Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

OPINI: Perlindungan Kerja Krusial di Era Gig Economy di Era Gig Economy

Dengan semakin membesarnya potensi pasar gig economy dan mulai meraksasanya perusahaan daring, pemerintah perlu segera mengantisipasi dengan membuat aturan yang berimbang dan saling menguntungkan bagi pekerja dan perusahaan.

Bisnis.com, JAKARTA – Saat ini pengemudi daring mudah sekali ditemui di setiap sudut kota. Lalu-lalang pengemudi daring menawarkan jasa angkut penumpang dan barang sudah menjadi pemandangan umum di kota-kota besar Indonesia.

Inilah bukti nyata tumbuhnya tenaga kerja gig economy yang amat mencengangkan. Menurut Kamus Cambridge, Gig Economy adalah cara bekerja yang bersifat sementara, dengan jam kerja fleksibel, dan dapat bekerja pada lebih dari satu perusahaan di saat bersamaan.

Gig economy mendobrak tatanan lama pasar tenaga kerja yang lebih banyak bersifat permanen dan kaku. Cakupan gig economy di Indonesia tidak terbatas pada pengemudi daring. Lebih dari itu, Gig Economy juga mencakup ribuan pekerja lepas (freelancers) yang terdaftar di situs pencari kerja seperti Freelancer.com, Upwork.com dan Sribulancer.com.

Melalui situs itu, pekerja lepas Indonesia bersaing dengan profesional dari berbagai belahan dunia menawarkan jasa-jasa seperti penerjemah, penulisan kreatif, dan pembuatan film animasi.

Banyak keuntungan yang dapat diperoleh dari gig economy. Dari sisi pekerja, mereka diuntungkan dengan fleksibiltas dan kebebasan dalam mengatur jam serta beban pekerjaan. Besarnya pendapatan berbanding lurus dengan banyaknya job yang diambil. Bagi perusahaan, gig economy menawarkan potensi penghematan biaya, mulai dari biaya perekrutan sampai biaya pemberian benefit seperti pensiun dan bonus tahunan.

Disisi lain, pemerintah juga mendapat keuntungan yang tak kalah besar. Pada 2017 saja hampir satu juta orang bergabung dengan perusahaan transportasi daring dan satu juta orang yang mendaftar sebagai pekerja lepas di situs asal Amerika, Freelancer.com.

Dengan kemampuan menyerap hampir dua juta tenaga kerja atau sekitar 1,5% dari total angkatan kerja Indonesia, tren gig economy berpotensi menurunkan tingkat pengangguran dan menggerakkan roda perekonomian.

Sayangnya, perhatian pemerintah tidak sebanding dengan pertumbuhannya. Pekerja gig economy tidak mendapat perlindungan layaknya pekerja formal. Hampir setiap bulan, para pengemudi transportasi daring berunjuk rasa menuntut tarif yang layak dan transparan. Begitu pula dengan pekerja lepas.

Berdasarkan data PayPal pada 2017, sebanyak 58% pekerja lepas di negara besar Asia Tenggara (termasuk Indonesia) pernah tidak dibayar setelah menyelesaikan pekerjaanya. Jika pemerintah ingin mengoptimalisasi gig economy, masalah ini harus diatasi.

Jika dicari akar masalahnya, penyebab dari semrawutnya kondisi gig economy di Indonesia adalah ambigunya status pekerja. Selama ini pekerja gig economy dianggap sebagai pekerja mandiri (self-employed), bukan karyawan. Mereka diklasifikasikan sebagai pekerja mandiri karena mempunyai fleksibilitas dan kebebasan dalam bekerja dan dianalogikan seperti pengusaha kecil yang memiliki keleluasaan dalam mengatur bisnisnya.

Nyatanya, pekerja mandiri tidak memiliki keleluasaan layaknya pengusaha. Kita ambil contoh pengemudi daring. Tarif dan bonus mereka sudah diatur melalui algoritma oleh perusahaan. Mereka juga mendapat tekanan yang besar untuk dapat menyeselesaikan target harian, serta tidak dapat menolak pelanggan yang akan berimbas pada hilangnya bonus atau akun akan dihentikan sementara (suspensi).

Hal tersebut menunjukan bahwa pekerja mandiri ini tidak mempunyai wewenang untuk mengatur sendiri tarif, biaya, pelanggan seperti layaknya pengusaha kecil. Ini membuat pekerja gig economy tidak sepenuhnya dapat diklasifikasikan sebagai pekerja mandiri.

Jadi mau disebut ‘pengusaha kecil’, ternyata bukan, karyawan pun bukan. Kalau karyawan dari segi hukum sudah jelas. Mereka dilindungi UU No.13/2003 beserta peraturan di bawahnya. Undang-undang tersebut memberikan kejelasan hak, kewajiban dan perlindungan bagi karyawan.

Sebaliknya pekerja mandiri tidak memiliki peraturan atas status mereka yang mengakibatkannya tidak mendapatkan pelindungan layaknya karyawan. Akibatnya, masalah tarif, keselamatan kerja, dan PHK (atau suspensi dari aplikasi) sepihak kerap terjadi.

Kita bisa belajar dari kasus di Inggris pada Oktober 2017 dimana raksasa perusahaan transportasi daring, Uber, kalah dalam gugatan yang dilayangkan oleh mantan pengemudinya. Mantan pengemudi tersebut menuntut Uber memberlakukan mereka sebagai karyawan, bukan pekerja mandiri.

Pengadilan mengabulkan permintaan mantan pengemudi Uber dengan argumen bahwa hampir seluruh elemen dari pekerjaan mereka diatur oleh Uber seperti tarif, bonus, dan penentuan pelanggan.

Berimbang

Dengan semakin membesarnya potensi pasar gig economy dan mulai meraksasanya perusahaan daring, pemerintah perlu segera mengantisipasi dengan membuat aturan yang berimbang dan saling menguntungkan bagi pekerja dan perusahaan.

Pemerintah wajib mempertimbangkan suara pekerja untuk mendapat perlindungan yang lebih baik, tapi juga memberikan dukungan kepada perusahaan dengan tetap mengupayakan fleksibilitas dalam aturan tersebut.

Ada beberapa poin penting yang harus tercakup dalam peraturan pekerja mandiri ini. Pertama, perlindungan upah pekerja dengan mengacu pada peraturan upah minimum dan formulasi upah yang transparan.

Contohnya, penentuan tarif dasar dan bonus bagi pengemudi daring dan pekerja lepas harus mempertimbangkan upah minimum yang berlaku di wilayah tersebut. Penetapan tarif dapat ditetapkan per kilometer maupun per jam yang di sesuaikan dengan upah minimum.

Kedua, perlindungan kontrak dan pemutusan hubungan kerja/suspensi sepihak. Dalam hal ini perusahaan dan karyawan dilandasi kontrak kerja yang jelas dan transparan mengenai hak dan kewajiban kedua belah pihak.

Adapun perlindungan atas PHK/suspensi sepihak akan memberikan batas-batas yang jelas atas kinerja dan perilaku pekerja serta kewajiban pembayaran pesangon/ganti rugi yang layak apabila dikenai PHK sepihak tanpa alasan yang jelas.

Hal ini sangat penting karena dinamika bisnis kerap berdampak pada keputusan suatu usaha untuk terus berlanjut atau dihentikan. Contohnya ketika Uber memutuskan keluar dari pasar Indonesia.

Ketiga, perlindungan keselamatan kerja. Hal ini amat penting untuk menjamin keselamatan pekerja dalam menjalankan pekerjaanya, serta menjamin perlindungan bagi pelanggan. Dalam konteks pengemudi daring misalnya, perusahaan perlu memberikan asuransi jiwa dan kecelakaan kepada pengemudi maupun penumpangnya.

Keempat, peraturan ini harus tetap dapat mempertahankan semangat fleksibilitas dan ruang gerak perusahaan untuk dapat merekrut pekerja lepas pada posisi-posisi pendukung bidang utama perusahaan.

Selain itu perusahaan juga tidak memiliki keharusan memberikan benefit lengkap layaknya pekerja tetap, seperti pensiun, bonus tahunan, fasilitas penunjang pekerjaan, dan pelatihan serta pengembangan karir yang berkesinambungan asalkan syarat-syarat perlindungan diatas terpenuhi.

Dengan begitu perusahaan dapat tetap menikmati penghematan pada biaya overhead. Pada akhirnya strategi efisiensi ini akan berujung pada peningkatan profit perusahaan.

Dengan demikian diharapkan ekosistem gig economy dapat tumbuh secara eksponensial dan menjadi solusi alternatif bagi pembangunan ekonomi Indonesia di masa mendatang.

*) Artikel dimuat di  koran cetak Bisnis Indonesia edisi Rabu (14/11/2018)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper