Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pengamat: Ekonomi Masih Kuat, Tidak Perlu BSF

Sejumlah ekonom menilai fundamental ekonomi masih cukup baik, dan belum memerlukan BSF meskipun beberapa indikator menunjukkan gejolak yang cukup signifikan.
Ilustrasi mata uang rupiah dan dolar AS./Bisnis.com-Endang Muchtar
Ilustrasi mata uang rupiah dan dolar AS./Bisnis.com-Endang Muchtar

Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah ekonom menilai fundamental ekonomi masih cukup baik, dan belum perlu mengaktifkan instrumen bond stabilization framework (BSF) meskipun beberapa indikator menunjukkan gejolak yang cukup signifikan.

Sebagai informasi, gejolak nilai tukar rupiah masih mengkhawatirkan, bahkan sempat melebihi level Rp13.900 per dolar AS. Sementara itu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga telah merosot hingga menembus 6.000.

Adapun, salah satu langkah yang paling ekstrem untuk menghadapi situasi genting dalam stabilitas keuangan adalah BSF. BSF merupakan kerangka kerja jangka pendek dan menengah untuk mengantisipasi dampak krisis pasar Surat Berharga Negara (SBN) domestik.

Langkah tersebut bertujuan mengembalikan stabilisasi sistem keuangan, dengan kata lain mengembalikan nilai tukar rupiah ke nilai fundamentalnya.

"Meskipun cukup memprihatinkan, saya pikir masih belum perlu mengambil langkah SBF," kata ekonom Asian Development Bank (ADB) Institute Eric Sugandi kepada Bisnis pada Kamis (26/4/2018).

Menurutnya, BI dan pemerintah masih bisa melakukan intervensi rutin di pasar SBN dengan membeli ketika ada aksi jual, karena kenaikan yield SBN untuk semua tenor masih dalam level wajar.

Adapun untuk menerapkan BSF, lanjutnya, diperlukan keadaan yang benar-benar genting dan keputusannya ada dalam wewenang Komite Kebijakan Sistem Keuangan (KSSK).

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira juga berpendapat BSF belum perlu diambil. Hanya saja, dia mendesak BI untuk menaikkan setidaknya 25 bps 7days repo rate guna untuk meredam kenaikan return aset domestik sehingga investor asing tidak berkelanjutan melakukan aksi jual.

Selain itu, menurut dia, keputusan BI untuk menahan suku bunga terbukti tidak terlalu efektif. "Teori bahwa bunga rendah bisa menstimulus pertumbuhan ekonomi juga tidak terjadi, dan BI turunkan sampai 4,25% pun growth cuma 5%," tambah Bhima.

Direktur Riset Center of Reform on Economy (CORE) Pieter Abdullah Redjalam menjelaskan implementasi BSF memerlukan persiapan yang benar-benar matang termasuk dalam hal komunikasinya agar tidak menimbulkan syok di pasar.

Dalam posisi sekarang ini yang harus dilakukan adalah mencegah hilangnya kepercayaan pasar terhadap rupiah. "Caranya hanya dengan menyediakan dolar di pasar," ucap Pieter.

Sebagai informasi, dalam jumpa pers pada Kamis (26/4/2018), Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo menyebutkan gejolak yang terjadi akhir-akhir ini hanya dikarenakan banyaknya pembayaran utang yang jatuh tempo, pembayaran impor, dan pembayaran dividen.

BI menilai fundamental ekonomi domestik masih relatif terjaga, tergambar dari inflasi dan defisit transaksi berjalan yang masih dalam range target.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : M. Richard
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper