Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Saham Bank Permata (BNLI) Masih Menjadi Incaran Investor  

Saham PT Bank Permata Tbk. (BNLI) milik Standard Chartered Bank (SCB) masih menjadi incaran investor. Setelah PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. urung mencaplok, kabarnya Northstar milik Patrick Walujo tengah memasang mata terhadap bank yang didirikan pada tahun 1954 ini.
Pengunjung menggunakan ponsel di dekat papan elektronik yang menampilkan perdagangan harga saham di BEI, Jakarta, Selasa (11/6/2019)./Bisnis-Dedi Gunawan
Pengunjung menggunakan ponsel di dekat papan elektronik yang menampilkan perdagangan harga saham di BEI, Jakarta, Selasa (11/6/2019)./Bisnis-Dedi Gunawan

Bisnis.com, JAKARTA – Saham PT Bank Permata Tbk. (BNLI) milik Standard Chartered Bank (SCB) masih menjadi incaran investor. Setelah PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. urung mencaplok, kabarnya Northstar milik Patrick Walujo tengah memasang mata terhadap bank yang didirikan pada tahun 1954 ini.

Berdasarkan informasi yang diterima Bisnis.com, Northstar berani membeli saham BNLI 1.72 kali nilai buku (price to book value/PBV). Artinya dengan asumsi harga per saham Rp825 pada penutupan, Selasa (11/6/2019), Northstar hendak membeli saham BNLI pada harga Rp1.419.

Direktur Investa Saran Mandiri Hans Kwee menilai Nortstar sangat potensial menggeser posisi SCB. Mengingat Patrick Walujo, pendirinya, merupakan menantu Theodore Permadi Rachmat atau TP Rachmad, satu tokoh yang ikut membesarkan Astra.

Seperti diketahui saat ini PT Astra International Tbk. dan SCB berbagi rata kepemilikan Bank Permata. Keduanya, masing-masing, menggenggam 44,56% saham BNLI, sedangkan 10,88% sisanya dimiliki publik.

“Pendiri Astra masih saudara dengan Pak Teddy [TP Rachmad]. Itu mungkin lebih gampang masuknya dibandingkan dengan Mandiri yang mau menjadi mayoritas,” kata Hans kepada Bisnis.com, Rabu (12/6/2019).

Hans menjelaskan bahwa menurutnya Bank Mandiri yang sebelumnya juga santer dikabarkan mengincar saham BNLI, mengurungkan niat karena kesulitan mendapat kursi pemegang saham mayoritas. Pasalnya PT Astra International Tbk., yang berbagi rata 24,98 miliar saham atau 89,12% saham BNLI dengan SCB, tidak memiliki keinginan menjual.

Sementara itu harga penawaran Northstar yang beredar, atau 1.72 kali nilai buku, lebih tinggi dibandingkan dengan PBV perusahaan sebesar 1.04. Namun lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata nilai akuisisi saham perbankan yang belakangan selalu lebih dari 2 kali nilai buku.

“Bagi Northstar atau investor yang berminat akan menguntungkan, karena setelah akuisisi saham akan naik lagi,” katanya.

Dia menjelaskan bahwa Bank Permata tercatat dalam kondisi perbaikan kinerja. Setelah laba perusahaan terkoreksi negatif, pada tahun lalu bank telah membukukan pertumbuhan.

Menutup 2018, Bank Permata melaporkan laba bersih tumbuh 20,4% secara tahunan (year-on-year/yoy) menjadi Rp901 miliar. Pada periode yang sama rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) turun dari 4,6% menjadi 4,36%. Selain itu, kredit berisiko atau loan at risk turun 380 basis poin (bps) menjadi 17,7%.

Dari segi fungsi intermediasi BNLI secara individu sepanjang 2018 membukukan Rp91,1 triliun atau naik 8,9%. Realisasi itu lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan industri.

Sebelumnya, berdasarkan informasi yang diterima Bisnis, Bank Mandiri dan Morgan Stanley telah merampungkan kajian rencana akusisi BNLI. Nilai penawaran yang diajukan oleh bank pelat merah ini berkisar antara Rp1.115—Rp1.200 per saham atau 1.4 kali hingga 1.5 kali nilai buku.

Adapun informasi bahwa SCB hendak melepas saham BNLI telah beredar sejak 2—3 tahun terakhir. Hal tersebut pun semakin menguat seiring dengan munculnya rencana restrukturisasi perusahaan bank asal Inggris tersebut.

Group Chief Executive SCB Bill Winters pada awal tahun ini membidik rasio laba atas ekuitas berwujud (return on tangiable/RoTE) pada kisaran 10% pada 2021. Tahun lalu, SCB hanya membukukan RoTE sebesar 5,1%. Angka ini jauh di bawah target perusahaan yang diumumkan tiga tahun sebelumnya, yakni 8%.

Satu strategi yang dirasa Winters paling realistis adalah dengan menjual bisnis yang menyumbang keuntungan rendah. Seperti diketahui, satu asetnya yang berada di Indonesia, Bank Permata sempat kesulitan mencetak laba karena terbebani kredit bermasalah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Muhammad Khadafi
Editor : Riendy Astria
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper