Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

LPEM FEB UI : BI Perlu Tahan Suku Bunga Acuan

LPEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia menilai Bank Indonesia perlu menahan suku bunga acuan bulan ini yaitu 5,75%.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memberikan penjelasan pada jumpa pers mengenai hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia di Jakarta, Kamis (21/3/2019). Bank Indonesia memutuskan untuk tetap mempertahankan suku bunga acuan BI 7 Day Reverse Repo Rate (BI 7DRR) sebesar 6,00 persen, suku bunga Deposit Facility sebesar 5,25 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,75 persen. Bisnis/Nurul Hidayat
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memberikan penjelasan pada jumpa pers mengenai hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia di Jakarta, Kamis (21/3/2019). Bank Indonesia memutuskan untuk tetap mempertahankan suku bunga acuan BI 7 Day Reverse Repo Rate (BI 7DRR) sebesar 6,00 persen, suku bunga Deposit Facility sebesar 5,25 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,75 persen. Bisnis/Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA -- LPEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia menilai Bank Indonesia perlu menahan suku bunga acuan bulan ini yaitu 5,75%.

Head of Research Macroeconomics and Financial Sector Policy Febrio N. Kacaribu menyatakan, pada Rapat Dewan Gubernur bulan ini Bank Indonesia perlu mempertahankan suku bunga kebijakannya terutama karena mempertimbangkan faktor eksternal.

"Meski demikian, BI perlu terus mempertahankan arah kebijakan pelonggarannya bulan depan dan menjelang akhir tahun dengan data-data baru yang tampaknya akan membaik," ujar Febrio melalui rilis yang diterima Bisnis.com, Rabu (21/8/2019).

Adapun pertimbangan menahan suku bunga acuan karena tingkat inflasi Juli cenderung stabil yakni 3,32%, masih dalam kisaran target Bank Indonesia.

Selain itu inflasi inti turun dari 3,25% ke 3,18%. Penurunan inflasi inti utamanya menurut Febrio banyak dipengaruhi oleh berkurangnya gejolak inflasi tetapi akibat pola musiman; bukan cerminan dari permintaan agregat.

Di tengah meningkatnya ketidakpastian global, inflasi domestik yang rendah dan terkendali memberikan ruang bagi BI untuk tetap melakukan pelonggaran yang sudah dimulai sejak Juni.

Febrio pun merincikan pada sektor riil, kinerja ekspor dan investasi yang lemah telah menjadi tantangan terbesar terhadap kinerja PDB tahun ini. PDB pada kuartal II/2019 menunjukkan tingkat pertumbuhan 5,05% (y-o-y), setelah tingkat pertumbuhan 5,07% (y-o-y) pada kuartal I/2019.

Selain itu defisit transaksi berjalan melebar menjadi 3,0% dari 2,5% terhadap PDB pada kuartal sebelumnya.

"Tren turunnya harga komoditas, terutama kelapa sawit dan turunannya, telah dan akan tetap menjadi faktor pendorong terbesar dari pelemahan kinerja ekspor," jelas Febrio.

Meski demikian masih ada potensi perbaikan harga kelapa sawit pada semester II/2019. Meskipun terkoreksi dalam beberapa pekan terakhir akibat tensi perdagangan, tren aliran modal masuk portofolio membantu stabilisasi rupiah pada kisaran Rp14.200-Rp14.300.

BI juga telah menambah cadangan devisanya, tetapi harus menggunakan sebagian cadangan tersebut dalam 2 minggu terakhir.

Febrio juga menambahkan berlanjutnya inversi dari kurva imbal hasil obligasi (yield curve) AS telah memberikan sinyal yang makin kuat bahwa krisis ekonomi di AS akan terjadi sekitar pertengahan tahun depan.

Dia menyatakan proyeksi pertumbuhan ekonomi global IMF sebesar 3,5% (y-o-y), lebih rendah 10 bps dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya, konsisten dengan proyeksi penurunan ekonomi di AS ini.

Maka terlepas dari ketidakpastian global, perbedaan ekspektasi pertumbuhan PDB dibandingkan dengan negara-negara maju akan terus mendorong aliran modal masuk ke Indonesia.

"Kami melihat bahwa tren aliran modal masuk portofolio, yang dimulai sejak Kuartal IV/2018 akan terus berlanjut, meskipun dengan beberapa koreksi yang mungkin akan terus terjadi," tulisnya.

Sejak kuartal IV/2018, investasi modal portofolio telah mengalami aliran modal masuk sekitar US$13 miliar. Rata-rata imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun dan 1 tahun terakhir bulan lalu masing-masing mencapai 7,3% dan 6,2%.

Secara global, menurut Febrio dan tim LPEM FEB UI, BI masih terlihat sangat konservatif dan lambat dalam mengikuti musim pelonggaran moneter.

Meski ekonomi membutuhkan stimulus. Namun kepemilikan asing yang sangat tinggi pada obligasi pemerintah Indonesia akan selalu berfungsi sebagai rem bagi BI untuk lebih responsif terhadap peluang pelonggaran.

"Koreksi di pasar obligasi dalam dua minggu terakhir merupakan contoh yang baik. Untuk saat ini, kami melihat bahwa BI perlu menahan suku bunga kebijakan di 5,75%," terangnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper