Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bersiap, Ekonomi Indonesia Hadapi Koreksi Pada 2019

Pertumbuhan akan sedikit terkontraksi pada tahun 2019 sebesar 5,1%-5,2%. Motor pertumbuhan masih akan didorong konsumsi rumah tangga.
Sejumlah pengamat ekonomi mengatakan perlambatan ekonomi Indonesia yakni pada kuartal I/2015 sebesar 4,7% atau melambat dari pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV/2014 sebesar 5,1% dinilai sangat mengkhawatirkan sehingga pemerintah harus segera bertindak untuk memulihkan perekonomian misalnya upaya menekan inflasi dan menciptakan lapangan pekerjaan./Antara
Sejumlah pengamat ekonomi mengatakan perlambatan ekonomi Indonesia yakni pada kuartal I/2015 sebesar 4,7% atau melambat dari pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV/2014 sebesar 5,1% dinilai sangat mengkhawatirkan sehingga pemerintah harus segera bertindak untuk memulihkan perekonomian misalnya upaya menekan inflasi dan menciptakan lapangan pekerjaan./Antara

Bisnis.com, JAKARTA — PT Danareksa (Persero) memprediksi ekonomi Indonesia pada akhir tahun ini akan tumbuh antara 5,2%-5,3%.

Namun, pertumbuhan tersebut akan sedikit terkontraksi pada tahun 2019 sebesar 5,1%-5,2%, sebelum kemudian kembali naik antara 5,3%-5,4% pada 2020.

Adapun, motor pertumbuhan ekonomi masih akan didorong konsumsi rumah tangga, peningkatan investasi, dan ekspor.

Head of Economic Research Danareksa Research Institute Damhuri Nasution mengatakan angka pertumbuhan tersebut masih lebih baik dari pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2017 di level 5,07%. 

Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi pada semester I/2018 sebesar 5,17% ditopang peningkatan investasi dan ekspor. 

“Beberapa pertimbangan pertumbuhan ekonomi tahun ini dan 2019 di antaranya ekspor dan investasi yang diproyeksi masih tumbuh bagus, sejalan dengan ekspansi ekonomi dunia. Konsumsi rumah tangga pun diproyeksi tumbuh relatif stabil atau sedikit membaik,” kata Damhuri, dalam Economic & Market Outlook, dengan tema Perkembangan dan Prospek Makro Ekonomi serta Pasar Modal 2018 – 2019, Rabu (19/9).

Damhuri mengatakan, investasi diperkirakan tumbuh baik sejalan dengan pembangunan infrastruktur, peningkatan rating, dan perbaikan iklim investasi.  Adapun konsumsi pemerintah juga diproyeksikan relatif stabil seiring dengan upaya menyehatkan APBN.

Terkait dengan rupiah, Damhuri menegaskan bahwa nilai tukar rupiah saat ini masih mungkin bergejolak akibat normalisasi kebijakan moneter dan ekspansi fiskal Amerika Serikat (AS), kekhawatiran atas perang dagang AS-China, dan kenaikan harga minyak dunia karena geopolitik, yang dapat memperlebar Current Account Deficit (CAD). 

Sementara itu, suku bunga acuan Bank Indonesia, BI-7-Day Repo Rate dinilai berpotensi kembali dinaikkan menjadi 5,75%-6% pada tahun ini dan 5,5%–6% pada tahun depan.

“Nilai tukar rupiah masih mengalami tekanan di bawah nilai fundamentalnya karena faktor eksternal, tapi tekanan tersebut akan mulai mereda pada tahun 2019 dan 2020,” tegas Damhuri.

Menurut dia, kebijakan moneter global masih cenderung ketat pada tahun depan dan mulai longgar pada tahun 2020, karena diperkirakan tekanan inflasi mereda dan pertumbuhan ekonomi mengalami moderasi. 

Dengan kenaikan suku bunga acuan AS, Fed Funds Rate (FFR) dua kali tahun 2019 yang berarti tidak seagresif tahun 2018, maka volatilitas pasar keuangan akan sedikit mereda.

Damhuri juga menilai upaya yang sudah dilakukan BI merupakan langkah tepat dalam meredam depresiasi rupiah, di antaranya menaikkan BI 7-Day (sudah 125 basis poin) yang diikuti kenaikan imbal hasil Surat Utang Negara (SUN), sehingga investasi di SUN mulai menarik kembali. 

Selain itu, BI juga melakukan dual intervention atau intervensi ganda demi menjaga volatilitas rupiah dan likuiditas dan sekaligus stabilisasi pasar SUN.  "Sehingga Danareksa perkirakan tekanan terhadap Rupiah dapat mereda, untuk akhir tahun 2018."

Dia memperkirakan rupiah per US Dollar di kisaran Rp14.400 dan sekitar Rp14.300 pada 2019. Hanya saja, katanya, tekanan yang perlu diantisipasi ialah risiko eksternal perang dagang AS-China, perang mata uang, geopolitik yang kian memanas, ekspansi fiskal AS yang pro-siklikal, serta normalisasi kebijakan moneter bank sentral global. 

“Untuk domestik, kepemilikan asing yang masih tinggi pada obligasi Pemerintah tetap menjadi resiko. Kemarau panjang juga berpotensi menyebabkan kenaikan tekanan inflasi pangan. Terakhir Pilpres dan Pileg yang sejuk dan damai tentu menjadi harapan pelaku pasar, baik domestik maupun asing.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Hadijah Alaydrus
Editor : Fajar Sidik
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper