Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Perry Warjiyo, Calon Tunggal Gubernur BI Jalani Fit and Proper Test

Calon tunggal Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menjalani fit and proper test di Komisi XI DPR. Dalam kesempatan tersebut, Perry memaparkan visi misinya jika terpilih menjadi orang nomor 1 di bank sentral Indonesia ini.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo. /Bisnis.com
Deputi Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo. /Bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA - Calon tunggal Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menjalani fit and proper test di Komisi XI DPR. Dalam kesempatan tersebut, Perry memaparkan visi misinya jika terpilih menjadi orang nomor 1 di bank sentral Indonesia ini.

Salah saru visinya yang ditekankan adalah, BI ke depan akan lebih pro terhadap stabilitas dan pertumbuhan ekonomi misalnya dengan mendukung perbaikan struktur ekonomi dengan memanfaatkan kapasitas nasional dan ekonomi digital.

"Kunci dari itu adalah BI harus inovatif dalam kebijakan moneter maupun makroprudensial," papar Perry di Komisi XI DPR, Rabu (28/3/2018).

Perry mengakui bahwa tantangan saat ini adalah menjaga inflasi dan nilai tukar rupiah. Selain itu kebijakan moneter yang diterapkan BI juga belum bisa menurunkan suku bunga kredit di Indonesia, meskipun BI telah menurunkan suku bunga acuannya.

"Ke depan suku bunga kredit perbankan bisa menjadi single digit," imbuhnya.

Isu stabilitas nilai tukar rupiah menjadi tugas berat bagi calon Gubernur Bank Indonesia dan Dewan Gubernur BI yang terpilih. Para pimpinan BI harus bisa menstabilkan nilai tukar rupiah di tengah gejolak global serta stabilitas perekonomian domestik yang tak menentu.

Dalam rapat dengar pendapat umum di Komisi XI DPR beberapa waktu lalu, Rektor Universitas Atmajaya A. Prasetyantoko mengatakan rupiah terdepresiasi secara signifikan hingga menyentuh level Rp13.800, sehingga dalam beberapa waktu lalu, tekanan bagi terhadap stabilitas keuangan domestik memang cukup signifikan.

Menurutnya ada dua hal yang menyebabkan pelemahan nilai tukar rupiah, keduanya tak lain karena kebijakan moneter dan dagang yang diterapkan oleh Amerika Serikat. Pertama adalah kebijakan dari bank sentral Amerika yang memutuskan untuk menaikan suku bunga sebesar 0,25%. Kebijakan ini menurutnya memang membuat pasar bergejolak yang kemudian memicu hampir semua bank sentral di dunia untuk ikut menaikan suku bunga untuk mengantisipasi efek yang ditimbulkan dari kebijakan bank sentral Amerika.

Kedua menurutnya yang juga memiliki implikasi terhadap stabilitas keuangan domestik adalah risiko perang dagang antara China dengan Amerika Serikat. Risiko perang dagang ini muncul akibat kebijakan tarif baja negeri paman sam tersebut. China sendiri, seperti diketahui juga tengah menyiapkan serangan balasan terhadap Amerika Serikat, tercatat 125 item barang akan dikenakan negeri panda itu untuk merespons kebijakan tarif baja Presiden Donald Trump.

Saling balas antara kedua negara ini bisa memunculkan proteksionisme global. Jika hal ini demikian, Indonesia akan sangat dirugikan, pasalnya hampir sebagian perdagangan Indonesia sangat tergantung dengan China yang notabene menjadi tujuan ekspor Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Edi Suwiknyo

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper