Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Relaksasi GWM : Bank Optimistis Kredit Lebih Ekspansif

Implementasi pelonggaran rasio giro wajib minimum (GWM) dari 6,5% menjadi 6% untuk bank umum konvensional yang berlaku mulai 1 Juli 2019 diyakini akan melonggarkan likuiditas perbankan.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo (dua kanan) memberikan keterangan dalam konferensi pers, di Jakarta, Kamis (20/6/2019)./Bisnis-Himawan L Nugraha
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo (dua kanan) memberikan keterangan dalam konferensi pers, di Jakarta, Kamis (20/6/2019)./Bisnis-Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA – Implementasi pelonggaran rasio giro wajib minimum (GWM) dari 6,5% menjadi 6% untuk bank umum konvensional yang berlaku mulai 1 Juli 2019 diyakini akan melonggarkan likuiditas perbankan.

PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. menyambut positif penerapan kebijakan moneter Bank Indonesia tersebut karena dinilai akan memberikan ruang tambahan bagi perbankan agar lebih ekspansif dalam menyalurkan kredit.

“Ini akan dapat meningkatkan likuiditas perbankan sehingga akan memberi ruang bagi industri perbankan untuk berekspansi. Perhitungan kami, penurunan 50 bps tersebut akan menambah likuiditas sekitar Rp24 triliun-Rp25 triliun di sistem perbankan,” kata Corporate Secretary Bank Mandiri Rohan Hafas kepada Bisnis, Selasa (2/7/2019).

Dia mengatakan, industri perbankan akan memanfaatkan ruang tersebut untuk mendorong peningkatan pertumbuhan kredit.

Meski demikian, menurut Rohan, ada beberapa aspek yang berpotensi menahan peluang ekspansi tersebut, seperti rasio pertumbuhan dana pihak ketiga [DPK] masing-masing bank.

Selain itu, persoalan harga-harga komoditas global yang masih cenderung datar karena perekonomian global yang belum menggeliat juga menjadi tantangan tersediri yang akan mempengaruhi ekspansi perbankan dalam negeri.

“Namun, kami meyakini, hingga akhir tahun ini kredit industri perbankan akan tetap akan tumbuh dengan baik karena optimisme membaiknya situasi ekonomi nasional pasca kegiatan politik tahun ini,” ujarnya.

Lebih lanjut, Bank Mandiri optimistis pertumbuhan kredit pada paruh kedua tahun 2019 akan membaik. Emiten bersandi BMRI itu membidik pertumbuhan kredit secara tahunan sebesar 12% pada akhir 2019.

“Di semester II, kami berharap dapat menjaga pertumbuhan kredit paling tidak di level yang sama [dengan Mei 2019] hingga maksimum ke level 12%. Segmen yang diharapkan menopang pertumbuhan kredit adalah segmen korporasi dan mikro,” ujar Rohan.

Adapun, realisasi pertumbuhan kredit Bank Mandiri per Mei 2019 tumbuh sekitar 11% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.

Di lain pihak, Direktur Riset Center of Reform on Economy (CORE) Piter Abdullah menilai pelonggaran GWM yang dilakukan BI akan berdampak signifikan terhadap likuiditas perbankan sekaligus akan membuka peluang tercapainya target pertumbuhan kredit di kisaran 10% - 12%.

“Pelonggaran GWM menurut kajian saya akan lebih efektif dibandingkan penurunan suku bunga dalam melonggarkan likuiditas bagi bank. Apalagi, sebelumnya BI juga sudah melakukan pelongagran lewat operasi moneter dengan mengurangi kontraksi uang beredar. Oleh karena itu, langkah BI menahan suku bunga kebijakan di level 6% dan melonggarkan GWM adalah lebih tepat,” katanya.

Dia juga menyayangkan keputusan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang merevisi target pertumbuhan kredit perbankan menjadi 9% - 11% per akhir tahun. Keputusan tersebut dia nilai terburu-buru tanpa menunggu efek pelonggaran likuiditas setelah implementasi relaksasi GWM.

Menurutnya, pemangkasan target tersebut dilakukan OJK karena membaca sinyal perlambatan pertumbuhan kredit dalam semester I/2019.

Mengutip data Analisis Uang Beredar terbaru, pertumbuhan kredit perbankan hingga Mei sebesar 11,0% (year on year/YoY), melambat dibandingkan dengan April 2019 yang tercatat sebesar 11,1% (YoY), akibat perlambatan di segmen kredit modal kerja dan kredit konsumer.

Piter mengatakan, ketatnya likuiditas masih menjadi persoalan utama yang menghantui perbankan khususnya bank-bank kecil BUKU I dan II serta beberapa bank BUKU III. Di sisi lain, permintaan kredit dari pelaku usaha juga masih belum tumbuh.

Stagnasi permintaan dan belum pulihnya harga komoditas membuat kebutuhan pembiayaan di sektor pertambangan dan perkebunan jauh melambat. Kondisi yang sama terjadi di sektor properti yang selama ini termasuk pendorong pertumbuhan kredit.

“Kondisi supply dan demand yang tidak menggembirakan ini diperkuat oleh proses panjang pemilu. Pada semester II, saya kira pertumbuhan kredit bisa membaik seiring selesainya proses pemilu, tetapi akan sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah untuk mendorong domestik demand sebagai respons perlambatan global,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper