Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

BI Buka Ruang Berlanjutnya Penguatan Rupiah

Bank Indonesia tetap memberikan ruang bagi rupiah untuk menguat lebih lanjut dari level saat ini, Rp14.024 per dolar AS, dengan terus mengefektifkan transaksi Domestic Non Deliverable Forward.
Karyawan menghitung uang rupiah di sebuah money changer di Jakarta, Selasa (4/9/2018)./Reuters-Willy Kurniawan
Karyawan menghitung uang rupiah di sebuah money changer di Jakarta, Selasa (4/9/2018)./Reuters-Willy Kurniawan

Bisnis.com, JAKARTA -- Bank Indonesia tetap memberikan ruang bagi rupiah untuk menguat lebih lanjut dari level saat ini, Rp14.024 per dolar AS, dengan terus mengefektifkan transaksi Domestic Non Deliverable Forward.

Kepala Departmen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Nanang Hendarsah mengungkapkan bank sentral juga turut mengawal penguatan tersebut termasuk dengan membuka lelang Domestic Non Deliverable Forward (DNDF) pada Senin (7/1/2019) pukul 08.30 WIB dan dilanjutkan dengan intervensi bilateral melalui delapan broker secara kuat.

"Meningkatnya aktivitas BI di pasar DNDF, selain untuk memastikan kurs offshore NDF terkendali, juga sebagai dukungan penuh bagi berkembangnya pasar DNDF agar lebih likuid dan efisien," ungkapnya, Senin (7/1).

Sejauh ini, terdapat 13 bank yang aktif di pasar interbank DNDF serta investor asing bertransaksi untuk hedging investasi di saham dan beberapa korporasi, termasuk satu BUMN yang sudah aktif melakukan transaksi DNDF.

Menurut Nanang, selain dalam dolar AS/rupiah, transaksi DNDF nasabah juga sudah ada yang melakukan dalam yen/rupiah dan euro/rupiah.

"Bila transaksi DNDF ini terus berkembang dan banyak digunakan untuk hedging makan akan membantu memuluskan pembelian valas di dalam negeri, sehingga rupiah bisa lebih stabil," tuturnya.

Penguatan rupiah terjadi di tengah optimisme yang mewarnai pasar keuangan global atas prospek hasil negosiasi kesepakatan sengketa dagang AS dan China serta perubahan sikap Chairman FOMC The Fed atas lintasan suku bunga AS ke depan.

Tidak seperti sebelumnya, pascajatuhnya harga saham di AS, kali ini The Fed menyiratkan akan lebih fleksibel dan bakal menunggu perkembangan data ekonomi, serta siap melakukan perubahan dalam kebijakan suku bunga ke depan. Selain itu, bank sentral AS mulai melunak atas rencana proses penarikan likuiditas dari sistem keuangan.

Sebagaimana diketahui, sebagai bagian dari proses normalisasi kebijakan moneter pascakrisis 2008, The Fed sedang dalam proses melepaskan kembali surat-surat berharga yang diterbitkan swasta sejak Desember 2017. Instrumen tersebut dibeli Federal Reserve untuk mengatasi krisis keuangan pada 2008-2009.

Artinya, tengah terjadi penarikan likuiditas dari sistem keuangan. Surat berharga milik swasta yang ada pada neraca The Fed sampai saat ini baru turun ke US$3,86 triliun per Januari 2018, dari US$ 4,2 triliun yang bertahan sejak Januari 2014.

"Bila penarikan likuiditas dari sistem keuangan dilakukan terlalu cepat maka dapat menimbulkan keketatan dolar AS di seluruh dunia," lanjut Nanang.

Meski kondisi ekonomi AS semakin solid, tapi diperkirakan tidak akan tetap kuat menahan pelemahan ekonomi global bila ekonomi Eropa, Jepang, dan China semakin kehilangan tenaga.

Meski data ekonomi AS masih menunjukkan kondisi yang solid, tapi sektor industri memperlihatkan pelemahan. Hal ini terindikasi dari penurunan Purchasing Manager Index (PMI) dan Institute of Supply Management (ISM).

Adapun nonfarm payrolls AS pada Desember 2018 meningkat melebihi ekspektasi pasar ke level 312.000 dari bulan sebelumnya yang direvisi naik ke level 176.000 atau peningkatan ke level tertinggi dalam 10 bulan terakhir.

Sementara itu, berbagai indikator manufaktur di Eropa dan China semakin menunjukkan kemerosotan sebagai indikasi bahwa perang dagang mulai menimbulkan efek negatif.

Sentimen positif dari kesepakatan perang dagang, perubahan sikap The Fed, dan berbagai perkembangan data ekonomi tersebut dinilai mendorong terjadinya pelemahan nilai tukar dolar AS secara lebih luas, serta penguatan indeks saham global dan kenaikan yield US Treasury.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Hadijah Alaydrus
Editor : Annisa Margrit
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper