Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

BI butuh Lebih Banyak SBN

JAKARTA: Bank Indonesia membutuhkan lebih banyak Surat Berharga Negara untuk melaksanakan operasi moneter dalam menyerap ekses likuiditas yang ada di masyarakat.Bank Indonesia (BI) berpeluang untuk menambah jumlah Surat Berharga Negara (SBN) ketika harga

JAKARTA: Bank Indonesia membutuhkan lebih banyak Surat Berharga Negara untuk melaksanakan operasi moneter dalam menyerap ekses likuiditas yang ada di masyarakat.Bank Indonesia (BI) berpeluang untuk menambah jumlah Surat Berharga Negara (SBN) ketika harga di pasar sedang anjlok untuk menurunkan biaya penyerapan.Penyerapan oleh bank sentral tersebut sekaligus dapat menstabilkan harga SBN di pasaran.Darsono, Peneliti Utama Biro Kebijakan Moneter BI, mengatakan bank sentral akan menambah jumlah SBN secara bertahap, karena jumlahnya belum mencukupi untuk operasi moneter.“Itu secara bertahap. Saat ini belum cukup untuk menggunakan SBN dalam operasi moneter,” ujarnya hari ini.Berdasarkan dana BI jumlah SBN yang dimiliki bank sentral pada akhir September 2011 mencapai Rp57,3 triliun. Adapun operasi moneter yang dilakukan BI pada waktu yang sama mencapai Rp441,42 triliun.Sebagian besar penyerapan likuiditas tersebut masih menggunakan instrumen Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dengan nilai Rp149,22 triliun dan deposito berjangka (term deposit) senilai Rp182,46 triliun.Operasi moneter dengan SBN dilakukan dengan mekanisme reverse repo, yakni bank sentral menjual surat utang yang dimiliki dengan perjanjian akan dibeli kembali setelah jatuh tempo.Instrumen reverse repo pada akhir September menyerap likuiditas sebesar Rp30,92 triliun.Fauzi Ichsan, Ekonom Standard Chartered Bank, mengatakan bank sentral memerlukan tempo tertentu dalam mengoleksi SBN, yakni ketika pasar surat utang tersebut sedang anjlok.“Ketika pasar sedang anjlok BI akan masuk untuk mengoleksi SBN, yang akan digunakan untuk operasi moneter. Kebijakan ini secara langsung juga akan menstabilkan harga SBN di pasar,” jelasnya.Menurut dia, penggunaan SBN sebagai instrumen moneter juga akan membantu mengurangi defisit bank sentral, akibat biaya operasi moneter yang tinggi.Pengurangan defisit tersebut disebabkan karena beban bunga dalam penggunaan SBN akan ditanggung oleh pemerintah, berbeda dengan penggunaan SBI dan deposito berjangka yang menjadi beban bank sentral.Selalu defisitSejak 2009, bank sentral selalu mengalami defisit yang sebab utamanya adalah biaya besar dalam operasi moneter dan menjaga kestabilan Rupiah.Pada 2010 lalu bank sentral mengalami defisit sebesar Rp21,16 triliun . Hingga September 2011 tercatat defisit BI sekitar Rp28 triliun.Ketika dikonfirmasi, Darsono mengelak pendapat yang menyatakan bahwa penggunaan SBN dalam menyerap ekses likuiditas dilakukan agar bank sentral lebih hemat dalam melaksanakan operasi moneter.“Ini bukan masalah lebih hemat atau tidak, tetapi itu sudah perintah undang-undang,” jelasnya.Gubernur BI Darmin Nasution sebelumnya mengatakan bank sentral tidak bisa menghimpun SBN secara besar dalam waktu cepat.Selain membutuhkan biaya yang besar, bank sentral juga tidak bisa menyerap SBN langsung dari pemerintah, melainkan harus lewat pasar.“Tidak bisa sekaligus, karena kami tidak punya dana untuk itu. Kami membeli itu sesuai peraturan perundang-undangan, yakni di pasar," tegasnya.Untuk masalah ini, bank sentral sebelumnya mewacanakan untuk menggunakan Surat Utang Pemerintah (SUP) eks Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebagai jaminan reverse repo.Menurut catatan, SUP yang dimiliki oleh bank sentral saat ini sekitar Rp250 triliun dengan tiga seri yaitu SU-002, SU-004 dan SU-007 dan berstatus tidak dapat diperdagangkan (non tradable).Agar dapat menjadi jaminan reverse repo, SUP tersebut harus dikonversi menjadi dapat diperdagangkan (tradable).Ketika menjadi tradable maka suku bunga SUP diperkirakan akan mengikuti harga pasar dibandingkan dengan saat ini yang sekitar 0,1%-0,3%.Bila konversi tersebut jadi dilaksanakan maka bank sentral tidak perlu lagi menghimpun SBN yang ada di pasar.Anny Ratnawati, Wakil Menteri Keuangan, mengatakan konversi tersebut masih dibahas hingga saat ini. Kementerian keuangan masih terus menghitung dampak dari konversi tersebut, termasuk beban bunga yang akan ditanggung oleh pemerintah. (20/Bsi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : News Editor
Sumber : Donald Banjarnahor

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper