Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Likuiditas Perbankan Masih Ketat, Pasar Butuh Penurunan Suku Bunga

Saat ini, suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) masih berada di level 6 persen.
Karyawan menata uang rupiah di Cash Center Bank BNI di Jakarta, Rabu (10/7/2019)./Bisnis-Abdullah Azzam
Karyawan menata uang rupiah di Cash Center Bank BNI di Jakarta, Rabu (10/7/2019)./Bisnis-Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA – Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menyatakan isu likuiditas masih menjadi masalah di industri perbankan, seiring dengan posisi Loan to Deposit Ratio (LDR) yang masih di atas batas aman.

Berdasarkan data LPS, rasio LDR berada di level 96 persen per Mei 2019. Padahal, sepanjang Januari-April 2019, likuiditas sempat melonggar menjadi sekitar 93-94 persen. 

Selain itu, rasio aset likuid terhadap noncore deposit (AL/NCD) juga merosot menjadi 88,33 persen dari sebelumnya sekitar 95 persen.

Direktur Group Risiko dan Perekonomian dan Sistem Keuangan LPS Doddy Ariefianto mengatakan bahwa bank sentral telah melakukan upaya pelonggaran likuiditas. Seperti diketahui, belum lama ini Bank Indonesia (BI) menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 6 persen.

“Kalau kita lihat, Dana Pihak Ketiga (DPK) sekitar Rp5.700 triliun, berarti itu bisa menambah likuiditas sekitar Rp25 triliun-Rp30 triliun,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (16/7/2019).

Namun, Doddy menilai jumlah tersebut belum cukup kuat untuk memberikan nafas kepada kondisi likuiditas. Angka tersebut dirasa masih belum mampu mengimbangi penyaluran kredit baru setiap bulannya.

Pasar pun disebut tengah menunggu penurunan suku bunga. Saat ini, suku bunga BI masih berada di level 6 persen. 

“Banyak konsensus mengatakan paruh kedua ini bisa dipangkas [suku bunga],” tuturnya.

Doddy menjelaskan penurunan suku bunga akan membuat BI melakukan operasi pasar dengan membeli surat berharga. Dengan demikian, kucuran likuiditas akan terasa signifikan.

Saat ini, bank terlihat kesulitan mengandalkan DPK. Per Mei 2019, DPK hanya tumbuh 6,27 persen secara year-on-year (yoy) menjadi Rp5.671 triliun, sekaligus menjadi angka terendah dalam setahun terakhir.

Pada saat yang sama, bank harus mengatur strategi untuk menjaga kemampuan memenuhi kewajiban jangka pendek. Pasalnya, belakangan pertumbuhan kredit disokong oleh penggunaan investasi.

Dia menerangkan bahwa kredit investasi kontras dengan kredit modal kerja yang memberikan efek domino cepat ke perekonomian. 

Adapun faktor lain yang membuat pertumbuhan DPK tak mampu mengimbangi penyaluran kredit adalah kondisi neraca berjalan yang defisit.

“Ini artinya banyak belanja modal ke luar negeri, jadi likuiditas tidak berputar di sini,” jelas Doddy.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kredit perbankan tumbuh 11,05 persen yoy per Mei 2019, menjadi Rp5.419 triliun. Secara khusus, kredit investasi meningkat 15,7 persen pada periode tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Muhammad Khadafi
Editor : Annisa Margrit
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper