Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kredit Bank BTPN Melonjak 114 Persen, Berikut Penjelasannya

Bank BTPN mencatatkan penyaluran kredit senilai Rp139,84 triliun per kuartai I/2019, tumbuh 114% secara tahunan. Nilai kredit tersebut merupakan gabungan dari neraca Bank BTPN dan SMBCI, terhitung sejak efektif merger pada 1 Februari 2019.
Dirut PT Bank BTPN Tbk Ongky Wanadjati Dana (kedua kiri) disaksikan Komisaris Utama Mari Elka Pangestu (kiri) dan Wakil Dirut Kazuhisa Miyagawa (kanan), bersalaman dengan SMBC Group Managing Executive Officer - Head of International Banking Unit Masahiko Oshima, di Jakarta, Jumat (1/2/2019)./Antara
Dirut PT Bank BTPN Tbk Ongky Wanadjati Dana (kedua kiri) disaksikan Komisaris Utama Mari Elka Pangestu (kiri) dan Wakil Dirut Kazuhisa Miyagawa (kanan), bersalaman dengan SMBC Group Managing Executive Officer - Head of International Banking Unit Masahiko Oshima, di Jakarta, Jumat (1/2/2019)./Antara

Bisnis.com, JAKARTA – PT Bank BTPN Tbk. mencatatkan penyaluran kredit senilai Rp139,84 triliun per kuartai I/2019, tumbuh 114% secara tahunan. Nilai kredit tersebut merupakan gabungan dari neraca Bank BTPN dan SMBCI, terhitung sejak efektif merger pada 1 Februari 2019. 

Pertumbuhan kredit Bank BTPN pada kuartal I/2019 banyak ditopang oleh segmen korporasi, usaha kecil dan menengah atau small medium enterprises (SME), pembiayaan konsumen, dan pembiayaan prasejahtera produktif atau productive poor melalui anak usahanya yakni BTPN Syariah.  

“Pencapaian ini merupakan bentuk komitmen kami dalam menggerakkan sektor riil dan ikut berpartisipasi mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Kami melayani nasabah dari segmen paling bawah hingga korporasi besar,” kata Direktur Utama Bank BTPN Ongki Wanadjati Dana dalam paparan kinerja Bank BTPN, Kamis (25/4/2019). 

Bank BTPN melayani segmen korporasi berskala besar di Indonesia, seperti badan usaha milik negara (BUMN), perusahaan multinasional, konglomerasi lokal Indonesia, dan perusahaan Jepang. Pembiayaan korporasi antara lain mengalir ke proyek infrastruktur dan industri pendukung yang sejalan dengan program pembangunan yang dicanangkan pemerintah Indonesia. 

“Sebelum merger bisnis ini dikelola oleh SMBCI. Setelah penggabungan usaha, portofolio ini dicatatkan ke dalam neraca Bank BTPN. Apabila dibandingkan dengan posisi tahun lalu, pembiayaan korporasi tumbuh 12%, dari Rp64,3 triliun menjadi Rp71,9 triliun (yoy),” kata Ongki. 

Ongki menjelaskan, segmen korporasi masih memiliki ruang yang sangat besar untuk bertumbuh. Optimisme ini sejalan dengan agenda besar pemerintah dalam menggalakkan infrastruktur demi mewujudkan pembangunan dan pemerataan di bidang ekonomi.  

“Sumitomo Mitsui Banking Corporation (SMBC), pemegang saham pengendali kami, memiliki keyakinan kuat terhadap masa depan ekonomi negeri ini.  Dengan melaksanakan merger, SMBC ingin berkontribusi lebih besar lagi,” katanya. 

Sementara itu, kredit ke sektor SME tumbuh 13% menjadi Rp13,5 triliun, pembiayaan productive poor meningkat 20% menjadi Rp7,5 triliun, dan pembiayaan konsumen melonjak 106% menjadi Rp6,11 triliun. Adapun kredit pensiun mengalami kontraksi 2% menjadi Rp37,7 triliun.  

“Ke depan, kami berencana mengembangkan segmen komersial dan memperkuat retail banking. Produk dan layanan kami nantinya akan semakin lengkap,” lanjut Ongki. 

Selain menjajaki peluang bisnis baru, Bank BTPN juga tetap konsisten menciptakan inovasi produk dan layanan berbasis digital, melalui BTPN Wow! dan Jenius, serta melakukan digitalisasi di existing business. Digitalisasi ini menjadikan BTPN lebih terintegrasi dan lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan nasabah secara cepat, mudah, dan aman.  

“Berkat konsistensi ini kami dinobatkan oleh Majalah Forbes sebagai bank terbaik kedua di tanah air. Pemeringkatan berdasarkan riset atas persepsi konsumen terhadap pelayanan bank. Pencapaian ini tentu membanggakan, mengingat status kami sebagai bank BUKU III dan dalam proses konsolidasi,” ujarnya.    

Dari sejumlah indikator, Bank BTPN juga memperlihatkan kinerja yang sehat dan kuat. Rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) sebesar 23,1%, rasio kredit bermasalah atau nonperforming loan (NPL) 0,8%, dan rasio likuiditas atau loan to funding ratio (LFR) sebesar 89%.  

Adapun laba bersih setelah pajak atau net profit after tax (NPAT) sebesar Rp507 miliar, lebih rendah 5% dari tahun lalu (yoy). Jika tidak memperhitungkan pajak, laba sebesar Rp801 miliar, hampir sama dengan tahun lalu. 

“Hal ini terutama disebabkan oleh tingginya biaya dana, sedangkan kapasitas untuk mengompensasi peningkatan biaya dana ke para debitur terbatas,” tutup Ongki.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Ropesta Sitorus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper