Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kinerja APBN Membaik, Ini Catatan Untuk Pemerintah

Kinerja APBN 2018 hingga Mei 2018 mendapatkan banyak apresiasi. Namun, terdapat berbagai catatan yang perlu diperhatikan pemerintah.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengikuti rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (24/10/2017)./ANTARA-Wahyu Putro A
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengikuti rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (24/10/2017)./ANTARA-Wahyu Putro A

Bisnis.com, JAKARTA -- Kinerja APBN 2018 hingga Mei 2018 mendapatkan banyak apresiasi. Namun, terdapat berbagai catatan yang perlu diperhatikan pemerintah.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam mengungkapkan secara umum kinerja pemerintah dalam mengelola APBN terlihat baik.

"Indikator defisit yang terjaga di kisaran 2% jauh di bawah batas 3% PDB serta perbaikan di primary balance yang bahkan memperoleh surplus, menjadi alasan mengapa kinerjanya baik," jelasnya kepada Bisnis, Senin (25/6/2018).

Perbaikan defisit APBN dapat dicapai dengan dukungan penerimaan negara yang mencapai Rp685,06 trilun atau 36,16%.

Meskipun begitu, Pieter memberikan beberapa catatan. Pertama, dari sisi pengeluaran terjadi kenaikan harga minyak mentah, sedangkan pemerintah berkomitmen tidak menaikkan harga BBM serta kenaikan suku bunga yang akan meningkatkan pengeluaran secara signifikan. 

"Artinya, ada potensi pada akhir tahun nanti ada tekanan defisit yang lebih besar bahkan ketika pemerintah mampu mencapai target penerimaan," paparnya.

Kedua, dari sisi penerimaan negara khususnya pajak. Perlu ada penjelasan besarnya penerimaan pajak sampai Mei 2018 tersebut asli merupakan pembayaran pajak periode terkait atau pajak terutang sebelumnya.

Pembayaran pajak juga bukan pembayaran yang dibayar di muka dalam rangka window dressing. Sebab, kalau lebih banyak window dressing artinya potensi pada semester kedua menjadi lebih kecil. 

"Ujungnya, potensi shortfall pajak tetap besar. Demikian juga dengan kembali membesarnya defisit," sebut Pieter.

Ketiga, seluruh pengeluaran sudah dibayarkan atau terutang. Menurutnya, sudah menjadi rahasia umum pengeluaran seperti subsidi BBM menumpuk menjadi utang pemerintah kepada PT Pertamina (Persero).

"Kalau banyak yang terutang, mengecilnya angka defisit menjadi tidak murni," ungkap Pieter.

Terakhir, upaya pemerintah menggenjot penerimaan pajak akan berdampak negatif terhadap target pemerintah pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4%.

"Catatan-catatan tadi perlu menjadi perhatian," imbuhnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper