada suku bunga dasar kredit (SBDK) sebesar 10-50 bps pada jenis kredit konsumsi, khususnya kredit konsumsi non KPR.

Adapun bank-bank kecil BUKU 1 dan BUKU 2 lebih agresif menyesuaikan suku bunga kredit dengan menaikkan SBDK sebesar 25-50 bps hampir untuk semua jenis kredit.

Meskipun suku bunga kredit terus beranjak naik, para pengelola bank tampaknya tidak terlalu khawatir pencapaian target pertumbuhan kredit mereka akan terganggu. Beberapa bank memang merevisi ke bawah target pertumbuhan kredit tapi bukan semata dikarenakan naiknya suku bunga melainkan juga mempertimbangkan factor permintaan kredit serta kecukupan likuiditas.

Disisi lain beberapa bank, khususnya bank besar di BUKU 4 justru masih optimis dapat melampaui target pertumbuhan kredit. Pertimbangannya permintaan dari korporasi yang masih besar seiring kebutuhan modal kerja yang sudah meningkat.

Secara musiman memang permintaan kredit pada triwulan tiga dan empat akan lebih besar daripada triwulan satu dan dua.

Sejalan dengan optimisme perbankan yang masih mempertahankan target pertumbuhan kreditnya, pihak regulator yaitu BI dan OJK juga menunjukkan keyakinan bahwa target pertumbuhan kredit pada 2018 sebesar 12% akan tercapai.

OJK bahkan meyakini sampai akhir tahun pertumbuhan kredit akan bisa mencapai 13%, didukung oleh membaiknya harga komoditas dan sektor trasnportasi.

Sekali lagi kuncinya ada di permintaan kredit. Meskipun suku bunga kredit merambat naik, sepanjang kondisi perekonomian kondusif, permintaan terjaga, target pertumbuhan kredit masih bisa dicapai.

Tantangan Selanjutnya

Tantangan perekonomian kita ke depan bukan hanya sekadar kenaikan suku bunga kredit. Merujuk pidato fenomenal Presiden Jokowi di Annual meeting IMF - World Bank Group pada Jumat pekan lalu di Bali, yang kita hadapi ke depan lebih besar dan lebih berat ketimbang kenaikan suku bunga kredit.

Yang akan (sudah) kita hadapi adalah pertarungan negara-negara besar dimana hasilnya tidak lain dan tidak bukan kehancuran bersama. Perekonomian global terancam oleh ketidakpastian perang dagang yang dampaknya jauh lebih buruk daripada krisis keuangan global pada 2008.

Perang dagang yang kita hadapi bukan perang dagang era merkantilis abad 15 yang hanya berdampak negatif kepada negara-negara yang terlibat perang saja. Di era global value chain saat ini, perang dagang akan mematikan kegiatan produktif di hampir semua negara. Benar yang terlibat perang dagang utamanya adalah Amerika Serikat, China, dan Uni Eropa, tetapi dampaknya akan dirasakan oleh semua negara.

Menurunnya produksi di AS, China dan Uni Eropa sebagai akibat perang dagang akan menurunkan permintaan ekspor negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Maka wajar saja bila IMF menurunkan proyeksi pertumbuhan global 2018 dari 3,9 menjadi 3,7. Semua karena perang dagang yang dipicu oleh seorang Trump.

Proyeksi penurunan ini masih terhitung kecil dan realisasinya bisa jadi jauh lebih besar apabila semua pihak tidak berupaya mencegah semakin dalam dan melebarnya perang dagang. Peringatan yang disampaikan oleh Presiden Jokowi adalah relevan dan sangat tepat waktu.

Jelaslah tantangan kita kedepan adalah kemungkinan menurunnya permintaan global. Penurunan permintaan global akan berdampak turunnya ekspor, investasi dan konsumsi, yang artinya semakin terbatasnya permintaan kredit perbankan.

Upaya apa yang masih bisa kita lakukan untuk menjaga pertumbuhan kredit ketika semua itu terjadi?

Ketika semua itu terjadi, untuk menjaga pertumbuhan kredit diperlukan sinergi yang kuat antara moneter, fiskal, dan juga sektor riil. Di sisi moneter, Bank Indonesia diharapkan bisa mengimbangi kenaikan suku bunga kredit dengan kebijakan yang lebih ekspansif atau setidaknya mengurangi operasi moneter yang kontraktif. Upaya ini dapat disandingkan dengan kebijakan ekspansif pemerintah dalam bentuk pembangunan infrastruktur serta peningkatan bantuan sosial yang dapat meningkatkan daya beli masyarakat.

Investasi pemerintah di bidang infrastruktur sangat perlu direncanakan secara lebih holistik dan terintegrasi melibatkan semua pihak. Belum terasanya dampak besar pembangunan infrastruktur saat ini lebih disebabkan oleh minimnya perencanaan tentang keterlibatan dan pemanfaatan infrastruktur oleh masyarakat atau swasta.

Sinergi moneter, fiskal dan sektor riil adalah tugasnya regulator dan pemerintah dengan melibatkan pengusaha. Sementara pertumbuhan kredit pada akhirnya akan tetap ditentukan oleh perbankan. It takes two to tango.

Permintaan kredit yang bisa dijaga dengan adanya sinergi tiga pihak hanya akan berujung kepada pertumbuhan kredit apabila perbankan dapat mengantisipasinya dengan menyiapkan kondisi internal bank secara baik.

Bank yang memiliki kondisi internal terbaik akan mampu mencapai target pertumbuhan kreditnya di masa depan.

*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Senin (15/10/2018)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper