Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

OPINI: Memastikan Akses Kesehatan untuk Semua

Manfaat ekonomis UHC (Universal Healthcare Coverage) dapat dijelaskan secara logis. Dengan adanya jaminan asuransi kesehatan, masyarakat tidak merasa harus menabung uangnya untuk mengantisipasi sakit di masa depan, sehingga uang tersebut dapat diputar dan menggerakkan ekonomi.

Bisnis.com, JAKARTA – Semua orang tentu ingin sehat. Jika terpaksa sakit, mereka pasti ingin lekas diobati agar sembuh kembali. Tak peduli miskin atau kaya, muda maupun tua, laki-laki atau perempuan, apapun ras, suku, dan agamanya.

Oleh karena itu, penting untuk memastikan tersedianya akses layanan kesehatan bagi semua orang tanpa membedakan latar belakang sosial-ekonominya.

Hari Kesehatan Dunia yang jatuh pada 7 April lalu menjadi momen bersama untuk berefleksi tentang upaya Indonesia mewujudkan akses kesehatan bagi semua. Dengan tema Kesehatan untuk Semua di Mana Saja, peringatan tahun ini ditujukan untuk mendorong pencapaian Cakupan Kesehatan Universal (Universal Healthcare Coverage/UHC) sesuai mandat Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, khususnya Tujuan 3 tentang kesehatan.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan UHC sebagai kondisi di mana semua orang dan masyarakat menerima pelayanan kesehatan yang mereka perlukan tanpa mengalami kesulitan finansial.

Dengan UHC, setiap orang dimungkinkan untuk mengakses layanan yang dapat mengatasi penyebab utama penyakit dan kematian, dan memastikan bahwa kualitas layanannya cukup baik untuk meningkatkan kesehatan orang-orang yang menerimanya.

Aspek penting yang perlu digarisbawahi adalah ‘tanpa mengalami kesulitan finansial.’ Artinya, akses kesehatan yang diperoleh masyarakat harus tidak memberatkan secara finansial, sehingga mereka terhindar dari ancaman menjadi miskin gara-gara berobat. Namun hal ini bukan berarti bahwa seluruh layanan kesehatan harus bebas biaya tanpa peduli berapapun ongkosnya mengingat tidak ada negara yang sanggup menyediakan layanan semacam itu secara berkelanjutan.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan sehat sebagai ‘baik seluruh badan serta bagian-bagiannya (bebas dari sakit)’. Adapun UU No. 36/2009 tentang Kesehatan mendefinisikan arti kesehatan secara lebih luas, yaitu ‘keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis’.

Tampak bahwa undang-undang mengaitkan secara erat kesehatan dengan produktivitas sosial dan ekonomi seseorang. Kesehatan adalah hak setiap orang.

Deklarasi HAM PBB antara lain menyebutkan bahwa ‘setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan’.

Hal ini juga diakui dalam konstitusi Indonesia yang menyebutkan bahwa ‘setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan’ (pasal 28H ayat 1).

Dalam konteks ini, kewajiban menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan berada di pundak negara, sebagaimana ditegaskan dalam UUD 45 pasal 34 ayat 3.

Dalam pelaksanaannya, pemerintah tidak bisa bekerja sendirian. Diperlukan peran serta swasta dalam upaya memberikan akses layanan kesehatan bagi semua. Sebagai gambaran, data Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) 2018 menyebutkan bahwa jumlah rumah sakit swasta adalah 1.016 dengan tingkat pertumbuhan 7% per tahun. Adapun rumah sakit pemerintah berjumlah 1.804 dengan tingkat pertumbuhan 3% per tahun.

Angka-angka tersebut mengindikasikan peran penting sektor swasta dalam dunia kesehatan di Tanah Air. Upaya paling nyata dari pemerintah untuk memastikan ketersediaan akses kesehatan bagi semua adalah penerapan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang telah diperkenalkan sejak 2014. Dengan target cakupan sekitar 260 juta orang dan layanan yang komprehensif, JKN merupakan salah satu skema UHC terbesar dan paling ambisius di dunia.

Untuk sebuah proyek dengan skala sebesar itu, wajar jika dalam penerapannya dijumpai banyak kendala dan tantangan. Hal yang paling mencolok adalah persoalan pembiayaan. Besarnya biaya yang harus ditanggung Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan membuat lembaga ini mengalami defisit yang kian membengkak tiap tahunnya.

Persoalan defisit anggaran ini tentu saja harus dicari solusinya agar JKN dapat berkelanjutan. Misalnya melalui upaya peningkatan kepatuhan pembayaran premi dan penaikan besaran premi dengan mempertimbangkan kemampuan finansial peserta. Meski demikian, perlu digarisbawahi bahwa apapun yang terjadi JKN harus tetap berlanjut.

Studi menunjukkan bahwa manfaat jangka panjang UHC melebihi biaya yang harus dikeluarkan. Di Jamaika misalnya, sebagaimana ditulis Alison P. Galvani et.al (2017), penerapan UHC telah mengurangi 34% jumlah hari sakit secara nasional dan meningkatkan produktivitas yang pada akhirnya lebih dari cukup untuk menutupi biaya yang dikeluarkan.

Di California, Amerika Serikat, penerapan UHC diproyeksikan dapat mengurangi pengeluaran untuk kesehatan sebesar US$37,5 juta atau sekitar 10% (Galvani, 2017).

Manfaat ekonomis UHC dapat dijelaskan secara logis. Dengan adanya jaminan asuransi kesehatan, masyarakat tidak merasa harus menabung uangnya untuk mengantisipasi sakit di masa depan, sehingga uang tersebut dapat diputar dan menggerakkan ekonomi. Selain itu, ongkos yang dikeluarkan pun makin berkurang, karena kondisi kesehatan masyarakat secara umum membaik.

Pengalaman di Thailand, sebagaimana dilaporkan WHO, menunjukkan bahwa setelah diterapkan UHC terjadi penurunan pengeluaran untuk penyakit katastrofik dari 6,8% menjadi 2,8% dalam 12 tahun.

Pengalaman negara-negara tersebut memberi pelajaran kepada kita bahwa berbagai persoalan yang dihadapi BPJS saat ini bersifat sementara. Dengan penanganan yang tepat dan seiring makin mapannya sistem yang berjalan, persoalan tersebut akan teratasi sehingga manfaat UHC beserta multiplier effect-nya akan kian terasa pula.

Ibarat pengobatan, persoalan tersebut adalah rasa pahit yang menyergap lidah ketika dan sesaat setelah minum jamu. Rasa pahit itu nantinya akan hilang, sehingga yang tersisa adalah rasa bugar sebagai efek dari jamu tadi.

Terlepas dari arti penting peran UHC, harus diingat lagi bahwa pengobatan paling murah adalah pencegahan. Karenanya, menggalakkan pola hidup sehat adalah elemen penting dalam meningkatkan kesehatan masyarakat. Upaya menangani isu kesehatan di hilir (mengobati orang sakit) harus dibarengi dengan upaya menangani hulunya (mencegah orang agar tidak sakit).

Upaya pemerintah melalui Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) perlu terus ditingkatkan agar gaungnya makin cetar. Hal ini kian penting mengingat secara global maupun nasional, prevalensi penyakit tidak menular terus meningkat.

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 yang dilakukan Kementerian Kesehatan misalnya, menunjukkan bahwa prevalensi kanker naik dari 1,4% (Riskesdas 2013) menjadi 1,8%, stroke naik dari 7% menjadi 10,9%, dan penyakit ginjal kronik naik dari 2% menjadi 3,8%.

Penyakit-penyakit tersebut kebanyakan dipengaruhi oleh pola hidup yang tidak sehat. Karenanya, penanaman pola hidup sehat sejak dini agar menjadi bagian integral dari pertumbuhan tubuh dan kesadaran anak amat penting dilakukan.

*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Selasa (24/4/2019)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper