Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Opsi pembentukan holding Bank Pembangunan Daerah (BPD) menjadi pilihan yang paling realistis. Pasalnya, opsi merger BPD masih menemui jalan buntu karena latar belakang kepemilikan saham BPD yang mayoritas dimiliki oleh tiap-tiap pemerintah daerah.

Wacana holding sendiri pertama kali diungkapkan oleh Ketua Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda) Eko Budiwiyono. Menurutnya, sejumlah BPD tengah menjajaki kemungkinan konsolidasi dengan melalui skema holding.

Eko menuturkan penyatuan BPD akan menciptakan kekuatan besar perbankan di Tanah Air, salah satunya dari sisi aset. Data Asbanda mencatat, total aset 26 BPD pada akhir 2013 ialah sebesar Rp390,17 triliun atau hanya kalah dari Bank Mandiri, BRI, dan BCA yang pada akhir tahun lalu masing-masing tercatat sebesar Rp Rp647,15 triliun, Rp606,37 triliun, dan Rp488,51 triliun.

Eko mengatakan BPD terus meningkatkan kerja sama dalam hal penyaluran kredit melalui pelbagai kredit sindikasi. Kerja sama itu menjadi modal menjadi BPD yang solid sekaligus membantu BPD yang memiliki modal terbatas.

Direktur Utama PT BPD Jawa Timur (Bank Jatim) Hadi Sukrianto berpendapat dari sisi teori konsolidasi BPD sangat sulit karena latar belakang kepemilikan saham yang berbeda-beda.

Namun, dari sisi holding untuk strategi bisnis hal itu mungkin mengingat BPD memiliki program BPD Regional Champion (BRC) yang memberikan standarisasi kinerja dan kualitas BPD.

Strategic holding itu bisa, teknologi juga bisa, produk-produk juga bisa. Yang pasti itu menjadi lebih efisien,” ujarnya di Jakarta, Kamis (16/10).

Wacana holding rupanya bukan isapan jempol semata. Ketua BRC Asbanda Erzon mengatakan BPD sudah membentuk strategic holdings yang diwujudkan melalui pengembangan infrastruktur teknologi secara bersama-sama dan upaya bersama meningkatkan sumber daya manusia (SDM).

“Kami lagi mempersiapkan BPD net berupa infrastruktur teknologi di mana ATM BPD nantinya terkoneksi dengan seluruh jaringan ATM Bersama. Bukan hanya itu EDC juga akan terintegrasi, alat pembayaran menggunakan kartu [APMK] juga akan teritegrasi,” jelasnya.

Dia mengklaim semua infrastruktur pendukung berupa aplikasi sudah siap digunakan. BPD secara patungan bersama pihak ketiga selaku investor telah berinvestasi untuk pengambangan infrastruktur teknologi dengan menyewa data center di Gedung Cyber III, Jakarta.

Menurutnya, dengan adanya infrastruktur teknologi pendukung itu BPD bisa memberikan layanan yang seragam dengan kualitas yang baik. Produk-produk baru juga dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan BPD.

Untuk pengembangan SDM, Erzon mengatakan BPD sudah memiliki Asbanda Academy yakni suatu lembaga pembelajaran untuk meningkatkan personil BPD. “Ini juga untuk menyongsong MEA karena BPD harus menjadi tuan di daerahnya. Sinergi bisnis berupa produk dan layanan yang disiapkan itu mengarah ke MEA,” tegasnya.

Menurutnya, BPD secara bisnis dapat menjadi sangat kuat, jika berkaca dari keberhasilan beberapa negara menangani BPD dengan baik seperti di Jerman, Jepang, dan China. Untuk itu, BPD perlu terus berbenah untuk meningkatkan layanan bisnis.

“Regulator sudah membantu dengan mendorong supaya BPD menjadi kuat melalui BRC karena secara faktual di negara maju hal itu mungkin. BPD bukan sesuatu yang kecil jika diurus dengan baik,” tegasnya.

Dia menjelaskan saat ini Asbanda bersama OJK tengah mempersiapkan kerangka BRC jilid II yang merupakan penyempurnaan dari program BRC jilid satu yang bakal selesai pada akhir tahun ini.

Seperti diketahui beberapa indikator BRC yang dicanangkan sejak 2010 dan berakhir pada tahun ini nampak meleset. Belum semua BPD mampu merealisasikan indikator yang ditetapkan dalam BRC.

Adapun, beberapa indikator BRC antara kewajiban BPD seperti memiliki modal inti rata-rata Rp1 triliun, memiliki rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) minimal 15%, ratio return on asset (ROA) minimal 2,5%, BOPO maksimal 75%, dan net interest margin (NIM) maksimal 5,5%.

Selain itu, BPD juga diarahkan untuk memilki pertumbuhan kredit minumum 20% per tahun dengan portofolio kredit produktif minimal 40%, loan to deposit ratio (LDR) pada kisaran 78%-100%, komposisi DPK di luar dana pemda minimum 70%, dan beberapa ketentuan lainnya.

Berkaca dari data SPI OJK per Juli, kecuali BOPO dan NIM yang belum sesuai, rata-rata beberapa indikator lain dari 26 BPD tercatat sudah sesuai harapan. Rata-rata BOPO tercatat pada level 78,48%, sementara NIM berada pada level 6,60%.

Kinerja rata-rata rasio perbankan lainnya nampak sudah memadai seperti CAR pada level 17,64%, ROA sebesar 2,59%, rasio BOPO 78,48%, dan LDR pada level 86,79%.

Erzon mengatakan BRC perlu dipahami sebagai suatu proses. Menurutnya angka bukan segalanya, karena melalui program BRC hampir semua BPD bertumbuh baik.

“Proses dan upaya mewujudkan seperti modal minimal Rp1 triliun, atau kredit produktif minimal 20% atau BOPO maksimal 75% itu yang lebih penting. Kalau tidak ada BRC mungkin BPD tidak berkembang seperti saat ini,” imbuhnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Thomas Mola
Editor : Fahmi Achmad

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper