Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Siasat Bisnis Saat Rupiah Lemah

Volatilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS beberapa waktu terakhir membuat was-was para pelaku usaha, khusunya yang aktivitas usahanya langsung berkaitan dengan valuta asing.
Petugas menghitung mata uang rupiah dan dolar AS di salah satu tempat penukaran uang di Jakarta, Selasa (9/10/2018)./ANTARA-Akbar Nugroho Gumay
Petugas menghitung mata uang rupiah dan dolar AS di salah satu tempat penukaran uang di Jakarta, Selasa (9/10/2018)./ANTARA-Akbar Nugroho Gumay

Bisnis.com, JAKARTA -- Volatilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS beberapa waktu terakhir membuat was-was para pelaku usaha, khusunya yang aktivitas usahanya langsung berkaitan dengan valuta asing.

Bagi eksportir dan orang-orang yang mempunyai simpanan dolar tentu saja menguntungkan, sedangkan bagi usaha yang bahan bakunya impor jelas merugikan. Beban biaya produksi yang naik berdampak pada harga jual produk.

Perubahan nilai tukar yang cepat juga bisa mengacaukan perencanaan keuangan hingga menggerus pendapatan, keuntungan, bahkan bisa menyebabkan masalah kelanjutan usaha. Namun, perlu diketahui bahwa pelemahan rupiah memang sudah terjadi sejak lama. Pada 1946 satu dolar dapat ditukar dengan Rp3,08, sedangkan hari-hari ini sempat mencapai Rp15.000.

EVP, Head of Wealth Management & Retail Digital Business Commonwealth Bank Ivan Jaya mengatakan dampak pelemahan rupiah terhadap bisnis dapat dilihat dari objek yang akan dijual.

“Jika objek bisnis terdapat komponen nilai tukar mata uang asing, misal bahan baku impor, maka pelemahan rupiah cukup membebani bisnis. Jika tidak, dampaknya tidak signifikan,” kata Ivan kepada Bisnis.

Dia menjelaskan pelemahan rupiah yang terjadi saat ini lebih disebabkan oleh kondisi global lantaran adanya pengetatan suku bunga di AS. Meski begitu, lanjutnya, dia menilai kondisi ekonomi di Indonesia masih cukup baik, masyarakat masih berani untuk belanja.

Daya beli masyarakat masih terbilang kuat yang tercermin dalam pertumbuhan ekonomi kuartal III/2018. Konsumsi rumah tangga tumbuh 5,01% (yoy) didukung oleh membaiknya penjualan ritel seiring dengan stabilnya laju inflasi. “Jadi peluang berbisnis di dalam negeri masih sangat terbuka lebar,” lanjutnya.

Dia mengatakan pebisnis pasti akan mengalami berbagai kondisi siklus ekonomi. Pada kondisi yang kurang menguntungkan, soal kesinambungan bisnis (business sustainability) jadi prioritas utama. Jika bisnisnya dapat bertahan melalui kondisi seperti saat ini, akan jauh lebih mudah ketika menghadapi kondisi ekonomi yang lebih baik.

Cepat beradaptasi jadi rumus utamanya. Ivan memberi contoh pebisnis busana atau garmen yang bisa mencari substitusi objek bisnis atau bahan baku dari dalam negeri, tanpa mengurangi kualitas produk.

Menurutnya, saat ini semakin banyak barang produksi dalam negeri yang memiliki kualitas yang tak kalah dengan produk impor. “Jika tidak bisa, cobalah menurunkan komponen lain yang dapat menekan biaya, misalnya biaya tenaga kerja, biaya transportasi, atau biaya promosi.”

Apabila langkah tersebut tidak dapat dilakukan, Ivan menyarankan untuk memakai cara kreatif dalam memasarkan produk, misalnya dengan membuat paket penjualan buy 3 get 1, atau membeli baju gratis kaos kaki. Menurutnya, cara itu bisa menghemat biaya dan sekaligus memperkenalkan objek bisnis baru.

“Membuat program loyalti juga merupakan salah satu solusi di mana hal ini bisa meningkatkan probabilitas pelanggan untuk membeli produk kita lagi di masa depan atau repeat order,” jelasnya.

Menaikkan harga produk jadi langkah terakhir jika opsi lain tidak berdampak. Namun perlu diingat, pada bisnis busana, meskipun merupakan kebutuhan primer, namun masyarakat masih dapat bertahan hidup jika tidak membeli.

Selain itu, pelaku bisnis busana tergolong banyak sehingga masyarakat dapat mencari substitusi di tempat lain yang lebih murah.

Setali tiga uang, pengamat bisnis dan pemasaran Managing Partner Inventure Yuswohady mengatakan industri garmen memang salah satu industri yang berat, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Secara jangka panjang, menurutnya, milenial yang menjadi pasar terbesar mulai mengurangi belanja yang bersifat barang, dan cenderung memilih belanja pengalaman. Apalagi, imbuh Yuswohady, garmen merupakan produk yang sudah sulit didiferensiasi atau produk lama, dianggap bukan industri yang menarik.

Sementara itu, secara jangka pendek ada pengaruh dari pelemahan rupiah. Pada kondisi fundamental yang kurang mendukung itu, mau tidak mau pelaku usaha mengurangi bahan baku dari luar negeri. “Kalau tidak ya main gimmick, seperti cuci gudang. Tetapi memang itu tidak sustainable, kan,” katanya.

Dia mencontohkan strategi pemasaran yang dapat dilakukan untuk memangkas biaya adalah dengan memanfaatkan platform online atau daring. Pasalnya, platform dagang daring dapat memotong rantai distribusi hingga sampai ke tangan pelanggan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper