Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Defisit BPJS Kesehatan Berpotensi Sentuh Rp28 Triliun

Kementerian Kesehatan memproyeksikan nilai defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan dapat meningkat hingga Rp28 triliun.
Petugas kesehatan melayani pasien pada fasilitas hemodialisis di RSI Orpeha, Tulungagung, Jawa Timur, Jumat (24/5/2019). /Antara-Destyan Sujarwoko
Petugas kesehatan melayani pasien pada fasilitas hemodialisis di RSI Orpeha, Tulungagung, Jawa Timur, Jumat (24/5/2019). /Antara-Destyan Sujarwoko

Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Kesehatan memproyeksikan nilai defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan dapat meningkat hingga Rp28 triliun, seiring terus meningkatnya prevalensi penyakit tidak menular, salah satu 'penyedot' terbesar dana badan tersebut.

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan (Kemenkes), prevalensi penyakit tidak menular (PTM) mengalami kenaikan pada 2018 jika dibandingkan dengan hasil Riskesdas 2013. Kenaikan prevalensi yang terjadi di antaranya adalah kanker, yang meningkat dari 1,4% menjadi 1,8%.

Selain itu, kenaikan prevalensi lainnya terjadi pada penyakit stroke yang mulanya 7% menjadi 10,9%, penyakit ginjal kronik meningkat dari 2% menjadi 3,8%, diabetes melitus tercatat naik dari 6,9% menjadi 8,5%, dan hipertensi naik dari 25,8% menjadi 34,1%.

Dalam riset tersebut dijelaskan bahwa kenaikan prevalensi PTM berhubungan dengan pola hidup masyarakat, antara lain merokok, konsumsi minuman beralkohol, aktivitas fisik, serta tingkat konsumsi buah dan sayur.

Staf Ahli Bidang Ekonomi Kesehatan Kementerian Kesehatan Donald Pardede menjelaskan, peningkatan prevalensi tersebut berpotensi meningkatkan beban BPJS Kesehatan karena penyakit tidak menular mencakup sekitar 20% dari total klaim BPJS Kesehatan.

Dia menjelaskan, defisit BPJS Kesehatan berpotensi meningkat hingga Rp28 triliun dari 2018 sebesar Rp19,41 triliun. Angka defisit tahun lalu tersebut merupakan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), lalu beban tersebut disokong oleh bantuan pemerintah senilai Rp10,29 triliun sehingga posisi gagal bayar menjadi Rp9,1 triliun.

"Besaran estimasi defisit Rp28 triliun itu sebagaimana kita ketahui adalah estimasi [terhadap] BPJS Kesehatan. Data 2018 menunjukkan 20%–22% biaya pelayanan kesehatan BPJS Kesehatan adalah biaya penyakit katastropik yang didominasi oleh penyakit tidak menular," ujar Donald kepada Bisnis, Jumat (19/7/2019).

Berdasarkan data BPJS Kesehatan, biaya klaim dari penyakit katastropik mencapai Rp20,42 triliun pada 2018. Jumlah tersebut mencakup 21,65% dari total biaya pelayan kesehatan BPJS Kesehatan pada 2018 senilai Rp94,29 triliun.

Pada Januari–Maret 2019, porsi biaya klaim penyakit katastropik melebar menjadi 22,18% atau senilai Rp5,65 triliun, dari total biaya pelayan kesehatan BPJS Kesehatan pada periode tersebut senilai Rp25,51 triliun.

Penyakit jantung tercatat sebagai penyakit dengan biaya klaim terbesar, pada periode Januari–Maret 2019 jumlahnya mencapai Rp2,51 triliun atau 49,51% dari keseluruhan klaim. Posisi kedua ditempati oleh penyakit kanker dengan klaim senilai Rp1 triliun atau dengan porsi 17,83%.

Selain itu, penyakit-penyakit lain dalam kategori penyakit katastropik di antaranya adalah penyakit stroke dengan klaim Rp599,22 miliar (12,36%) pada Januari–Maret 2019, gagal ginjal dengan klaim Rp572,4 miliar (11,88%), dan thalassema dengan klaim Rp148,64 miliar (2,53%).

Menurut Donald, diperlukan upaya promotif preventif untuk menekan peningkatan penyakit katastropik tersebut.

Kepala Humas BPJS Kesehatan, M. Iqbal Anas Ma'aruf menjelaskan harus terdapat upaya khusus dalam menekan tingkat prevalensi PTM, karena hal tersebut telah diprediksikan oleh Kemenkes sebelumnya.

Menurut dia, diperlukan sinergi dari seluruh pihak untuk menekan tingkat prevalensi tersebut, khususnya dari pemerintah. Iqbal menjelaskan, meskipun dapat membebani BPJS Kesehatan, penanganan PTM tetap harus didorong seluruh pemangku kebijakan.

"Apakah itu [menekan defisit akibat meningkatnya tingkat prevalensi PTM] menjadi kewajiban tunggal BPJS-kesehatan? Kementerian Kesehatan memiliki infrastruktur untuk mendorong pencegahan [PTM] entah promosi kesehatan, puskesmas, kesehatan ibu dan anak, dan lain-lain," ujar Iqbal kepada Bisnis, Jumat (19/7/2019).

Terkait dengan potensi pembengkakan defisit BPJS Kesehatan, dia menjelaskan, hal tersebut dapat turut dicegah dengan mendorong tingkat kepatuhan membayar. Menurut Iqbal, rendahnya tingkat kepatuhan membayar peserta Jaminan Kesehatan Nasional–Kartu Indonesia Sehat (JKN–KIS) salah satunya disebabkan belum adanya regulasi terkait kepatuhan membayar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper