Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

SHORTFALL PAJAK: Pemerintah Diimbau Tidak Pangkas Belanja

Pemerintah diminta untuk tidak menerapkan cara lama lewat pemangkasan anggaran belanja pemerintah pusat ketika shortfall selisih antara realisasi dan target pajak melebihi prognosis pemerintah Rp120 triliun.
Perbaikan jalan/Antara
Perbaikan jalan/Antara
Bisnis.com, JAKARTA Pemerintah diminta untuk tidak menerapkan cara lama lewat pemangkasan anggaran belanja pemerintah pusat ketika shortfall selisih antara realisasi dan target pajak melebihi prognosis pemerintah Rp120 triliun.
 
Kendati tidak menyebutkan angka pasti, Deputy Country Director Asian Development Bank (ADB) Indonesia Edimon Ginting mengatakan besaran shortfall penerimaan pajak tahun ini diproyeksi akan lebih tinggi dari prognosis pemerintah. Imbasnya, opsi pelebaran defisit APBNP 2015 harus diambil ketimbang memangkas belanja seperti tahun lalu sehingga mengorbankan stimulus laju pertumbuhan ekonomi nasional.
 
Opsi yang lebih sedikit cost-nya ya melebarkan defisit anggaran lebih dari toleransi defisit yang diungkapkan pemerintah 2,23% saat perkiraan shortfall pajak Rp120 triliun, ujarnya dalam konferensi pers Asian Development Outlook 2015 Update, Selasa (22/9/2015).
 
Menurutnya, pasca melambat di level 4,7% hingga semester I, laju pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) nasional tahun ini hanya akan bertumpu pada investasi dan belanja pemerintah. Ruang dari sisi otoritas fiskal ini masih luas karena secara Undang-Undang, batas defisit anggaran belanja pemerintah pusat masih bisa diperlebar hingg 2,5% terhadap PDB.
 
Apalagi, di tengah turbulensi pasar keuangan berimbas pada terus tertekannya nilai tukar rupiah, ruang gerak Bank Indonesia (BI) untuk mengurangi dosis kebijakan moneter juga tidak ada saat ini. Ruang bagi otoritas moneter itu baru terbuka tahun pertengahan tahun depan ketika tingkat inflasi dan defisit transaksi berjalan menunjukkan perbaikan.
 
Edimon berpendapat melebarnya besaran shortfall pajak sejalan dengan perlambatan ekonomi dan rendahnya penerimaan dari komoditas minyak dan perdagangan internasional. Bahkan, beberapa penerimaan perpajakan yang selama ini berasal dari aktivitas impor pun anjlok.
 
Dalam catatan Bisnis.com, sebelumnya World Bank dan IMF kompak memproyeksikan shortfall penerimaan perpajakan masing-masing Rp296 triliun dan Rp235 triliun.Dradjad Wibowo & Partners (DWP) memproyeksikan shortfall Rp270triliun - Rp360 triliun. Sementara, Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) memproyeksi sekitar Rp250 triliun.
 
Namun, hingga saat ini, pemerintah tetap kukuh selisih realisasi dan target pajak tidak lebih dari Rp120 triliun dengan toleransi defisit 2,23% dari PDB. Dari sisi pajak, otoritas pajak meyakini akan ada akselerasi penerimaan lewat program reinventing policy.
 
Langkah pelebaran defisit itu, lanjut dia, tidak akan mengganggu kepercayaan pasar karena pasar. Upaya pemerintah tersebut, sambungnya, akan dilihat sebagai upaya perbaikan ekonomi. Dalam update outlook, laju pertumbuhan PDB Indonesia 2015 diproyeksi akan berada di level 4,9% turun dari prediksi awal tahun lalu 5,5%.
 
Capaian pertumbuhan PDB diproyeksi akan meningkat dari 4,7% di semester pertama menjadi 5,2% di semester kedua tahun ini yang ditopang oleh besarnya peningkatan belanja infrastruktur dan sedikit tambahan dari sisi ekspor bersih.
 
Steven R. Tabor, Country Director ADB Indonesia mengungkapkan proyeksi perlambatan ekonomi Indonesia sejalan koreksi outlook PDB regional Asia dari 6% menjadi 5,8%. Khusus untuk negara kawasan Asia Tenggara, pertumbuhan ekonomi diperkirakan berada di lebel 4,4% terkoreksi dari proyeksi sebelumnya 4,9%.
 
Kendati terkoreksi, pertumbuhan ekonomi regional Asia masih sekitar 2/3 atau sekitar lebih dari 60% dari persentase pertumbuhan global. Adapun, ada tiga tantangan besar yang dihadapi perekonomian Asia termasuk Indonesia yakni arus modal keluar, depresiasi nilai tukar, dan penurunan harga komoditas.
 
Emerging market risk naik. Sejak pertengahan 2014 masukan modal ke Asia sudah lebih rendah dari pada dulu. Modal keluar dibanding masuk ke Asia sudah lebih dari US$150 miliar US$160 miliar, jelasnya.
 
Untuk harga komoditas, lanjutnya, diperkirakan tidak akan langsung naik dalam jangka dekat, termasuk tahun depan. Hingga saat ini, harga komoditas diproyeksi akan cenderung stabil atau flat di level rendah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper