Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Tarif LNG China Picu Perang Dagang Makin Runcing

Tarif yang diusulkan China terhadap ekspor gas alam cair (LNG) dan minyak mentah AS membuka sebuah pemicu baru yang memperuncing perang dagang antara kedua negara.
Ilustrasi./.Bloomberg
Ilustrasi./.Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA - Tarif yang diusulkan China terhadap ekspor gas alam cair (LNG) dan minyak mentah AS membuka sebuah pemicu baru yang memperuncing perang dagang antara kedua negara.

Padahal pada saat yang sama Gedung Putih sedang meningkatkan kekuatan ekspor energi AS.

Tiongkok memasukkan LNG untuk pertama kalinya dalam daftar tarif yang diusulkan pada Jumat (3/8). Hari yang sama pembeli minyak mentah terbesar AS, Sinopec, menghentikan impor minyak mentah AS karena perselisihan tersebut, kata tiga sumber yang akrab dengan situasi tersebut seperti yang dikutip dari Reuters.

Pada Jumat, Tiongkok mengumumkan tarif pembalasan atas barang-barang AS senilai 60 miliar dolar AS, dan memperingatkan langkah-langkah lebih lanjut.

Hal itu menandakan bahwa pihak Tiongkok tidak akan mundur dalam perang dagang yang berlarut-larut dengan Washington.

Itu bisa menimbulkan situasi tidak menguntungkan atas ambisi dominasi energi Presiden AS Donald Trump.

Pemerintah AS telah berulang kali mengatakan ingin memperluas pasokan bahan bakar fosil ke sekutu globalnya, sementara Washington kembali menggulirkan peraturan domestik untuk mendorong lebih banyak produksi minyak dan gas.

"Penjajaran di sini jelas: sulit untuk menjadi kekuatan utama energi ketika salah satu konsumen energi terbesar di dunia meningkatkan hambatan untuk mengkonsumsi energi itu. Itu membuatnya sangat sulit," kata Michael Cohen, kepala riset pasar energi di Barclays.

AS adalah pengekspor bahan bakar seperti bensin dan solar, terbesar dunia, dan siap untuk menjadi salah satu eksportir LNG terbesar pada 2019. Ekspor LNG AS bernilai 3,3 miliar dolar AS pada 2017. Tiongkok adalah pengimpor minyak mentah terbesar dunia.

Tiongkok telah membatasi impor LNG AS selama dua bulan terakhir, bahkan sebelum masuk secara resmi dalam daftar tarif potensial. Tiongkok juga menjadi pembeli terbesar minyak mentah AS di luar Kanada, tetapi Kpler, yang melacak pengiriman minyak di seluruh dunia, menunjukkan kargo minyak mentah ke Tiongkok juga telah turun dalam beberapa bulan terakhir.

Itu terjadi pada saat AS memiliki beberapa fasilitas ekspor LNG skala besar yang sedang dibangun, dan setelah perjalanan Trump pada akhir 2017 ke Tiongkok yang termasuk para eksekutif dari perusahaan-perusahaan LNG AS.

Tiongkok menjadi importir LNG terbesar kedua dunia pada 2017, karena membeli lebih banyak gas dalam upaya negara itu menghindari penggunaan batu bara untuk mengurangi polusi.

"Ini tidak akan mempengaruhi perdagangan tetapi hanya akan membuat gas lebih mahal bagi konsumen Tiongkok," kata Charif Souki, pemimpin Tellurian Inc, salah satu dari beberapa perusahaan yang ingin membangun terminal ekspor LNG baru.

Tiongkok, yang membeli hampir 14 persen dari semua LNG AS yang dikirim antara Februari 2016 hingga Mei 2018, telah mengambil pengiriman day hanya dari satu kapal yang meninggalkan AS pada Juni dan tidak ada sejauh ini di bulan Juli, dibandingkan  lima bulan pertama tahun ini.

"Industri gas AS akan jauh lebih terpukul oleh ini karena Tiongkok hanya mengimpor volume kecil, sedangkan pemasok AS melihat Tiongkok sebagai pasar masa depan yang besar," kata Lin Boqiang, profesor studi energi di Universitas Xiamen di Tiongkok.

Sementara itu, menurut Kpler, ekspor minyak mentah ke Tiongkok turun menjadi sekitar 226.000 barel per hari (bph) pada Juli, setelah mencapai rekor 445.000 barel per hari pada Maret. Sinopec, melaluinit perdagangannya, Unipec, adalah pembeli terbesar minyak mentah AS.

Tiongkok kemungkinan akan menaikkan pembelian dari Arab Saudi, Rusia, Uni Emirat Arab dan Irak jika tarif memperlambat arus AS, kata Neil Atkinson, kepala divisi industri dan pasar minyak di Badan Energi Internasional (IEA).

Akan ada "orang lain yang akan menawarkan barel ke Tiongkok, sehingga bisa menemukan yang mampu menggantikan volume yang hilang dari AS," kata Atkinson.

Dengan permintaan LNG yang diperkirakan akan meroket selama 12 hingga 18 bulan ke depan, masih ada sekitar dua lusin perusahaan yang berusaha membangun terminal ekspor LNG baru di AS dan tarif dapat membatasi kemampuan mereka untuk mengamankan pembeli yang cukup untuk membiayai proyek-proyek yang diusulkan.

"Cheniere terus melihat Tiongkok sebagai pasar pertumbuhan penting dan LNG sebagai sebuah `win-win` antara AS dan Tiongkok," kata Eben Burnham-Snyder, juru bicara di Cheniere Energy Inc, yang memiliki salah satu dari dua terminal ekspor LNG, yang saat ini beroperasi di Amerika Serikat. Dia menambahkan mereka tidak melihat tarif sebagai produktif.

Satu proyek yang sedang dikembangkan adalah di Alaska, yang akan membawa gas alam melalui pipa sepanjang 800 mil (1.287 km) melintasi negara bagian ke terminal yang akan mengubahnya menjadi LNG untuk dibawa ke Tiongkok.

Proyek senilai US$43 miliar masih dalam pembangunan, dan Alaska Gasline Development Corp mengatakan pada Jumat (3/8) bahwa pihaknya percaya "ketegangan perdagangan saat ini antara AS dan Tiongkok akan diselesaikan dengan baik sebelum ekspor LNG Alaska ke Tiongkok."

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Newswire
Editor : Fajar Sidik
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper