Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

UTANG KORPORASI: Parlemen Sorot Utang Luar Negeri BUMN

Total utang luar negeri Badan Usaha Milik Negara, yang terus merangkak naik pada rentang 20142017, menjadi sorotan parlemen meski pemerintah mengklaim masih berada dalam level normal sejalan dengan pertumbuhan aset.
Gedung DPR/Antara
Gedung DPR/Antara

Bisnis.com, JAKARTA— Total utang luar negeri Badan Usaha Milik Negara, yang terus merangkak naik pada rentang 2014—2017, menjadi sorotan parlemen meski pemerintah mengklaim masih berada dalam level normal sejalan dengan pertumbuhan aset.

Dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Selasa (24/7), Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyampaikan data total posisi utang luar negeri perseroan pelat merah periode 2014—2017. Tercatat, terjadi kenaikan dari Rp382 triliun pada 2014 menjadi Rp453 triliun pada 2017.

Kementerian BUMN mencatat total liabilitas yang dimiliki perseroan pelat merah mencapai Rp4.825 triliun pada 2017. Adapun, ekuitas berada di level Rp2.387 triliun untuk periode keuangan yang berakhir 31 Desember 2017.

Wakil Ketua Komisi VI DPR Azam Azman Natawijana mengatakan akan melakukan pembicaraan komprehensif terkait utang luar negeri BUMN yang terus mengalami kenaikan. Menurutnya, Komisi VI akan mengambil satu sikap setelah memanggil BUMN yang memiliki utang luar negeri.

Pemanggilan tersebut, paparnya, dilakukan untuk mengetahui secara detail mulai dari sumber hingga bentuk utang yang dimiliki. Hal tersebut untuk memastikan ketersediaan sumber pendanaan untuk memenuhi kewajiban.

“BUMN kami undang setelah 17 Agustus 2018 untuk mengetahui secara detail. Kalau dia [BUMN] dapat membayar tidak apa-apa tetapi kalau tidak mampu bagaimana ceritanya,” ujarnya di Jakarta, Selasa (24/7).

Sementara itu, Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Aloysius Kiik Ro menjelaskan bahwa komposisi utang luar negeri BUMN sebesar 10% dari total utang luar negeri Indonesia. Menurutnya, pertumbuhan yang terjadi selama rentang 2014—2017 masih dalam batas wajar atau sejalan dengan kenaikan total aset yang dimiliki.

“Rasio utang luar negeri BUMN dibandingkan dengan swasta atau pemerintah masih kecil. Kami masih memiliki ruang untuk menarik pinjaman,” jelasnya.

Aloysius mengungkapkan untuk BUMN yang menarik pinjaman dari luar negeri menerapkan hedging 25% dari total utang. Strategi itu biasanya ditempuh bagi perseroan yang meminjam dalam mata uang Dolar namun memiliki pendapatan Rupiah.

Akan tetapi, sambungnya, beberapa BUMN telah menerapkan hedging secara natural. Pasalnya, perseroan tersebut memang memiliki penghasilan dalam dolar.

Terkait rencana penerbitan obligasi global, dia menyebut terdapat kecenderungan menunggu stabilisasi nilai tukar Rupiah. Beberapa perseroan pelat merah yang masih memiliki minat untuk mengemisi instrumen tersebut antara lain PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dan PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk.

“Kalau sudah stabil kurs maka kita mungkin akan keluar lagi. Tetapi semua masih tunggu kesempatan,” paparnya.

Sepanjang periode berjalan 2018, tiga korporasi pelat merah telah menghimpun dana segar melalui penerbitan obligasi global. Total emisi jenis surat utang tersebut telah mencapai US$2,90 miliar.

Terakhir, Perusahaan Listrik Negara mengemisi obligasi global dengan jumlah pokok US$2 miliar di Singapore Stock Exchange (SGX). Korporasi setrum milik negara itu mengemisi obligasi global dalam dua tenor yakni 10 tahun dengan kupon 5,45% dan 30 tahun dengan kupon 6,15%.

Di sisi lain, Managing Director Lembaga Management Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LM FE UI) Toto Pranoto menyarankan agar BUMN belajar dari pengalaman masa lalu. Artinya, hedging mesti diterapkan setiap menarik pinjaman dalam bentuk mata uang asing.

“Atau membuat hedging alami dengan pinjam Dolar tetapi jual produk dengan Dolar,” tuturnya.

Toto menggarisbawahi kenaikan utang BUMN juga harus dibarengi kenaikan aset secara proporsional. Selain itu, setiap investasi yang dilakukan harus dipastikan dapat tepat sasaran.

“Pengalaman masal lalu, return on asset BUMN itu kecil mungkin sekitar 2% karena utilisasi aset rendah. Hal ini terjadi karena missmanagement dan salah perencanaan investasi,” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Riendy Astria

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper